Opini ANOM SURYA PUTRA

Tayangan Mistik, Darurat Budaya

Sab, 27 April 2013 | 02:03 WIB

Insomnia di malam hari menggerakkan mata untuk melihat tayangan “mistik”. Berulang kali menontonnya terasa kegelian melihat tayangan televisi dengan pembawa acara yang seolah-olah masuk ke frekuensi alam ghaib.

<>Padahal, berulangkali KPI (Komisi Penyiran Indonesia) mengkritik dan memberi sanksi atas tayangan supranatural yang tidak jelas apa pesan-pesan dan maknanya bagi publik. Tayangan yang memboroskan penggunaan frekuensi sebagai barang publik. Efeknya pun tak terpikirkan (unthinkable) oleh stasiun televisi bahwa posisi dirinya sebagai medium kian menanamkan budaya takut terhadap Yang Maya, mematikan sensitifitas terhadap realitas, yang ujungnya adalah demagogi.

Di alam sosiologi, suatu hal yang menggerakkan individu maupun nalar dan tidak kelihatan bentuknya lazim disebut “struktur”. Begitu melihat tayangan TV tentang jalan-jalan ke suatu tempat yang diyakini mistis, sang pembawa acara dan permainan kamera seolah memproduksi kebenaran tentang struktur sosial yang ghaib. “Di sini pernah digunakan penyiksaan oleh tentara Portugis, saya menangis karena merasakannya”. Kira-kira begitu ungkapan yang saya tulis ulang dari suatu acara. Demagog. Padahal, juru kunci benteng Portugis itu sudah menceritakan bahwa tempat ini terdapat ruangan penyiksaan.

Kelanjutan dari model serupa ditampakkan pula pada suatu acara yang mengundang makhluk abad ke-15 (masa Demak) yang mengaku dirinya terkena kutukan (menjadi monyet) oleh Sunan Kalijaga karena tidak shalat Jumat. Meski pesan-pesan itu tegas ditujukan kepada publik agar menunaikan shalat Jumat, saya tetap merasa aneh “mengapa untuk shalat Jumat saja kesadaran publik digerakkan dengan mitos manusia yang dikutuk menjadi monyet”. Pun, “dialog” antara cemayang dan pembawa acara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, seolah makhluk struktural-ghaib (monyet) abad XV paham tata bahasa Indonesia abad XXI. Sekali lagi, demagog.

Reproduksi tayangan mistis di televisi semakin mengukuhkan stasiun televisi berlomba-lomba terperosok ke dalam supremasi medium. Medium mata acara diunggulkan tanpa memperlihatkan apa makna dari pesan-pesan mistik itu.  Kontras sekali dengan apa yang terjadi ketika warga masyarakat melakukan tradisi ziarah ke makam wali.

Uluk salam diajukan kepada siapapun yang dimakamkan di tempat tersebut. Tradisi tawasul, tahlilan, yasinan dan berdoa kepada Tuhan (bukan meminta kepada Yang Dimakamkan) berjalan tulus-tulus saja. Tak seorang pun yang bertingkah seperti aktor pembawa acara: “Saya merasakan enerji di sini….”, “Saya rasa beliau hadir di sini….”. Bisa-bisa dianggap tidak sopan oleh juru kunci. Bahkan di makam Sunan Tembayat Klaten, murid Sunan Kalijaga, peziarah diingatkan tidak meminta apapun kepada Yang Dimakamkan.

Ungkapan-ungkapan konyol di atas nyaris tak terdengar di kalangan peziarah. Jikalaupun ada, tak mungkin dibicarakan di tempat ziarah, paling banter akan dibicarakan di tempat lain, sambil berbisik, tersenyum dan menertawai diri sendiri sebagai refleksi ahistoris.

Memang, tak bisa dihindari bercampurnya sejarah dan mitos ketika berziarah, apalagi ketika direproduksi melalui tayangan televisi yang mistik. Agus Sunyoto menulis buku Atlas Wali Songo dalam upaya bertahun-tahunnya untuk menyingkap mana mitos, sejarah, dan mitologisasi. Syekh Siti Jenar misalnya, ditelusuri jejaknya mulai daerah yang mendekati gelarnya sendiri seperti, Lemah Abang sampai dengan Tanah Mirah. Literatur yang bermanfaat untuk menelusuri jejak Sang Wali. Ketika kita “verifikasi empiris” di petilasan/makam beliau, semisal di Kemlaten-Cirebon, kita tidak mungkin melakukan apa yang direproduksi televisi. Paling banter sekadar tawasul, tahlil dan yasinan. Usai itu, buka buku lagi karangan pemikir tasawuf di Indonesia.

Penglihatan obyektif yang mungkin layak ditayangkan agar tidak terperosok ke dalam tayangan “trans-rasional”, antara lain: tayangkan pemaknaan yang bermanfaat bagi publik, bukan mediumnya –seperti menyan ataupun kondisi “trans” dari cemayang.

Bukankah patut disayangkan jika frekuensi publik yang digunakan stasiun televisi itu hanya untuk menimbulkan delay effect seperti takut kesurupan, takut memakamkan tetangga karena ditakuti televisi dengan hadirnya pocong, takut ke kamar mandi khawatir ketemu nenek gayung, takut ke kebun di malam hari karena ada kakek cangkul, takut naik lift khawatir ketemu suster ngesot, dan seterusnya.

Teringat sesaat ketika memasuki lokasi Syekh Arsyad al-Banjari, Kalimantan Selatan, begitu banyak masyarakat yang tampak bekerja rutin, sekaligus peminta/pengemis yang hadir di sepanjang jalan. Dalam manaqibnya, al-Banjari memiliki kecerdasan dan komunikasi politik yang baik dengan kalangan elite istana. Maknanya kira-kira, berkunjung ke makam atau petilasan tertentu berarti mengingatkan diri atas jejak perjuangan sang wali/ulama/ustadz. Kunjungan itu juga memompa self-review bahwa kita akan mati tapi tidak ditakut-takuti mati oleh televisi gara-gara hadirnya pocong, kuntilanak, dan lain sebagainya. Tetap ingat pada Yang Hidup dan terutama bagi peminta atau pengemis di sekitar lokasi –-jika ada dan hadir.

Andai stasiun televisi memproduksi makna: “jika anda pemimpin, ingatlah mati” atau “jika anda nanti menjadi pemimpin, ingat orang miskin yang anda jumpai di sekitar makam”, maka publik masih akan memahami pesan moral: “jangan mengambil harta hasil transaksi ekonomi politik di sekitarmu”.


ANOM SURYA PUTRA, Analis hukum dan kebijakan publik