Opini

Smartphone, Rumah Produksi Hipnosis

Rab, 30 Mei 2018 | 22:30 WIB

Oleh Gatot Arifianto

Bangunan bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai rumah bersama sudah final sejak 72 tahun lampau. Tugas selanjutnya dan semestinya, adalah merangkum keberagaman yang ada dan niscaya, made in  Tuhan, sebagai kekuatan untuk mencapai kemajuan kemanusiaan yang merupakan bentuk penghormatan atas pengorbanan kemanusiaan, setiap pejuang bangsa.

Tiga purnama ke depan, NKRI yang memiliki beragam etnis, budaya, agama hingga kepercayaan, bersemboyan Bhineka Tunggal Ika tepat berusia 73 tahun. 

NKRI dengan ideologi Pancasila (Khomsatul Asasiyah) ialah darul ahdi (negara kesepakatan). Dan itulah ijtihad (usaha sungguh-sungguh) dan hasil ijma’ (konsensus) ulama-ulama Indonesia yang lebih mementingkan maqasid (tujuan) negara yang dijiwai oleh ajaran agama, bukan pada formalisasi agama dalam negara.  

Tak seperti waktu penjajahan dan pasca kemerdekaan, cara menjaga Indonesia hari ini tentu tak tunggal, atau dominan mengangkat senjata. Tapi tetap membutuhkan semangat kebersamaan.

Jika pemaknaan menjaga Indonesia sedemikian sempit, angkat senjata sebagaimana hasutan kerdil, ujaran kebencian dan tendensius disebarluaskan melalui media sosial (medsos) dalam bentuk meme, misalnya, membenturkan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dengan gerakan separatis di Papua, Indonesia tak perlu petani, guru hingga Abdi Sipil Negara (ASN).

Fakta akan membantah point of view atau sudut pandang big close up alias BCU (pengambilan gambar obyek tertentu dengan detail satu fokus), bahwa menjaga Indonesia hanya dengan cara-cara militer.

Untuk menjaga NKRI, ASN berperan mewujudkan tujuan pembangunan nasional melalui pelayanan publik yang profesional hingga bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri akan menjaga NKRI dengan tugas pokok dan fungsinya. Guru dengan mendidik generasi bangsa. Dan petani dengan bercocok tanam, peran penting yang membuat Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asyari menyebutnya sebagai penolong negeri. Begitu pula profesi lain.

Selain itu, untuk menjaga Indonesia yang diacak-acak kelompok takfiri, penyebar kebencian dan fitnah, sehingga nyaris seperti lantunan Nella Kharisma dalam Jaran Goyang: hubungan  semula adem, tapi sekarang kecut bagaikan asem, jelas membutuhkan rumah produksi yang bisa membuat hipnosis atau iklan masif setiap hari.

Selain pada masyarakat, aktivis keberagaman, organisasi Islam seperti Muhammadiyah yang menegaskan Indonesia sebagai darul ahdi wa syahadah, satu harapan terwujudnya rumah produksi itu ada pada Nahdlatul Ulama (NU) berikut badan otonomnya yang berdiam diantara 132,7 juta pengguna medsos menurut survei We Are Social dan Hootsuite, Januari 2018. 

Hipnosis Anti Islam
Selain menerima Pancasila sebagai asas tunggal bernegara yang ditegaskan kembali pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur. NU juga telah berkomitmen Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, sebagai kawasan amal dan dakwah ajaran Islam yang universal, kaffatan linnas dan rahmatan lil’alamin.

Tapi dewasa ini, ada pembelokan atas hal itu. Keributan dan kegaduhan membangun sentimen anti Islam terus diproduksi. Di medsos, sejumlah persoalan yang semestinya tak relevan, belakangan selalu menyertakan tanda pagar (tagar) politik. Melalui medsos pula, benih teroris juga disebar.

Dita Siska Millenia (18) yang ditangkap bersama Siska Nur Azizah (21), di Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua Depok pada Sabtu (12/5/2018) sebagaimana dilansir Tempo, mengaku terobsesi menghabisi orang lain.

Perempuan asal Temanggung, Jawa Tengah itu mengaku mendapatkan informasi jihad ekstrem Islamic State in Iraq and Sham (ISIS) melalui medsos. Penumbuhan bibit radikal bagi Dita selanjutnya berlangsung melalui grup WhatsApp dan Telegram tertutup.

Selain di dunia maya, cuci otak bagi masyarakat adanya kriminalisasi ulama dan anti Islam oleh pemerintah juga dilakukan di ruang-ruang publik, seperti dialami Ketua LP Ma'arif NU Pusat, KH Z Arifin Junaidi dan disampaikan secara gamblang di laman muslimoderat.net, pada Sabtu (10/2/2018).

Kondisi-kondisi tersebut, mengingatkan pernyataan Presiden RI ke IV, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Ilusi Negara Islam: Jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh, karena siapapun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam.

Pengulangan membangun sentimen anti-Islam terus dibuat. Mengadopsi keyakinan Adolf Hitler: Jika kebohongan diulangi secara terus-menerus, maka pikiran manusia akan mempercayainya. Kebohongan pun diterimanya sebagai kebenaran.

Hipnosis masif semacam itu terus dibuat sebagaimana iklan, singkat namun berdampak pada ketertarikan. Masyarakat yang kurang paham akhirnya merasa perlu terlibat. Pokoke melu. Dan Indonesia gaduh. Masyarakat kehilangan daya produktif akibat ilusi menyeramkan. 

Yang tumbuh dan mengemuka di medsos dan berdampak pada kehidupan nyata akibat penyesatan adalah geram, benci hingga fitnah berpotensi menganggu kehidupan bernegara.

Tahun 2013, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU),  KH Said Aqil Siradj menjelaskan cikal bakal pemahaman radikalisme dan terorisme sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (SAW) dan para sahabat. 

Pada Dialog Ormas-ormas Islam dalam Mempertahankan NKRI, di Sahid Hotel, Jakarta Pusat, Sabtu (11/5/2013), sejatinya Kang Said menyampaikan prediksi Rasulullah.

Dari umatnya, kelak akan muncul orang seperti Dzul Khuwaishirah, hafal Qur’an, dalilnya Qur’an tapi tak melewati tenggorokannya. Artinya tak paham secara substansif. Mereka itu sejelek-jelek manusia bahkan lebih jelek daripada binatang. 

Prediksi Rasulullah benar, pada suatu Subuh, Ramadhan 40 H, Sayyidina Ali dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, qaimul lail, shaimun nahar, hafizhul Qur’an. 

“Yang membunuh Sayyidina Ali tiap hari puasa, tiap malam Tahajjud, dan hafal Qur’an,” penuturan Kang Said kala itu kemudian dipelintir oleh media-media radikal. Headline mereka buat, yang rajin beribadah ialah teroris.

Penyesatan yang sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu akhirnya dikopi paste, dishare dari akun medsos satu ke akun medsos lain, dari 2013 hingga 2018.

Maka tak heran jika Survei  Wahid Foundation dipresentasikan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Senin (29/1/2018) menyebut adanya kenaikan angka intoleransi, dari 51,0 persen pada 2016, menjadi 57,1 persen sebagai dampak penyesatan dan kurangnya tabayun.

Smartphone Sebagai Rumah Produksi
Saat Nabi Muhammad SAW ditanya, Siapakah Muslim yang terbaik ya Rasulullah? Beliau menjawab, Seseorang yang selamat dari lidah dan tangannya.

Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Jumlah itu memaparkan Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.

Adapun Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) di awal 2017 merilis survei tentang informasi palsu (hoax) yang tengah marak di Tanah Air. Survei Mastel itu menyebut, medsos menjadi sumber utama peredaran hoax (berita bohong) hingga fitnah.

Dengan fakta itu, apa iya kita sebagai mayoritas muslim di Indonesia mampu menjadi pengikut Rasullulah SAW yang kafah jika mengikuti satu sabdanya saja masih jauh panggang dari api?

Ketika ide, iklan, hipnosis membangun sentimen anti Islam dan intoleransi terus dibangun di medsos oleh kelompok anti NKRI dengan mengandalkan smartphone sebagai rumah produksi. Saatnya warga NU terutama kaum muda, bangkit untuk benar-benar menyatakan seruan NKRI harga mati melalui smartphone dimilikinya. 

Kader-kader NU harus menjadi rumah produksi yang membuat iklan positif dan toleransi bagi publik secara kontinu sembari mendendangkan Syubanul Wathon atau Deen Assalam, Syaban Gambus.

Tak butuh satu jam dalam sehari untuk share tiga berita dari situs berafiliasi ke NU seperti nu.or.id, islami.co, meme ulama-ulama NU atau kutipan-kutipan Gus Mus hinga video Gus Muwafiq.

Kader-Kader NU bersama dengan kekuatan bangsa yang lain, harus berikhtiar untuk tetap menjaga dan menjamin keutuhan bangsa dari segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan dalam ikut menciptakan keutuhan NKRI yang diacak-acak kelompok takfiri, penyebar kebencian dan fitnah melalui medsos.

Jatuh bangunnya negara ini, ujar Bung Hatta, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.

KH Hasyim Asyari yang mendapat gelar Hadratussyekh karena menguasai secara mendalam berbagai disiplin keilmuan Islam, hafal kitab-kitab babon hadits dari Kutubus Sittah yang meliputi Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Bukhori Muslim, Sunan Abu Dawud, Turmudzi, Nasa'i, Ibnu Majah, tentu tidak asal menyatakan Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan.Keduanya saling menguatkan.

Tak lagi layak kader-kader NU berdiam diri, mengedepankan produksi narsis semata. Satu hal mutlak dilakukan ialah memberi perlawanan positif melalui medsos masing-masing. Menjadikannya sebagai sarana dakwah, motivasi, inspirasi, menguatkan toleransi, gerakan kebangsaan, perkembangan kemanusiaan dan negara bukan lagi pilihan, tapi keharusan.

Hasil Bahtsul Masail muktamar-muktamar NU, video, hingga laman berafiliasi pada NU dan Indonesia bisa digunakan sebagai bahan menjawab persoalan bagi publik yang terbukti awam terhadap kostum Al-Muttahidah, Agnes Monica (Agnesmo) hingga sandal yamin dan syimal.

Saatnya singa-singa muda NU bangun, bergandeng tangan, menunjukan bukti cinta pada NKRI tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan (tak dapat dihilangkan begitu saja). Yakinlah jika itu ialah ikhtiar melanjutkan amanat Resolusi Jihad NU, perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya NKRI dan Islam sebagai  agama perdamaian (deen assalam).

Iklankan pada publik berita hingga pesan-pesan positif dengan kontinu. Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan pun juga meninggalkan wasiat: Kasih sayang dan toleransi adalah kartu identitas orang Islam.

Jika Joseph Stalin menyatakan: Ide itu lebih kuat daripada pistol. Kita tak ingin musuh kita punya pistol, mengapa kita harus membiarkannya punya ide. Maka yakinlah, smartphone itu lebih kuat daripada pistol. Kita tak ingin mereka yang melakukan agitasi, provokasi agama dan ingin merusak NKRI punya pistol, mengapa kita harus membiarkannya menguasai medsos dengan smartphone.

Setiap pengorbanan kemanusiaan bukanlah mantan, yang layak dihapus dari ingatan begitu saja. Saatnya menggunakan smartphone sebagai rumah produksi bagi Indonesia biladi dan Islam Rahmatan Lil’alamin. 

Ini bukan persoalan menjawab kekalahan di udara, di medsos semata. Tapi diam ialah ijtihad membiarkan publik terpapar radikalisme seperti Dita dan Siska secara pelan tapi pasti, yang berakhir salah kaprah memaknai Jihad.


Penulis adalah Gusdurian, Asinfokom Satkornas Banser