Opini

Waspada Persaudaraan Retak karena Pilkada Serentak

Jum, 12 Januari 2018 | 06:01 WIB

Oleh Arul Elgete

Gong sudah dibunyikan. Masing-masing partai politik memunculkan nama-nama untuk dipilih masyarakat pada 27 Juni 2018 mendatang. Semua elit politik berbenah, mencari cara dan strategi untuk saling mengalahkan. Bahkan, menjatuhkan lawan main. Entahlah, apa yang sedang direncanakan para dalang di balik layar pertunjukkan.

Sebab yang pasti; dalam pemilihan kepala daerah dengan sistem elektoral; satu orang satu suara itu, masyarakat hanya dijadikan objek. Misal, kita tidak terlibat dalam menentukan siapa pasangan yang akan dijadikan pemimpin selanjutnya. Kita hanya punya hak untuk memilih pasangan yang sudah disajikan. Namun, tidak bisa turut serta dalam memunculkan nama untuk merekomendasikan seseorang, kecuali kalau kita kader partai.

Politik ala liberal memang seperti itu macamnya. Kita dipancing dengan iming-iming harga miring. Dipaksa untuk fanatik terhadap pasangan yang didukung. Sehingga, muncul percikkan api perselisihan.

Peninggalan Belanda kerap diulang dan terulang, yakni politik pecah-belah. Masyarakat, antar-warga, bahkan dengan saudara kandung sendiri, bisa saja melakukan baku hantam karena berbeda pandangan politik; fanatik. Seperti itukah yang diharapkan dari pemilukada? Mendukung, tapi dengan menghalalkan segala cara. Dan, akhirnya politik tak lagi sebagai salah satu bagian untuk dididik dan mendidik. Melainkan hanya kepentingan untuk mencapai kekuasaan.

Memangnya siapa yang akan kita pilih? Dia tetap orang lain. Dalam politik, yang fana adalah kawan dan lawan, sedangkan yang abadi adalah kepentingan. Maka itu, kita mesti mengurangi kadar fanatisme pada pemimpin yang dilahirkan dari rahim yang penuh intrik. Bukankah perbuatan yang berlebihan itu tidak disukai oleh Tuhan? Dan, ingat juga bahwa mengikutsertakan Tuhan secara berlebihan ke dalam kubang perpolitikan merupakan perbuatan yang sangat picik. 

Di era kekinian, untuk berkuasa di suatu wilayah sangat mudah. Pertama, mereka yang lebih dulu dikenal warga. Kedua, calon petahana akan mengungkit karya-karya yang telah diciptakan, tetapi menutup rapat-rapat kebobrokan yang kerap dilakukan. Alasannya, "Kami hanya manusia biasa yang tak lepas dari salah dan dosa. Kalau ada kurang, kami akan benahi. Karenanya, kami masih butuh waktu untuk membenahi daerah ini."

Ketiga, punya biaya yang banyak untuk membuat media online dan media sosial sebagai corong pemenangan. Kemudian membayar orang-orang yang lihai memproduksi konten untuk membangun citra yang baik di dunia maya. Biasanya orang-orang seperti ini disebut buzzer dengan iming-iming material atau jabatan.

Keempat, tentu mendatangi warga yang paling miskin di daerahnya. Menyantuni anak yatim, memberi bantuan kepada janda yang sudah lanjut usia, dan memberikan uang cuma-cuma kepada tukang becak di jalanan. Tidak lupa; santunan, bantuan, dan uang cuma-cuma itu sudah dibumbui oleh penyedap rasa berupa kata-kata. 

Kelima, melakukan kerja sama dengan institusi pendidikan. Kemudian, para tenaga pengajar memberikan tugas kepada anak didiknya untuk membuat karya; tulisan, video, audio-video, dan sebagainya; yang tujuan utamanya adalah meloloskan calon kepala daerah melenggang bebas hingga tiba di singgasana kekuasaan. Anak didik; baik pelajar maupun mahasiswa, tentu tidak tahu apa-apa. Sebab, yang mereka tahu adalah nilai yang mesti bagus agar terhindar dari ocehan ibu di rumah.

Keenam, blusukan ke pelosok kampung. Menemui tokoh masyarakat; seperti ajengan, kiai, dan orang yang punya pengikut banyak (opinion leader); untuk mengerahkan massanya. Tentu, tidak gratis. Sebab, di hadapan harga, semua orang punya kedudukan yang sama.

Terakhir, ketujuh, barangkali masih berkaitan dengan sebelumnya yakni, memainkan isu agama. Untuk yang satu ini, saya tidak perlu panjang lebar menjelaskan. Sebab, semuanya sudah jelas.

Dari poin-poin di atas itu, hanya sebagian kecil saja yang bisa dilakukan aktor politik di arena pertempuran. Masih ada ratusan bahkan miliaran cara untuk sampai pada titik kemenangan, dan berkuasa.

Agenda pertama usai terpilih sebagai kepala daerah adalah mencari cara untuk mengembalikan modal dan hutang. Agenda kedua, mencari keuntungan untuk orang-orang terdekat, kolega, keluarga, dan tim sukses yang selalu dibangga. Agenda kedelapan puluh sembilan, alias yang akan dilakukan di akhir masa jabatan adalah, membangun daerah kepemimpinannya menjadi baik; minimal secara fisik terlihat menarik.

Jadi, seperti itulah opini saya mengenai pemilukada zaman now ini. Semuanya bisa dilakukan, dengan cara bagaimana, melalui apapun, dan menggunakan apa saja. Intinya, seseorang sebagai pendukung dan pasangan calon yang didukungnya harus menang.

Terakhir waspada, karena persaudaraan (ukhuwah) bisa retak gara-gara pilkada serentak. Sebab, semua orang jadi galak kalau pilihannya dibilang tidak layak. Yang terpenting, esok atau lusa, ada citra baru yang dimunculkan di setiap lapak. Sementara segala keburukan mesti ditutup rapat-rapat agar tidak membelalak. Hati-hati ditabrak. Jangan sembarangan teriak, nanti dilabrak. Skak! Wallahu a'lam.

Penulis adalah mahasiswa semester akhir Ilmu Komunikasi Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi.