Opini

Tradisionalisme NU

Rab, 5 Maret 2014 | 22:07 WIB

Oleh H. As’ad Said Ali 

Selama ini Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi Islam tradisional. Sering, sifat tradisional ini dilihat secara negatif sehingga organisasi ini dianggap terbelakang dalam pola pikir, oportunis dalam berpolitik dan sinkretik dalam beragama.<>

Belakangan cara pandang ini mengalami revisi. NU memang tradisional dalam arti gerakan Islam yang memiliki kesadaran diri tradisionalisme (self-consciousness traditionalism). Artinya, warga NU adalah muslim yang berkesadaran dengan tradisi, menjadikan tradisi sebagai “saringan simbolik” untuk memaknai sesuatu. Bahkan lebih dari itu, tradisi ditempatkan sebagai kuasi-ideologi (yang terbuka), berhadapan dengan ideologi-ideologi lain.

Sebuah studi menarik dilakukan oleh Mitsuo Nakamura atas tradisi NU. Berdasarkan pengamatan terhadap Muktamar Semarang 1979 dan pergulatan politik NU secara umum di masa itu; Nakamura berkesimpulan bahwa tradisionalisme NU tidak bertentangan dengan progresivisme politik. Iapun merevisi cara pandang yang telah mapan di kalangan ilmuwan Barat, yang menempatkan tradisi agama sebagai halangan progresivitas.

Program Dasar Pengembangan NU, 1979-1983 menunjukkan hal ini. Dalam program tersebut, PBNU secara konsisten merekomendasikan program pembangunan yang sesuai dengan prinsip mashlahat sebagai respon atas kebijakan negara yang timpang.

Rekomendasi tersebut meliputi; (1) Tuntutan perubahan struktur ekonomi kolonial yang tergantung dengan pasar internasional, menjadi struktur yang didasarkan atas asas mandiri; (2) Perubahan ketergantungan ekonomi pada modal, teknologi dan manajemen impor, menjadi berdasar pada sumber daya manusia domestik; (3) Prioritas utama harus diberikan pada kebutuhan dasar, makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan; (4) 40% lapisan bawah penduduk harus mendapatkan perhatian khusus; (5) Kebijakan pemenuhan kesempatan kerja secara nasional; (6) Ketimpangan dalam distribusi kekayaan harus dikurangi (1997:60).  

Sebagai peneliti luar, Nakamura tentu terkejut: bagaimana rekomendasi dan pandangan politik progresif bisa lahir dari rahim kalangan tradisional yang selama ini dianggap terbelakang?

Sikap progresif tersebut tentu bukan hal baru. Di Muktamar ke-24 di Bandung (1967), NU telah melakukan kritik terhadap bangunan politik yang dianggap timpang. Berdasarkan pengetahuan mendalam atas sistem politik modern, NU misalnya, menolak demokrasi liberal karena akan menumpukkan kekuasaan di tangan perorangan dan kelompok kecil, sehingga mengabaikan kepentingan orang banyak. NU juga menolak garis politik Marxisme-Leninisme yang membenarkan pencapaian kekuasaan melalui kekerasan serta dominasi satu golongan atas golongan lain. Pada saat yang sama, NU juga menolak “demokrasi terpimpin” yang menjurus pada akumulasi kekuasaan di tangan satu orang dan karenanya melenyapkan demokrasi secara bertahap.

Berdasarkan penolakan ini, NU kemudian menawarkan “demokrasi Pancasila” sebagai sistem politik yang sesuai dengan dasar negara Republik Indonesia itu sendiri. Yang dimaksud sebagai “demokrasi Pancasila” tentu adalah sistem demokrasi berbasis daulat rakyat dan berujung pada keadilan sosial, melalui mekanisme musyawarah dalam terang hikmat kebijaksanaan. Sistem seperti ini akan memaksimalkan peran rakyat dalam mekanisme deliberasi yang diatur melalui prinsip dan prosedur demokrasi berkeadilan.  

 

Prinsip Mashlahat

Segenap data historis di atas menunjukkan progresivitas NU di panggung politik nasional. Progresivitas ini secara inheren lahir dari rahim tradisi agama yang oleh sebagian kalangan dianggap menghalangi kemajuan. Pertanyannya, apakah tradisionalisme NU itu? Bagaimana tradisi ini melahirkan pandangan dan sikap kemasyarakatan yang progresif?

Tradisi secara literal dipahami sebagai transmisi nilai dari generasi lalu ke generasi sekarang. Oleh karenanya, tradisi merupakan pilar yang menjaga kesinambungan nilai di masyarakat. Tradisi ini bisa berupa nilai, konsep pemikiran, maupun ritus simbolik yang telah menjadi kebiasaan (habitus). Bagi kalangan awam, tradisi hanya dilakukan, sering secara kolektif, tanpa harus mengetahui nilai yang terkandung di dalamnya. Bagi pemimpin dan kalangan terdidik, tradisi tidak hanya dilakukan melainkan dipahami maknanya. Dalam arti ini, tradisi merupakan bagian dari budaya sebab ia membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat secara umum.

NU disebut gerakan Islam tradisional karena ia menjaga tradisi Islam di Indonesia. Tradisi ini merupakan pertemuan antara tradisi besar (high tradition) berupa “korpus Islam resmi” yang universal, dengan tradisi lokal (local tradition) di Nusantara. Sifat pertemuan ini bukanlah peleburan isi, melainkan “peminjaman bentuk” sebagai media dakwah Islam. Inilah yang disebut pribumisasi Islam. Oleh karenanya, pribumisasi Islam bukanlah sinkrestisme: peleburan substansi agama sehingga melahirkan campur-aduk teologis. Melainkan (hanya) peminjaman “bentuk budaya” untuk disusupi nilai-nilai Islam. Tradisi selametan misalnya, awalnya merupakan tradisi pemujaan roh leluhur masyarakat Hindu-Jawa. Oleh Walisongo, bentuk tradisi ini diambil, namun isinya diganti dengan tahlilan. Selain menjaga tauhid, doa kepada saudara yang meninggal; tahlilan juga menjaga paguyuban di kalangan masyarakat.

Dalam pemikiran keagamaan, tradisi NU memusat di dalam trilogi nilai yakni tauhid, fiqh dan akhlaq. Tauhid merupakan puncak keislaman muslim yang diamalkan melalui hukum (syariah) dan membuahkan akhlaq (tasawuf). Terma akhlaq ini yang kemudian diperluas tidak hanya pada ranah individu melainkan (etika) sosial. Inilah makna hakiki dari hadist Nabi Muhammad SAW, “Innama bu’istu liutammima makarimal akhlaq”. Proses penyempurnaan akhlaq menjadi bermakna jika ditempatkan dalam rangka pembentukan masyarakat yang etis.

Untuk kepentingan inilah NU menetapkan kemashlahatan rakyat (al-mashalih al-ra’iyyah) sebagai “muara etis” pengabdian masyarakatnya. Dengan demikian tidak heran jika keabsahan pemerintah selalu diukur dari kemampuannya dalam mensejahterakan rakyat, sebagaimana kaidah Tasharruf al-imam ‘ala al-raiyyah manuthun bi al-mashlahah. Dengan menempatkan kemashlatan sebagai nilai kemasyarakatan tertinggi, NU tidak ragu untuk menerima bangunan NKRI, sebab yang diperjuangkan adalah fungsi, bukan bentuk. Selama NKRI bisa berfungsi mensejahterakan rakyat, maka bentuknya yang nasionalis bisa diterima.

Dengan demikian, justru karena tradisinyalah, NU menjadi gerakan keagamaan yang progresif. Hal ini berangkat dari pola pikir yang selalu kontekstual. Di awal islamisasi di Nusantara, kontekstualisasi Islam dilakukan oleh para Wali dalam konteks budaya. Pada masa Indonesia modern, kontekstualisasi Islam dilakukan pada ranah kemasyarakatan dalam konteks politik nasional. Karena nilai yang dibela adalah kemashlahatan, maka NU bisa beradaptasi dengan bangunan politik dan rezim apapun. Namun ketika rezim tersebut tidak sesuai dengan prinsip mashlahat, NU tidak segan untuk melontarkan kritik atau bahkan menolaknya. Sikap progresif berdasarkan tradisi ini yang dilihat oleh Nakamura serta terjadi pada penolakan NU atas demokrasi liberal, komunis dan terpimpin di Muktamar ke-24.

Segenap nilai yang menjaga tradisi Islam di Indonesia, serta pemikiran keagamaan berdasarkan tradisi NU inilah yang disebut sebagai tradisionalisme Islam. Disebut tradisionalisme karena ia telah menjadi pandangan dunia (weltanschauung) yang akhirnya membentuk karakter kultural tertentu. Oleh karena itu, selayaknya warga NU bangga dengan tradisionalisme ini, karena sebuah peradaban akan besar, jika berpijak pada tradisi seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina Daratan.

 

H. As'ad Said Ali, Wakil Ketua Umum PBNU