Pesantren

11 Keunikan Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen

Rab, 15 Maret 2017 | 07:03 WIB

11 Keunikan Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen

Pesantren Mathali’ul Falah Kajen.

Entah mengapa selepas menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di desaku, saya berhasrat sekali untuk meneruskan pendidikan di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah atau biasa dikenal dengan Mathole’, sebuah sebuah sekolah yang terletak di desa Kajen. Saya tahu bahwa di sekolah tersebut muridnya diwajibkan untuk menghapal bait-bait dan atau matan kitab kuning, suatu hal yang dijauhi teman saya pada waktu itu, tapi saya tidak gentar dan mantap untuk meneguk ilmu di Mathole’ karena tertantang. Keinginan kuat saya untuk belajar di Mathole’ didasari atas dua hal: hafalan kitab dan tidak ada Ujian Negeri (UN). Bagi saya, itu ‘sesuatu’ banget.

Namun sayang beribu sayang, orang tua saya tidak memperkenankan saya untuk mendaftar di sekolah tersebut karena berbagai alasan, diantaranya adalah usia saya yang masih kecil. Karena kalau saya jadi mendaftar di sekolah tersebut, saya harus sekaligus tinggal di pesantren yang ada di sekitar Mathole’(salah satu peraturan Mathole’ adalah murid yang jarak rumahnya lebih dari 5 km dari Mathole’, maka wajib mesantren). Itu yang mungkin tidak diinginkan oleh orang tua saya, yakni meninggalkan mereka di saat saya masih bocah.

Setelah tamat dari Madrasah Tsanawiyah, segera saya daftarkan diri di Mathole’. Singkat cerita, dari sekitar 99 orang (kalau tidak salah) yang mendaftarkan diri untuk tingkat Aliyah di Mathole’,hanya ada 9 orang yang diterima pada tingkat Aliyah, termasuk saya. Adapun selebihnya masuk ke tingkat Diniyah Wustho satu dan dua. Kelas persiapan sebelum masuk ke tingkat Aliyah, masing-masing masa pendidikannya berlangsung selama satu tahun. Kalau ada yang diterima di Diniyah Wustho satu, maka ia harus melewati Diniyah Wustho dua terlebih dahulu sebelum menginjak jenjang Aliyah. 

Selama tiga tahun mengenyam pendidikan Islam yang berhaluan Aswaja dan memiliki tagline “Tafaqquh Fiddin, Menuju Insan Sholih Akrom” tersebut, saya menemukan beberapa keunikanyang ada di Mathole’dan itu sudah melekat dan menjadi karakteristiknya. Berikut adalah keunikan-keunikan yang ada di Mathole’. 

1. Menggunakan perhitungan Hijriyah

Pada umumnya, sekolah-sekolah yang ada di Indonesia menggunakan perhitungan bulan Masehi untuk menentukan tahun pelajaran atauawal-akhir dari proses belajar mengajar (akhir Juli adalah waktu kenaikan kelas). Namun tidak demikian dengan Mathole’, Mathole’ menggunakan tahun dan bulan Hijriyah sebagai patokan untuk menentukan tahun pelajaran. 

Kalau sekolahan yang lain menetapkan akhir Juli sebagai awal dari proses belajar mengajar, maka Mathole’ menetapkan bulan Syawal (bulan ke-10 dari tahun Hijriyah) sebagai awal dari tahun pelajaran dan bulan Sya’ban (bulan ke-8 dari tahun Hijriyah) sebagai akhir dari proses belajar mengajar. Jadi pada bulan ke-9 dari bulan Hijriyah, bulan Ramadhan, murid Mathali’ul Falah libur penuh. Dan biasanya selama bulan puasa ini, mereka mengaji posonan di pesantrennya masing-masing atau di pesantren yang menyediakan program posonan.

Syawwal memiliki arti peningkatan. Setelah satu bulan penuh menjalani puasa pada bulan Ramadlan, maka orang-orang yang beriman akan mendapatkan peningkatan keimanan dan ketakwaan. Berangkat dari situ, maka masyayikh Mathole’ menetapkan Syawwal sebagai awal tahun pelajaran sebagai bulan peningkatan intelektualitas murid Mathole’ atau kenaikan kelas.Cerita yang saya dengar seperti itu. Entah benar atau tidak, Wallahu ‘Alam. Namun yang pasti, tahun pelajaran baru Mathole’ berbeda dengan tahun pelajaran baru sekolah-sekolah lainnya.

2. Tidak ada Ujian Nasional

Sekolah yang didirikan oleh KH Abdussalam pada tahun 1912 ini tetep keukeuh tidak mau mengikuti Ujian Nasional (UN). Konon, pada masa Orde Baru, Mathole’ diminta pemerintah untuk ikut serta dalam Ebtanas/UN dengan iming-iming Mathole’ akan diberikan bantuan untuk pembangunan gedung. Namun KH Sahal Mahfudh, Direktur Mathali’ul Falah pada waktu itu, menolak dengan tegas tawaran dari pemerintah tersebut dan tetap mempertahankan kurikulum Mathole’ yang tidak ikut Ujian Nasional hingga sekarang.

Meski tidak ada Ujian Nasional, ijazah yang dikeluarkan Mathole’ memiliki status mu’adalah (setara) dengan sekolah-sekolah yang mengikuti UN dan bisa digunakan untuk mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi baik swasta maupun negeri.Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2852 tahun 2015 tentang penetapan status kesetaraan, ada 31 pondok pesantren yang disetarakan dengan Madrasah Aliyah/ sederajat, termasuk diantaranya adalah Mathali’ul Falah Kajen, Pati.   

Namun demikian, jangan dikira murid Mathole’akan lulus dengan mudah meski tidak ada Ujian Nasional.Angkatan saya saja ada sekitar 20 teman saya yang tidak lulus karena beberapa alasan seperti tidak lulus tes baca kitab, tidak lulus tes baca Al-Quran, dan lain sebagainya.  

3. Semua yang mendaftar pasti diterima

Di buku Sekolah Anak-anak Juara, Munif Chatib menyatakan bahwa ada tiga tingkatan (maqam) dalam sebuah institusi pendidikan. Pertama, sekolah yang menetapkan tes standar masuk adalah maqam terendah. Kedua, sekolah yang hanya mau menerima anak-anak pintar dan baik, sebagai maqam kedua. Terakhir, sekolah yang menerima semua kategori alias menerima semua siswa yang mendaftar adalah sekolah denga maqam tertinggi. 

Pada sekolah maqam tertinggi,murid-murid tersebut diklasifikasikan ke dalam kelas sesuai dengan gaya belajarnya masing-masing.Chatib menyakini setiap murid itu cerdas, tinggal bagaimana mereka diperlakukan dengan sesuai dan tepat.

Pun di Mathole’, tidak ada satu pun murid yang mendaftar yang tidak diterima, semuanya diterima. Tes masuk yang dilakukan Mathole’ hanya bersifat untuk mengetahui kompetensi masing-masing murid, sehingga mereka bisa ditempatkan di kelas yang sesuai dengan kemampuan mereka. 

Sesuai dengan informasi yang saya terima, siswi Mathole’ atau biasa disebut Banatbeberapa tahun terakhir ini membludak hingga lokal kelas yang ada di komplek Perguruan Islam Mathali’ul Falah tidak cukup untuk menampungnya, meski demikian Mathole’ tetap menerima murid yang mendaftar tersebut. Hingga akhirnya, gedung TPQ yang berada di sebelah selatan Masjid Kajen dijadikan sebagai tempat belajar mengajar Banat. Karena dalam sejarahnya, Mathole’ tidak pernah menolak murid yang ingin belajar.

4. Hafalan sebagai sebuah kewajiban

Salah satu keunikan dan karakteristik dari Mathali’ul Falah adalah menjadikan hafalan nadzaman atau matan kitab-kitab kuning sebagai syarat kenaikan kelas. Sepintar dan sebagus apapun nilainya, tapi kalau tidak hafal, ya harus tinggal di kelas yang sama. Di Mathole’, hafalan sudah mendarah daging dan itu sudah dimulai sejak tingkat Madrasah Ibtidaiyyah (setingkat Sekolah Dasar).

Hafalan untuk kelas tiga Madrasah Ibtidaiyyah adalah Durusul Fiqhiyyah bagian pertama (Fiqih), kelas empat Ibtidaiyyah juga Durusul Fiqhiyyah, tapi bagian yang terakhir. Untuk kelas lima dan enam Ibtidaiyyah hafalannya adalah Arbain Nawawi (hadis) dan Amtsilati Tasrifiyyah (sorof), berturut-turut bagian pertama dan bagian akhir.

Adapun hafalan kelas satu Tsanawiyyah adalah 500 bait Alfiyah ibnu Malik (nahwu) bagian pertama, untuk 500 bait berikutnya dihafal di kelas dua Tsanawiyah dan ditambah dengan 110-an bait Kifayatut Tullab (ilmu faroid). Kelas tiga Tsanawiyah, murid harus hafal matan Tashilut Turuqot 140-an bait (ushul fikih). Sementara kelas satu Aliyah, hafalannya adalah 280-anbait Jauharul Maknun (balaghoh) dan 140-an bait Sullamul Munauroq (mantiq). 

Satu, dua, atau tiga hari sebelum setoran, biasanya banyak ditemukan murid-murid Mathali’ul Falah yang begadang sampai subuh di makan Mbah Mutamakkin, makam Mbah Syamsuddin, dan Makam Mbah Ronggo Kusumo. Mereka menghafal bagian-bagian yang mereka belum hafal atau sekedar mengulang dan melancarkan bait-bait yang sudah mereka hafal. Di Mathole’ masih menggunakan sistem Cawu (Catur Wulan), yaitu Cawu satu, dua, dan tiga. Untuk setoran hafalan, biasanya diselenggarakan tiga kali: setelah Cawu satu dan dua, serta sebelum Cawu tiga. 

5. Karya Tulis Arab (KTA)

Kalau hafalan menjadi syarat kenaikan kelas, maka Karya Tulis Arab (KTA) adalah syarat untuk mengikuti ujian Catur Wulan dua pada saat kelas tiga Aliyah. Kewajiban menulis karya tulis ini dimulai sejak sejak tahun 1998 dengan tujuan untuk mengembangkan dan melestarikan budaya tulis-menulis di kalangan pesantren yang kian hari kian susut. KTA ini wajib ditulis tangan secara manual, tidak diperkenankan diketik dengan komputer kecuali tulisan sampulnya. 

Para murid Mathole’ dibimbing oleh musyrif (pembimbing) dalam menyusun karya tulis tersebut. Selain menulis, mereka juga harus mampu memahami dan menjelaskan apa yang mereka tulis. Setelah KTA berhasil disusun, maka sesis selanjutnya adalah munaqosah (ujian KTA). Di sinilah mereka diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka tulis di hadapan tim penguji. Jadi kalau lulus Mathole’ kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi, Insya Allah tidak akan kaget lagi denganhal-hal yang berkaitan dengan tulis-menulis karya tulis. Hehe, semoga.

6. Tes Al-Quran dan Kitab sebagai syarat kelulusan

Jika dibandingkan dengan sekolah lain, Mathole’ memang memiliki persyaratan kelulusan yang lebih banyak. Mulai dari menulis KTA, tes Al Quran, tes kitab, dan nilai yang harus melebihi standar adalah rangkaian syarat untuk lulus dari Mathali’ul Falah. 

Tes Al Quran dan tes kitab dilaksanakan sebelum ujian Catur Wulan tiga. Ada empat kitab yang diujikan; Tafsir Jalalain, Bulughul Marom, Tukhfatut Tullab, dan Ghoyatul Wushul. Sekitar satu jam sebelum tes kitab, murid-murid baru dikasih tahu kitab apa yang akan diujikan kepadanya. Maka dari itu, merekaharus mempersiapkan ke-empat-empatnya dengan matang.Dalam tes kitab, mereka diminta untuk memaknai teks dengan utawi iki iku, kemudian mereka menjelaskan maksud dari teks tersebut. Waktu itu saya kebagian kitab Tuhfatut Tullab dan mendapatkan bab-bab awal. Hehe, 

7. Absen yang sangat ketat

Menurut saya, Mathole’ memiliki sistem absensi yang super ketat. Bagaimana tidak, murid yang tidak masuk kelas, lari atau L istilah yang digunakan Mathole’, sebanyak tujuh kali dalam satu tahun pelajaransecara berturut-turut tanpa keterangan maka ia dianggap mengundurkan diri dari Mathole’ atau dikeluarkan.Sedangkan, murid yang lari (L) sebanyak sepuluh kali tanpa alasan, mereka tidak akan naik kelas meski nilainya bagus-bagus dan hafalannya tuntas.  

Pada zaman saya masih sekolah di sana, murid yang datang telat diminta untuk membaca Al Quran beberapa juz tergantung dari tingkat keterlambatannya. Mungkin sistem absesi dan sanksi bagi yang datang telat telah berubah. Terlepas dari itu semua, saya berkeyakinan bahwa hal tersebut diterapkan Mathole’ untuk mendidikdan menerapkan kedisiplinan tingkat tinggi. semoga tidak ada lagi yang tidak naik kelas gara-gara “L”. 

8. Direktur, sebutan untuk Kepala Sekolah 

Di Mathali’ul Falah, Direktur bertanggung jawab atas Madrasah Aliyah, Diniyah Wustho, Madrasah Tsanawaiyyah, Diniyah Ula, dan Madrasah Ibtidaiyyah. Sebagaimana tulisan Musthofa Asrori dalam buku Kekhasan Pendidikan Islam, sampai sekarang Mathali’ul Falah sudah dipimpin oleh empat orang. Mereka adalah KH. Mahfudh Salam (1922-1944), KH. Abdullah Zen Salam dan dibantu KH. Muhammadun Abdul Hadi (1945-1963), KH. Sahal Mahfudh (1967-2014), KH. Nafi’ Abdillah (2014-2017), dan Ustadz H. Muhammad Abbad (2017-sekarang).

Pada zaman KH. Mahfudh Salam, Mathole’ menggunakan kurikulum klasikal dengan pembagian kelas shifir awwal, tsani, dan tsalis. Sedang pada kepemimpinan KH. Abdullah Salam, dikembangkan sistem penjenjangan: kelas 1-6 Ibtidaiyyah dan kelas 1-3 Tsanawiyyah. Selanjutnya KH. Sahal Mahfudh mengembangkan Mathole’ hingga tingkat Aliyah untuk putra-putri, Diniyah Ula, dan Diniyah Wustho. 

Setahu saya hanya Mathali’ul Falah yang menggunakan istilah Direktur untuk menyebut kepala sekolahdi instutusi pendidikan setingkat Madrasah Aliyah atau sederajatnya. 

9. Asatidz adalah Para Alumni PIM

Selama saya sekolah di Mathali’ul Falah, (setahu saya) hanya ada satu guru yang tidak alumni Mathole’. Guru tersebut mengajar pelajaran ilmu eksak. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memberdayakan alumni-alumni Mathole’ yang berilmu mumpuni baik lulusan pondok pesantren ataupun lulusan Perguruan Tinggi dalam maupun luar negeri,terlebih alumni Timur Tengah. Ada program mengabdi untuk Mathole’ selama satu tahun bagi lulusan-lulusan Timur Tengah,terutama bagi yang “diberangkatkan” oleh Mathali’ul Falah.

10. Pakai Jarit

Unik, menarik, dan tidak ada duanya. Murid perempuan Mathali’ul Falah atau biasa disebut banatmemiliki seragam yang khas. Jarit. Kain bawahan yang tidak berjahit. Iya, banat tidak diperkenankan menggunakan bawahan selain jarit. Jarit tersebut dililitkan melingkari perut kemudian diikat dengan korset.

Banat memiliki tiga style seragam; pertama, kerudung hitam, baju putih, dan jarit hitam. Kemudian, kerudung putih, baju dan jarit warna hijau daun. Dan, kerudung putih, baju putih, serta jarit warna krem. Semua bawahannya adalah jarit. 

Kalau sekolah lain menggunakan rok untuk bawahan siswa perempuan, maka Mathole’ tetap mewajibkan siswinya untuk menggunakan jarit. Sebuah keunikan tersendiri bukan?

11. Banin dan Banat Dipisah

Banin (Siswa laki-laki) dan banat (siswi perempuan) Mathali’ul Falah memiliki jadwal pelajaran yang berbeda. Banin dan banat belajar pada gedung yang sama, namun mereka tidak belajar bersama. Banin belajar dari pukul tujuh pagi sampai pukul setengah satu siang, sementara banat belajar dari pukul satu siang sampai pukul lima sore.Dengan demikian, antara murid laki-laki dan murid perempuan tidak bisa bertemu dan berinteraksi satu sama lain karena perbedaan jam pelajaran tersebut dan memang tidak diperkenankan untuk berkomunikasi kecuali urusan organisasi, itu pun terbatas dan tidak di tempat umum.Siapapun yang ketahuan berinteraksi dengan yang bukan mahromnya, maka sanksi akan menantinya.

Terkait perbedaan jam pelajaran tersebut, saya punya cerita yang menggelitik. Saat itu, saya tertidur pada jam pelajaran terakhir. Setelah pelajaran selesai, tidak ada satu temanpun yang membangunkan saya (mereka sudah bersepakat), mereka membiarkan dan malah mengerjai saya dengan menyembunyikan peci, buku, dan sepatu di laci-laci meja secara acak. Saya tertidur hingga anak banat datang. Saya kaget bukan kepalang, terdengar suara cewek membangunkan saya dengan menggebrak-gebrak meja. 

Mbak-mbak yang membangunkan tersebut langsung keluar dan di luar terlihat banyak anakbanat yang sepertinya tidak berani masuk karena ada anak banin yang tertidur tersebut. Saya langsung bangun, mencari peci, buku, dan sepatu yang diumpatkan tersebut. Kemudian lari terbirit-birit menerjang pojok-pojok gedung Mathole’ yang sudah dipenuhi oleh anak-anak banat. Hanya orang yang pernah tertidur (bukan sengaja tidur) di kelas dan dibangunkan mbak-mbak lah yang bisa merasakan bagaimana malunya hal tersebut, apalagi kalau tidurnya ‘membuat pulau’.Karena ada juga anak banin yang sengaja tidur di jam akhir pelajaran agar terlanjur dan dibangunkan oleh mbak-mbak banat. (Ati-ati modus, hehe)

Itulah sebelas keunikan yang dimiliki oleh Mathali’ul Falah dan mungkin tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah lain. Selain itu, mungkin ada keunikan-keunikan lain. Tapi menurut saya, kesebelas itulah yang menjadikan Mathole’ ‘berbeda’ dengan sekolah-sekolah yang lainnya. Wallahu ‘Alamu Bisshowab.

Muchlishon Rochmat, Alumni Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen, Margoyoso, Pati.

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua