Opini

Surat-surat Malam kepada Usmar Ismail

Sab, 30 Mei 2015 | 13:23 WIB

Oleh Daniel Rudi Haryanto*
Bung Usmar yang baik, hari ini saya betul-betul gundah gulana. Percakapan demi percakapan perihal perfilman Indonesia yang saya alami selama ini membentuk persoalan di kepala saya. Membentur seperti bebatuan yang saling bertubrukan.
<>
Saya teringat saat pertama kali memasuki ruang kuliah film di Institut Kesenian Jakarta. Bertemu dengan guru-guru saya yang bijak. Diantara mereka adalah Bapak MD. Aliff dan Bapak Chalid Arifin. Mereka mengajarkan kepada kami, murid-murid yang belia ini suatu nilai-nilai. Film dan semangat kebangsaan.

Di tengah gemuruh perubahan dan transisi-transisi yang menciptakan situasi gamang ini, barangkali pengajaran semacam itu tidak begitu penting. Atau tertinggal jaman, disebut old school dan kadaluarsa. Tetapi saya sendiri mengalami sebuah perubahan besar dalam berpikir, bekerja dan melakukan tindakan dalam kehidupan ini. Generasi sekarang hidup dalam kemudahan demi kemudahan, membuat film sudah sangat ringkas dan praktis. Generasi digital. Mungkin semua ini menjadi lebih baik, mungkin saja tidak, karena semua kemudahan ini bisa saja menjadikan generasi ini tumbuh dalam kesombongan dan ketidakberdayaan, sebab semua dibangun atas nama individu dan kelompok, bukan bagi suatu cita-cita bersama. Ya bisa saja generasi ini menjadi sangat congkak dan sombong.

Saya teringat pak Alif pada suatu ketika menyampaikan cerita ketika pertama kali mebuat film bersama Bung Usmar. Membuat film pada masa itu sama beratnya dengan bergerilya melawan tentara Belanda. Sumber daya teknik film tidak memadai. Seorang kameramen bernama Max Terra mesti menyiasati problem dengan membuat kamera kanibal. Harap maklum, kamera masa itu merupakan kamera rampasan perang dan Indonesia masih dalam masa Revolusi, harus berjuang dan mencipta dengan apa yang ada. Lampu petromaks menjadi penting, sebab lampu-lampu seperti yang terdapat di studio Hollywood tidak tersedia di sini.

Bung Usmar, dari cerita guru Alif itu, saya membayangkan suatu situasi yang tidak ideal. Namun dari situasi dan kondisi yang demikian itulah Darah dan Doa lahir sebagai film yang melampaui jamannya. Kemudian ada satu lagi cerita yang membekas dalam ingatan saya, ketika Bung datang sendiri ke Cukong pemilik bioskop Megaria untuk mengajukan pemutaran film Bung Usmar di bioskop yang menurut kelas sosial masa itu merupakan bioskop elite (dalam hal ini saya ingat Bung Pramoedya pernah bercerita, bioskop itu salah satu tempat favorit Chairil Anwar nongkrong).

Saya terkesiap manakala mendengar cerita dari Guru Alif bahwa Bung Usmar melakukan pemukulan fisik kepada cukong bioskop Megaria karena film Bung Usmar ditolak. Sekali lagi saya merasakan betapa orang sekaliber Bung Usmar harus melakukan tindakan tersebut. Perjuangan dan revolusi memang membutuhkan kekerasan, satu diantaranya adalah untuk memperjuangkan film Indonesia. Ya Film Indonesia, Film Nasional.Banyak lagi cerita perihal perjuangan Bung Usmar dan kawan-kawan yang saya dengar dari Guru Alif. Saya harus menghargai jasa-jasa Bung dan kawan-kawan. Tanpa generasimu, barangkali kami tidak dapat mengenyam pendidikan film, bahkan tidak mungkin film Indonesia mengalir dalam sejarah yang demikian berliku. Saya sangat terinspirasi dengan perjuangan Bung Usmar, hingga Indonesia dapat merajai pasar film di Singapura dan negeri-negeri jiran Asia Tenggara. Ini suatu prestasi yang luar biasa. Hollywood pun berdecak kagum menerima Bung Usmar, manakala Bung memenuhi suatu undangan lawatan ke Amerika. Orang-orang yang me
rajai perfilman dunia itu heran, bagaimana mungkin Bung Usmar dan kawan-kawan dapat membuat film dengan segala keterbatasan?

Guru Chalid bercerita lebih luas lagi. Dari beliaulah saya mengenal sejarah film dunia. Saya jadi paham mengapa orang-orang Hollywood pada masa itu kagum pada Bung Usmar, sebab orang Indonesia yang baru saja merdeka seumur jagung, sudah mampu membuat film yang tidak kalah dengan Eropa dan bahkan Amerika. Pencapaian kualitas yang tidak main-main. Dari pak Chalid saya mengenal Neo realisme Italia, Bycicle Thief yang disutradarai Vittorio De Sica tahun 1948, film itu dibuat dalam kondisi pasca perang yang memilukan. Indonesia memiliki Bung Usmar, dengan semangat revolusi membuat film yang tidak kalah menariknya. Satu hal yang senantiasa membekas dan tertanam dalam kesadaran saya adalah pernayataan pak Chalid di depan kelas yang menyatakan “film tidak lepas dari ekonomi dan politik”.

Mata pelajaran Sejarah film dunia yang pak Chalid sampaikan membuka mata saya sebagai remaja belia yang tengah belajar film, film pada kenyataannya bukan sekedar teknis dan pembahasan-pembahasan estetika, melainkan lebih dari itu. Film merupakan manifestasi daya nalar dan peradaban sebuah bangsa. Jika kemudian neorealisme Italia dikenal dalam catatan-catatan sejarah film dunia, mengapa Bung Usmar tidak? Bahkan pada sebuah buku The History of World Sinema terbitan Amerika, nama Bung Usmarpun tidak tercatat dalam sejarah film Asia?

Bung Usmar, perjuanganmu dan kawan-kawan pada masa itu sungguh hebat. Pencapaian kualitas filmmu sungguh di luar dugaan. Saya merasa jauh dan tertinggal. Merasa tidak pernah berbuat apapun dalam perfilman dewasa ini. Jika saya boleh bercerita, di tengah kondisi serba mudah saat ini, saya merasa kurang ilmu untuk dapat membuat film sekualitas anda. Bahkan saya berani menyatakan dalam surat ini, bahwa generasi film setelah 1998 pun belum ada yang mampu mengungguli karya Bung Usmar. Bukannya belum ada, barangkali tidak ada.

Dari realitas perfilman Indonesaia saat ini persoalan yang menggumpal dalam kepala saya. Generasi muda pembuat film Indonesia saat ini entah mengapa tidak dapat bersatu seperti di jaman Bung Usmar dulu. Bersatu untuk membangun perfilman Indonesia menuju pencapaian bersama. Saya tidak tahu lagi apa penyebab dari semua ini. Semua serba ruwet. Semua serba ingin menjadi yang terdepan. Saya ingin bercerita perihal komunitas film, rumah produksi film, lembaga pendidikan film, media massa film, organisasi karyawan film, badan pemerintah dan kemendterian yang mengurus kebijakan perfilman. Semua itu serasa seperti berjalan sendiri-sendiri. Ceritanya akan sangat panjang dan rumit. Satu hal yang ingin saya sampaikan dengan sederhana adalah sebuah pertanyaan. Mengapa film Indonesia belum mampu tumbuh sebagai manivestasi mutu dan kualitas, serta mengapa industri film Indonesia tidak mencapai apa yang Bung Usmar dan Bung Jamaluddin Malik cita-citakan?

Tentunya ada banyak hal yang rumit untuk diurai. Konflik kepentingan dari masing-masing kelompok sama halnya situasi ketika terjadi rasionalisasi laskar-laskar dan milisi setelah revolusi 45. Boleh jadi kekonyolan-kekonyolan yang ada dalam adegan-adegan film Naga Bonar nya Bung Asrul Sani sama persis dengan apa yang tengah terjadi dalam situasi kondisi perfilman Indonesia saat ini.Terjadi pada generasi perfilman Indonesia saat ini.

Bung Usmar, setelah perubahan terjadi di tahun 1998, situasi bukan makin baik tetapi makin buruk. Jika tahun ini menurut kabar burung ada seratusan lebih judul film diproduksi, apakah semua itu merupakan film yang dipikirkan kualitasnya? Saat ini ada banyak orang membuat rumah produksi film, banyak pula setelah membuat film mengatakan rugi, saat ini muncul komunitas-komunitas film dengan berbagai macam fokus program kegiatan, seperti jamur di musim penghujan, tidak semua komunitas tumbuh dalam konsistensi, sekarang ini ada beberapa anak muda yang menjadi praktisi perfilman membangun oposisi terhadap penguasa kebijakan, namun dengan mudah beberapa di antaranya kemudian menjadi kolaborator kekuasaan itu sendiri, sekarang ini banyak orang dengan mudah bekerja sebagai crew film, namun setiap hari mengeluh karena kesejahteraan yang tidak memadai, sekarang ini banyak sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan film atau audio visual, namun tidak semua menghasilkan anak didik yang mumpuni.

Saya tengah mencari jawaban dari semua persoalan ini, Bung. Mungkin Bung Usmar dapat menuliskan catatan balasan kepada saya. Saya percaya, bunga-bunga akan tumbuh dan berkembang aneka warna dan aroma dalam taman perfilman Indonesia, dan biarlah semua itu menghiasai taman besar bernama Indonesia ini. Semua memang butuh perjuangan, semua butuh rendah hati, semua butuh penyikapan dan semua itu. Masihkah Bung Usmar mau berbagi, pun dalam ruang imajiner ini?


*Daniel Rudi Haryanto, pegiat film