Pesantren

Pesantren Ihyaussunnah Lahirkan Banyak Ulama

NU Online  ·  Jumat, 9 Mei 2014 | 07:01 WIB

Probolinggo, NU Online
Pesantren Ihyaussunnah terletak di Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Didirikan pada tahun 1927 atau 87 tahun lalu oleh KH. Abdul Karim, kini pesantren tersebut diasuh oleh cicit sang pendiri.
<>
Untuk menuju ke pesantren ini cukuplah mudah dan cepat. Dari batas Kota Kraksaan dibutuhkan waktu sekitar 10 menit saja untuk menuju ke Pesantren Ihyaussunnah. Dari pesantren inilah lahir banyak ulama yang eksistensinya sangat dibutuhkan masyarakat. Bahkan banyak di antaranya yang berjuang bersama-sama membesarkan NU di wilayah Kota Kraksaan.

Pengasuh Pesantren Ihyaussunnah KH. Moh. Nashih (38 tahun) mengisahkan, pesantren ini didirikan oleh Kiai Abdul Karim pada 87 tahun silam. Kiai Karim ini merupakan menantu KH. Rifa’i Tabrani, Pengasuh Pesantren Rofi’atul Islam. “Jadi kami terikat tali persaudaraan dengan KH. Munir Kholili, Pengasuh Pesantren Rofi’atul Islam saat ini,” ungkapnya, Kamis (8/5).

Menurut Gus Nashih, begitu pria ini dipanggil, sebelum berdiri menjadi pesantren, Kiai Karim mengawali dengan memberikan pengajian kitab dan al-Qur’an. Namun lambat laun pengajian kitab ini berubah menjadi Madrasah Diniyah.

Berkat dukungan masyarakat Madin ini berubah menjadi sebuah pesantren yang sederhana. Berbeda dengan pesantren Rofi’atul Islam yang tidak menerima santri putri, pesantren ini sejak awal telah menerima santri putri dan putra. “Semakin lama pesantren ini semakin maju,” jelasnya.

Kiai Karim mengasuh pesantren ini hingga tahun 1947. Ketika diasuh Kiai Karim, santri mukim hampir mencapai 100 orang. Kepengasuhan dilanjutkan menantunya KH. Bahrawi hingga tahun 1950. Pasa masa kepemimpinannya didirikanlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Islamiyah. Madrasah ini selain mengajarkan ilmu agama juga mengajarkan ilmu berhitung dan bahasa Indonesia.

Setelah itu, kepemimpinan pesantren ini bergeser  kepada KH. Ma’sum Abdul Karim, putra tertua dari KH. Bahrawi. Saat Kiai Ma’sum memimpin banyak kemajuan yang dicapai. Siswa kelas VI pada MI pada masa ini mulai diikutkan ujian Negara.

Pada tahun 1963, beliau melakukan perombakan pada sistem manajemen. Jika sebelumnya madrasah yang ada hanya ala kadarnya, maka pada tahun itu manajemen disusun dengan cermat. “Namun keputusan yang dilakukan setelah sebelumnya bermusyawarah dengan seluruh keluarga dan tokoh masyarakat,” terangnya.

Lima tahun kemudian, Kiai Ma’sum mendirikan Madrasah Muallimin yang menggunakan masjid sebagai tempat belajar. Madrasah ini merupakan kelanjutan dari madrasah yang ada. Madrasah ini mengajarkan 70 persen ilmu agama, sedang sisanya untuk ilmu umum. “Pengajarnya sebagian besar dari luar pesantren,” imbuh ayah tiga anak ini.

Berikutnya 2 tahun kemudian Madrasah Muallimin berganti nama menjadi MTs Al Muttahidah. Madrasah ini menampung siswa dari dua pesantren, yakni Pesantren Ihyaussunnah dan Rofi’atul Islam. Tak lama berselang, pada tahun 1971 Kiai Ma’sum  wafat.

“Saat itu Kiai Ma’sum wafat putranya masih kecil. Sehingga lewat musyawarah keluarga kepemimpinan pesantren diamanatkan ke KH. Rofi’i Abdul Karim, abah saya,” tuturnya.

Pada masa Kiai Rofi’i, MI dan MTs Al Muttahidah mulai menerapkan kurikulum Departemen Agama (Depag) pada tahun 1974. Dengan begitu santri yang belajar pada 2 madrasah ini mengikuti ujian Negara.

Kemudian pada tahun 1982, Kiai Rofi’i mendirikan MA Al Muttahidah. Pendirian gedung madrasah ini merupakan bantuan dari Raja Kholid dari Saudi Arabia. “Abah selama 11 tahun belajar dan pernah menjadi wartawan disana. Sehingga mempunyai hubungan baik dengan pemerintah Arab Saudi,” tegasnya.

Pada akhir tahun 1996, Kiai Rofi’i Abdul Karim wafat saat menghadiri undangan pengajian. Kemudian atas musyawarah keluarga yang dipimpin KH. Munir Kholili, pada tahun 1997 diputuskan pimpinan pesantren diserahkan kepada KH. Moh. Nashih.

“Sebenarnya masih ada kakak saya yang lebih pantas. Namun karena beliau bermukim di daerah lain. Hingga akhirnya saya yang diberi amanat oleh keluarga. Saya waktu itu masih mondok di Kencong, Jember,” ungkap alumni STAI Zainul Hasan Genggong ini. (Syamsul Akbar/Mahbib)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua