Pesantren

Pesantren Darut Taqwa Dibangun pada Masa Penjajahan

NU Online  ·  Kamis, 22 Januari 2015 | 02:08 WIB

Probolinggo, NU Online
Masjid di Pesantren Darut Taqwa d Desa Kedungrejoso Kecamatan Kotaanyar Kabupaten Probolinggo dibangun pada tahun 1927 silam. Bangunan masjid ini merupakan saksi sejarah dari cikal bakal berdirinya dan perkembangan pesantren tersebut sejak era penjajahan silam.
<>
Dari Kota Kraksaan untuk menuju pesantren ini harus menempuh jarak sejauh sekitar 10 km. Jarak tersebut bisa ditempuh dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Pesantren Darut Taqwa dibangun secara gotong royong pada masa penjajahan.

Pesantren Darut Taqwa saat ini mempunyai lembaga pendidikan diniyah dan umum. Lembaga pendidikan umum/formal yang berdiri terdiri dari SMP dan SMA Darut Taqwa. Sementara pendidikan diniyah dilangsungkan pada sore dan malam hari.

“Tidak ada yang berbeda dengan kegiatan perkembangan di pesantren ini. Hanya saja pendidikan disini ada tambahannya. Yakni sekolah agama,” ungkap putra ketiga Pengasuh Pesantren Darut Taqwa KH. Wahyu Khoirul Anwar, Rabu (21/1).

Pembelajaran informal yang diberikan kepada santri meliputi nahwu, sharraf, baca kitab kuning, tafsir dan pelajaran agama lainnya. Pendidikan informal ini terdiri dari tiga tingkatan. Yakni tingkat ula (awal), wustho (pertengahan) dan ulya (atas). Selain mendidik santri melalui jalur formal dan informal, pesantren ini juga tetap menjaga silaturahim dengan masyarakat.

“Masjid ini adalah saksi bisu perjalanan panjang pesantren ini. Didirikan oleh embah saya sekitar tahun 1927 atau pada masa penjajahan kolonial Belanda,” jelasnya.

Kiai Wahyu mengisahkan secara resmi pesantren tersebut berdiri pada tahun 1989. Namun jauh sebelumnya sekitar tahun 1800-an sudah berdiri pesantren yang diasuh KH Fathorrosyid. “Waktu itu masih berupa masjid. Insya Allah sejajar dengan Pesantren Zainul Hasan Genggong,” terangnya.

Masjid ini didirikan atas dorongan sejumlah ulama sepuh. Setelah masjid, didirikan pula madrasah diniyah. Masjid yang masih kukuh berdiri hingga sekarang itu menyimpan saksi perjuangan para pahlawan Indonesia dalam merebut kemerdekaan.

Menurut cerita yang dituturkan orang tua Kiai Wahyu, pada saat masih berperang dengan Belanda, masjid itu pernah dipakai sebagai tempat untuk menganiaya para pejuang. “Belanda dengan semena-mena naik dengan sepatunya dan menganiaya pejuang kita,” kisahnya.

Setelah Kiai Fathorrosyid wafat, perjuangan dilanjutkan KH. Anwar Abdu Wahab. Pada masa Kiai Anwar inilah didirikan pesantren. Mereka yang nyantri di pesantren ini kebanyakan warga dari daerah selatan atau pegunungan. Meski sudah berbentuk pesantren, namun belum diberi nama.

Pada tahun 1940, pucuk pimpinan pesantren diserahkan kepada KH Joyo Rois Anwar. Antara tahun 1950 hingga 1988, pesantren ini sempat mengalami kevakuman. Artinya santri yang mondok atau menginap tidak ada. Namun santri yang mengaji di masjid tetap ada.

Kemudian pada tahun 1989, Kiai Wahyu pulang ke desa tersebut, setelah selama 10 tahun berdomisili di Desa Sambirampak Lor Kecamatan Kotaanyar Kabupaten Probolinggo

“Ada pesan dari KH Saifurridzal agar saya membangkitkan lagi pesantren yang dulu pernah ada,” terang kakek 6 cucu yang mondok di Pesantren Zainul Hasan Genggong selama 17 tahun tersebut. Apalagi setelah pulang dari pesantren pada tahun 1976, Kiai Wahyu turut membantu KH Hasan Basri, Pengasuh Pesantren Nurul Hasan (mertuanya), menjadi tenaga pengajar.

Pesan Kiai Saifurridzal, kemudian disampaikan kepada ayahnya. Ternyata Kiai Joyo mendukung penuh upaya Kiai Wahyu untuk membangkitkan pesantren.

Pada sekitar Oktober 1976, secara resmi pesantren didirikan. Pada awal berdiri ada sekitar 8 santri, yakni 7 santri laki-laki dan 1 perempuan. Waktu itu, yang ditempati santri bukanlah asrama dengan bangunan tembok, melainkan asrama kayu atau cangkruk.

“Itu berkat dukungan masyarakat sekitar,” aku pria yang dikaruniai 3 anak dalam pernikahannya dengan Hj. Maimunah tersebut.

Perjuangan Kiai Wahyu untuk mengembangkan pesantren tidaklah sia-sia. Saat ini sudah ada sekitar 80 santri yang bermukim dan menimba ilmu di pesantren yang diasuhnya. Selain itu, ratusan santri non mukim yang turut menimba ilmu disana. (Syamsul Akbar/Mahbib)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua