Opini

Taliban Butuh Bangun Dunia Hukum untuk Berubah

Kam, 2 September 2021 | 13:30 WIB

Taliban Butuh Bangun Dunia Hukum untuk Berubah

Taliban Butuh Bangun Dunia Hukum untuk Berubah. (Ilustrasi)

Perubahan mendasar kebijakan Taliban ditunggu khalayak dunia. Dahlan Iskan menulis dan menyatakan bahwa Taliban kini beda dengan Taliban 1996 yang brutal. Yang sekarang adalah Taliban Rasul (Muhammad Rasul). Pemimpin yang berperan besar dalam pemberantasan perdagangan ganja di perbatasan yang konon menjadi salah satu sumber pendanaan Taliban.

 

As’ad Said Ali, mantan wakil ketua umum PBNU yang juga mantan petinggi BIN, mengatakan bahwa yang sekarang adalah Taliban Akhunzadah (Hibatullah Akhunzadah). Kelompok ini lebih merupakan gerakan politik Islam nasional yang bersenjata. Mereka punya lokus dan teritori tidak seperti gerakan jihad global Al Qaeda yang tidak memiliki wilayah kekuasaan tapi melakukan aksi lintas negara (transnasional) menyasar simbol-simbol Barat.

 

Saat Taliban merebut ibukota Kabul, kelompok inilah yang melakukannya, bukan Haqqani (Sirajuddin Haqqani). Sementara nama terakhir ini, banyak dikaitkan dengan Taliban yang identik dengan ISIS dan Al Qaeda. Saat terjadi bom bunuh diri di bandara Kabul yang menewaskan 160, bahkan ada yang menyebut 200 nyawa, nama Haqqani muncul ke permukaan. Kedatangan Haqqani yang disambut petinggi Taliban 2 hari sebelum aksi ledakan memunculkan spekulasi bahwa Haqqani terlibat meski secara resmi ISIS Khurasan menyatakan bertangung jawab. Tiga nama itu: Rasul, Akhunzadah, dan Haqqani sering disebut sebagai faksi terbesar dalam Taliban. Dua yang pertama yang sekarang dominan dinilai moderat dibandingkan Haqqani. Selain mereka tentu ada nama yang lain seperti Abdul Ghani Baradar, wakil Mullah Muhammad Omar pendiri Taliban, yang bakal memimpin pemerintahan Taliban.

 

Harapan dunia akan perubahan kebijakan Taliban muncul dalam isu perempuan dan dijauhkannya brutalisme atas nama hukum. Dalam isu pertama, Suhail Shaheen dan Zabihullah Mugahed, keduanya jubir Taliban, mengatakan akan memberikan hak pendidikan dan bekerja bagi perempuan dan tidak mewajibkan burqa atau penutup muka/wajah bagi perempuan. Meski demikian, seberapa jauh hak itu didapat masih wait and see. Sementara terdapat kabar bahwa pada awal Juli di provinsi Badakhshan dan Takhar, pemimpin lokal Taliban meminta data wanita muda di atas 15 tahun dan janda di bawah 45 tahun untuk dinikahi oleh para pejuang Taliban. Suatu hal yang memicu terjadinya kawin paksa. Di masa perang, masalah pemenuhan kebutuhan biologis rawan terjadi. Saat pendudukan Jepang atas Indonesia, hal serupa terjadi. Demikian juga saat kehadiran Amerika di Vietnam. Yang beda kali ini, baik pelaku maupun korban sama-sama sebangsa. Entah korban dari kubu lawan ataupun rakyat jelata yang tidak tahu-menahu urusan konflik politik apalagi ideologi. Yang korban tahu kalau menolak akan ada risiko berat (Theconversation.com).

 

Pernyataan bahwa Taliban mengeluarkan amnesti umum untuk aparatur pemerintah, perlu pembuktian lapangan. Laporan dari televisi internasional menunjukkan adanya eksekusi terhadap tentara, polisi, dan tenaga penerjemah Amerika. Kepala kepolisian provinsi Bagdhis di Herat, Haji Mullah Achakzai, dieksekusi setelah menyerahkan diri. Oknum Taliban mendatangi pintu ke pintu oknum tersangka dan mengeksekusi di tempat. Berita yang beredar menunjukkan bahwa amnesti tidak berlaku untuk semua. Apakah ini tindakan pelanggaran prosedur oleh oknum Taliban atau atas persetujuan atasan Taliban, belum bisa dipastikan. Juga kabar dari CNN tentang eksekusi musisi lokal, Fawad Andarabi, oleh Taliban. Padahal, kata jubir Taliban, pelarangan musik akan dilakukan secara persuasif bukan semena-mena. Dalam artian bahwa musisi pelan-pelan dirayu untuk meninggalkan musik.

 

Beberapa tindak kekerasan itu menjadikan platform perubahan Taliban kabur. Sebatas isu cadar, terbukti berubah. Tapi kebebasan wanita bekerja masih tanda tanya. Sebab tampaknya, hanya di sektor terbatas seperti kesehatan, mereka terbuka. Sedang di sektor lain seperti sebagai presenter media tertutup. Padahal di negara Uni Emirat Arab pilot pesawat tempur sudah ada yang perempuan.

 

Aksi kekerasan seperti eksekusi di depan publik masih menjadi pertanyaan, apakah itu prosedural atau aksi main hakim sendiri. Dalam dunia hukum, terdapat lembaga pengadilan, sistem hukum (kontinental, anglo-saxon, dan Islam), materi hukum (undang-undang atau peraturan), dan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat). Taliban yang baru berkuasa tentu masih dalam perjalanan panjang untuk membangun dunia hukumnya. Apalagi Taliban menerapkan hukum yang berbeda dari yang berlaku sebelumnya, maka butuh pengadaan infra dan supra-struktur hukum yang baru yang harus dibangun dan diperbaiki secara terus-menerus.

 

Materi hukum Islam bertebaran di banyak kitab. Harus dipilih mana yang digunakan dan diredaksikan dalam bahasa hukum formal dan operasional. Lembaga pengadilan dengan administrasi yang rapi agar bukti dan pembuktian terjaga dan keadilan terwujud tanpa kezaliman. Kualitas hakim dalam memahami dan memutuskan perkara adalah unsur lain yang membutuhkan pendadaran dan pengalaman yang itu semua lagi-lagi berproses dan berjenjang. Secara sistem hukum barangkali bisa copy-paste dari Arab Saudi yang menerapkan syariat. Sedang materi hukum barangkali bisa copy-paste dari Pakistan yang sama-sama mazhab Hanafi. Tapi dari sisi kualitas hakim, ia murni pengadaan sendiri yang menuntut kecerdasan dalam memahami perkara dan penguasaan perspektif hukum Islam materi terkait.

 

Terjadinya kesewenang-wenangan hukum sangat mungkin terjadi di masa transisi seperti di Afghanistan. Nuansa perang menjadikan logika perang tidak bisa begitu saja dihilangkan. Yang kalah diperlakukan sebagai tawanan dan harta mereka dirampas. Meski demikian, perang tetap ada hukumnya. Tindakan sadis tidak mungkin ditoleransi apalagi tatkala rival sengaja lari demi menghindari pertumpahan darah sesama warga bangsa.

 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya