Merintis dan Berjuang dalam Keterbatasan
NU Online Ā· Selasa, 26 Februari 2013 | 12:31 WIB
Tak ada rotan akar pun jadi. Ungkapan populer ini berlaku untuk Pondok Pesantren Ash-Sholihin al-Abror di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Kendala sarana fisik tak menggoyahkan tekad untuk tetap mendidik masyarakat.
<>
Pesantren yang berdiri tahun 2005 ini setiap hari ramai dikunjungi empat ratusan anak dan remaja yang ingin mengaji. Proses pengajian berlangsung dari siang hingga larut malam. Namun, kegiatan yang padat ternyata belum sejalan dengan fasilitas yang lengkap.
Soal tempat belajar, Pesantren Ash-Sholihin al-Abror tergolong minim. Hanya ada satu ruangan utama ukuran sekitar 6x9 meter. Untuk memenuhi kebutuhan 9 kelas, pengasuh memanfaatkan beberapa emperan rumahnya dan rumah keluarganya.
āTujuan utamanya memang bukan (bangunan) pesantrennya tapi ngajinya. Kalau soal pesantren nanti lama-kelamaan akan terwujud dengan sendirinya,ā kata Kiai Mukhlis Fadhil (38), pendiri sekaligus pengasuh pesantren, di ruang tamu kediamannya yang disulap menjadi kantor dan perpustakaan.
Kiai muda alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kencong, Kediri, Jawa Timur, ini menjelaskan, sebagai rintisan ia sengaja mengawali dengan membangun TPQ dan Madrasah Diniyah. Langkah ini dinilai efektif, selain untuk mendekati masyarakat, juga menjamin eksistensi generasi di pesantren.
āSulitnya bukan main menanamkan ke masyarakat tentang pentingnya ngaji. Kehidupan kota umumnya membuat mereka cenderung materialistik,ā ujar Kiai Mukhlis.
Kiai Mukhlis dibantu oleh 25 tenaga pengajar. Jumlah ini dianggap masih kurang dari kebutuhan idealnya, yakni 30 ustad. Demi keseriusan belajar, pesantren ini menerapkan sistem 8 santri 1 guru. Mayoritas dari mereka adalah alumni pesantren di Jawa.
Supriyadi, bendahara yayasan, mengatakan, pihaknya tak mematok jumlah tertentu untuk biaya bulanan (syahriyah) para santri. Selama ini, wali santri membayar minimal Rp10.000 perbulan. āAda yang 10.000, 15.000, 30.000. Malah banyak juga yang nggak bayar sama sekali,ā tuturnya sembari tertawa.
Untuk menambah pemasukkan, pihak yayasan juga melakukan usaha penjualan barang bekas dari limbah perusahaan yang terletak tak jauh dari lokasi pesantren. Setelah berbagi dengan ongkos operasional dan kebutuhan lainnya, kas yayasan hanya sanggup menggaji dewan guru dengan kisaran antara Rp40.000-Rp100.000 tiap bulan.
āSaat ini yang mendesak untuk kegiatan pedidikan ini di samping bangunan, juga kesejahteraan guru. Insyaallah akan kita atasi secara bertahap. Saya pribadi sangat salut dengan ketulusan para ustad di sini. Mereka banyak berkorban untuk kepentingan para santri,ā kata Kiai Mukhlis.
Penulis: Mahbib Khoiron
Foto: asrama santri Pesantren Ash-Sholihin al-Abror
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua