Pesantren

Pesantren Pering Beri Pelajaran Thariqah, Hakikat dan Ma'rifat

NU Online  ·  Rabu, 6 November 2013 | 04:01 WIB

Probolinggo, NU Online
Pesantren Pering (Persatuan Remaja Infarul Ghowayah) di Jalan HOS Cokroaminoto Gg. 7 Kelurahan/Kecamatan Kanigaran Kota Probolinggo, Jawa Timur, didirikan oleh KH. Abdul Aziz pada tahun 1974 silam. Sejak didirikan hingga sekarang, pesantren ini bertekad memberikan pelajaran syariat, thariqah, hakikat dan ma’rifat kepada para santrinya.
<>
Ketika Kiai Abdul Aziz wafat, pucuk kepemimpinan Pesantren Pering digantikan oleh kakaknya Triadi (57) atau yang biasa dipanggil Pak Bagong. “Pesantren ini didirikan untuk memperbaiki akhlak dan kembali menjadi manusia yang patuh kepada agama sesuai ajaran ulama dan kaidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja, red),” ungkapnya kepada NU Online, Selasa (5/11).

Pak Bagong mengatakan sejak berdirinya pesantren pada tahun 1972 silam, pendiri pesantren ini sudah menitikberatkan antara belajar syariat, thariqah, hakikat dan ma’rifat. Selain itu, pendiri juga dikenal dengan kemampuan khusus untuk menyembuhkan orang yang tidak waras.

Menurut Bagong, kemampuan mengajar dan menyembuhkan orang stres itu didapat saat Almarhum Kiai Abdul Aziz menimba ilmu di Pesantren Lasem Jawa Tengah. Sebab di pesantren tersebut, adiknya belajar selama 17 tahun.

Dalam pembelajaran thariqah, hakikat dan ma’rifat, dimana santri harus bisa mengembangkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya maupun antara sesama manusia atau hablum minallah dan hablum minannas

Di dalam ajaran yang diberikan Kiai Abdul Aziz, untuk belajar thariqah, ada pembacaan dzikir pada Allah SWT pada kelas umum diselenggarakan pada Jumat legi. “Kalau dzikir khusus hanya almarhum yang menjadwalkan,” terangnya.

Sementara itu, jauh dari bantuan pemerintah, pesantren ini juga masih merawat orang stres. Ada sekitar 15 orang yang masih berada di pesantren tersebut. Perawatan ini sudah ada sejak zaman Kiai Abdul Aziz. Dan pengasuh saat ini hanya meneruskan perjuangannya. Kebanyakan orang stres menetap di pesantren tersebut lantaran desakan ekonomi, keadaan yang tidak mendukung bahkan hingga narkoba.

Namun sayang, saat orang stres telah sembuh dari penyakitnya dan dikembalikan pada keluarganya, tidak jarang keluarga pasien tersebut menolak menerima kembali. Sebab rata-rata para keluarga masih mengaku trauma dan malu. “Meskipun keadaannya telah sembuh. Sebagian besar keluarga menolak kehadiran anggota keluarganya,” jelasnya.

Dalam perawatan dan penyembuhan orang stres, Pak Bagong mengandalkan doa-doa khusus yang diajarkan almarhum adiknya. Sebab jika tidak demikian, orang stres tersebut susah untuk sembuh. Terlebih saat ada orang baru yang memasuki pesantren, orang stres yang dirawatnya tersebut pasti akan mengamuk. “Kalau merawat orang stres ini susah-susah gampang. Butuh ketelatenan dan kesabaran,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua