Pendidikan Islam

Program Tahfidz Pesantren Durrotu Aswaja Semarang Diminati Mahasiswa

Ahad, 9 Desember 2018 | 14:15 WIB

Semarang, NU Online
Keinginan seseorang untuk menjadi santri sekaligus mahasiswa semakin meningkat, terlebih dengan adanya ketertarikan para santri untuk mengambil program tahfidz al-Qur'an. Hal ini terjadi di Pondok Pesantren Durrotu Aswaja (PPDA) Banaran, Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah hingga harus terus menambah ruang kamar.

"Saat ini kami sedang membangun lantai empat," kata Kiai Agus Romadhon saat ditemui di kediamannya, Ahad (9/12).

Menurutnya, santri PPDA berjumlah sekitar 500 orang. Jumlah tersebut mencatatkan pesantren ini sebagai sebagai santri mahasiswa terbesar di Jateng. Pesantren lain di Jawa Tengah, khususnya Kota Semarang banyak yang memiliki jumlah santri lebih dari 500, tapi tidak seluruhnya berlatar belakang sebagai mahasiswa.

Kiai Agus menuturkan, sejak pendiriannya pembangunan pesantren dilakukan secara bertahap dengan pendanaan secara mandiri, bantuan dari santri yakni infaq pembangunan santri masuk, alumni, dan usaha pesantren atau koperasi. 

“Sejauh ini pesantren tidak pernah mengajukan proposal bantuan maupun menerima bantuan pemerintah,” ungkapnya. Dalam kegiatan keuangan, PPDA bisa menerima maupun mengajukan bantuan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR)  untuk kegiatan tertentu dan selain pembangunan.

 “Minat para mahasiswa untuk terus di pesantren dapat dilihat dari jumlah santri keluar yang lebih sedikit dibandingkan dengan santri yang masuk di tiap tahunnya,” kata lurah pondok putra, Mohammad Fika Al Muzabbib. Jumlah santri putra secara keseluruhan sekitar 200, lanjut mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Asing di Unnes ini.

Menurut santri asal Kudus ini, kenaikan jumlah santri putra dalam waktu tiga tahun terakhir ini diperkirakan dua puluh persen. “Dengan santri yang masuk hampir 150 orang dan 15 hingga 20 orang santri keluar di tiap tahunnya,” urainya. 

Yang masuk hampir 150 orang, sementara yang keluar cuma 15 sampai 20 orang. "Umumnya yang masih bertahan di pesantren melanjutkan program tahfidz, kalau yang lanjut S2 tahun ini baru 1 orang, 3 lainnya yang Kuliah pasca santri baru," imbuhnya.

Kondisi tersebut juga karena faktor minat santri dalam menghafal al- Qur'an sejak masuk dan adanya kebijakan untuk menyelesaikan hafalan sebelum pulang.

"Karena santri sini ada yang baru menghafal waktu semester tiga bahkan ada yang sudah semester lima baru mulai menghafal,” jelasnya. Santri yang hafalan itu tidak diperbolehkan boyong sebelum menyelesaikan hafalannya sampai 30 juz, lanjutnya.

Pesantren menerima masukan santri yang umumnya merasakan kurangnya fasilitas. Di antaranya kamar mandi sangat terbatas, kekurangan air bersih, dan kamar tidur yang mulai sesak. “Sementara untuk tidur para santri banyak memanfaatkan ruang aula,” katanya.

Kondisi serupa juga dialami santri putri sebagaimana diungkapkan lurah pondok putri, Novela Nur Jannah. Mahasisiwi jurusan psikologi ini menyatakan sekitar setengah dari santri masuk yang keluar setelah lulus kuliah.

"Untuk saat ini jumlah keseluruhan santri kurang lebih 300 santri," ungkapnya, Tapi dalam setahun, jumlah santri yang masuk ada pada kisaran 100, sementara yang keluar 50an, lanjut santri asal Pakis, Tayu, Kabupaten Pati ini.

Masalah lain, jumlah kamar mandi dirasa belum mencukupi, terlebih di saat pagi. “Para santri harus mengantri untuk mandi sebelum berangkat kuliah,” tandasnya. (Rifqi/Ibnu Nawawi)

Terkait

Pendidikan Islam Lainnya

Lihat Semua