Pesantren Pesantren Al-Muayyad (1)

Awal Mula Pesantren Al-Muayyad Solo

Sen, 7 Januari 2013 | 23:10 WIB

Solo, NU Online
Al-Muayyad masyhur sebagai pesantren Al-Qur'an. Ia dilahirkan tiga ulama ikhlas dan bercita-cita mulia. Berdiri pada tahun 1930, Al-Muayyad yang awalnya hanya diikuti belasan santri, sekarang ribuan santri dari penjuru Nusantara ikut mengaji.
<>
Adalah KH Abdul Mannan, KH Ahmad Shofawi dan Prof. KHR Moh Adnan yang membidani kelahiran Al-Muayyad. Nama yang disebut terakhir adalah salah seorang perintis PTAIN Yogyakarta yang kini menjadi UIN Sunan Kalijaga.

Nama Al-Muayyad, yang berarti dikuatkan, diberikan oleh seorang ulama besar, mursyid Thariqah Naqsabandiyyah. KH M. Manshur, namanya. Ia pendiri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan, Tegalganda, Wonosari, Klaten.

Al-Muayyad mula-mula cuma nama masjid di kompleks pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama semua lembaga dan badan di lingkungan pondok pesantren. Harapannya, Al-Muayyad adalah pondok pesantren yang dikuatkan atau didukung oleh kaum muslimin.

Pada tahun 1937, Kiai Umar Abdul Mannan menata dan melengkapi sistem kemadrasahan. Penataan ini mendukung sistem ngaji, pengajian dan pembelajaran Al-Quran. Tahun 1939 Madrasah Diniyyah.

Ketika sistem pendidikan pemerintah didorong ke masyarakat, Al-Muayyad ikut merintis pendidikan dengan sistem MTs dan SMP (1970), MA (1974), dan SMA (1992). Semula merupakan pondok pesantren dengan corak tasawuf; pesantren dengan kegiatan utama latihan pengamalan syari’at Islam. Titik beratnya melatih para santri dengan perilaku keagamaan. Dalam generasi pertama ini ilmu-ilmu agama yang dikaji masih tingkat dasar dan belum teratur, karena para santrinya masih terbatas pada kerabat dekat dan karyawan Perusahaan Batik “Kurma” milik Kiai Ahmad Shofawi. 

Tanah Al-Muayyad seluas 3.500 m2 merupakan jariyah KH Ahmad Shofawi terletak Mangkuyudan, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan, Surakarta.

Pesantren ini tidak hanya memiliki peran strategis dan mendorong dinamisasi di bidang sosial keagamaan dan pendidikan, tapi juga politik, kebudayaan, hingga ekonomi. Peran yang digerakkan para kiai dan santri di sana sangat kita pahami, karena Solo adalah pusat di mana kebudayaan Jawa digerakkan, ekonomi tumbuh sejak pra kolonial, di sana pula lahir aktivis-aktivis dan organisasi pergerakan untuk memerdekaan bumi pertiwi. Secara geografis, kota ini merupakan kawasan perlintasan antarkota penting di Jawa. Sejarah modernnya dimulai sejak perpindahan Keraton Kartasura ke Desa Sala yang kemudian menjadi Surakarta pada tahun 1745.

Al-Muayyad sampai sekarang tak lepas dari salah seorang pendirinya, yakni Kiai Haji Abdul Mannan, yang memiliki nama kecil Tarlim. Tarlim adalah nama pemberian ayahnya Kiai Chasan Hadi, seorang demang di Glesungrejo, Baturetno, Wonogiri. Sebelum nama Abdul Mannan (nama yang disandangnya setelah pergi haji tahun 1926), ia memiliki nama Buchori. Buchori resmi menggantikan Tarlim setelah diterima nyantri di Kadirejo.

Ketika Tarlim berusia delapan tahun berangkat ke pondok berjalan kaki dari kediaman orang tuanya, menempuh jarak tak kurang dari 108 km di Kadirejo, Karanganom, Klaten. Setibanya di pondok, ia dihadang Kiai Ahmad di depan pondok, lalu langsung ditempatkan di bekas kandang ayam.

Setalah tiga hari, ia baru dipanggil Kiai untuk diminta kejelasan maksud kedatangannya. Karena untuk nyantri, sang Kiai memberikan syarat agar Tarlim, yang baru delapan tahun ini, membangun sumur, bak mandi, dan kamar mandi sendirian tanpa bantuan seorangpun. Tugas mulia tetapi sangat berat itu diselesaikannya dalam waktu 18 bulan. Setelah semua selesai, baru diizinkan mengikuti pengajian Kiai Ahmad.

Di pondok itulah persahabatannya terjalin adengan Ahmad Shofawi kecil, santri anak hartawan sholeh. Keduanya dikenal sebagai santri wira’i, cermat dan hati-hati menjalankan syari’at, suka riyadlah (prihatin demi cita-cita luhur) serta taat kepada guru dan kiai. Bersama Prof. KHR Moh Adnan, keduanya kemudian merintis Pondok Pesantren Al-Muayyad pada tahun 1930.

Pada masa-masa itu, para kiai pendukungnya antara lain Kiai Dasuki, Kiai Hanbali, KH Ahmad Asy’ari, dan Damanhuri, kiai pengelana dari Cilacap. Kiai Damanhuri inilah yang memberikan isyarat, saat Kiai Ahmad Umar Abdul Mannan masih nyantri di pondok-pondok pesantren, bahwa kelak Mangkuyudan akan menjadi pesantren besar.


Redaktur     : Hamzah Sahal
Kontributor : Ajie Najmuddin/Al-Muayyad

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua