Opini

Komunitas Royatul Islam: Transformasi HTI?

Sen, 11 Maret 2019 | 07:15 WIB

Komunitas Royatul Islam: Transformasi HTI?

Komunitas Royatul Islam (istimewa)

Oleh M. Ishom el-Saha

Baru ketemu, orang berkata ya Karim..!! lalu dibalas beramai-ramai dengan Takbir..!! Mungkin jaman sudah berubah: orang berdoa bukannya dijawab amiin! tapi Takbir. Padahal kebiasaan umumnya, misalnya, kalau ada orang tua sudah melontarkan kata ya Karim! maka anak yang mendengar meresponnya dengan sikap; minimal diam!

Anak itu paham bahwa orang tua yang bertanggung jawab mengurus anak sedang tak tahan menyikapi kemauan buah hatinya. Rasanya semua kemauan sudah dituruti tapi masih juga banyak permintaannya. Sambil mengelus dada, orang tua berkata: Ya Karim...!! Dalam artian semoga Allah melimpahkan banyak anugerah kepadanya agar dapat menyenangkan hati putra-putrinya.

Respon anak yang mendengar keluhan orang tua berbungkus doa itu biasanya diekspresikan dengan sikap diam. Walaupun mungkin hatinya masih berat karena semua permintaannya belum dituruti. Sikap anak itu sudah benar karena anak yang saleh tak akan menyela perkataan orang tua.

Pertanyaannya, apa anak yang mendengar kalimat ya Karim lalu membalas dengan teriakan takbir bukan anak shaleh? Rupanya anak itu sudah terpapar propaganda eks ormas Islam terlarang (Hizbut Tahrir Indonesia, red). Kebetulan sekarang ini namanya sama dengan salah satu Asmaul Husna (nama-nama Allah yang Terpuji), KARIM. Kepanjangan Karim ialah Komunitas Royatul Islam. Propaganda ini dibawa dan didoktrinasikan melalui para pembimbing Rohis.

Tak sedikit sekolah-sekolah yang telah menyelenggarakan program full day school mengangkat pembimbing-pembimbing Rohis yang paham keagamaannya masih dipertanyakan. Pastinya mereka bukan guru agama. Justru dengan alasan kebanyakan guru agama sudah uzur usia: metode mengajarnya kurang menarik, energinya sudah berkurang, maka diangkatlah pembimbing rohis yang bukan berlatar belakang pendidikan agama.

Kebetulan lagi pembina rohis itu sewaktu kuliah di kampus-kampus umum bergabung dengan Ormas Islam terlarang itu. Ekspektasi mereka menjadi seorang ahli saat lulus kuliah sangat tinggi. Tapi dunia kerja sekarang ini nyatanya bukan hanya butuh gelar, tetapi pengalaman dan keterampilan. Akhirnya mereka pun dibayangi kebimbangan-kebimbangan. "Wiiih, kiamat!" 

Kata "kiamat" bersumber dari ajaran teologis: pasti terjadi tapi tak ada yang tahu pasti. Sebagai umat beragama wajib meyakini, tapi bukan ditakut-takuti. Khusus Ormas Islam terlarang itu, kiamat bukan sekedar menjadi keyakinan tetapi dibuat bayang-bayang yang menghantui. "Kiamat sudah dekat, dengan tanda-tandanya yang sudah nyata. Agar selamat harus berbaiat kepada khilafah dan panji-panji nya"; demikian doktrin mereka untuk menakut-nakuti ummat. Doktrin semacam ini sangat mudah bersinggungan dan dianggap menarik bagi mereka yang memiliki ekspektasi kerja tapi tipis harapan.

Dasar pendidikan agama yang lemah tetapi doktrinasi bertubi-tubi diberikan para mentor dan murabbi menyebabkan para saintis ini terpapar paham messianis/kiamat sudah dekat. Beban psikologis --menjadi saintis yang gagal-- bercampur aduk dengan tekanan psikologis --menjadi muslim yang hijrah, menyebabkan kesadaran rasional dan intuitif mereka terhijab. 

Pikir mereka tak ada lagi harapan membangun peradaban dunia karena kiamat sudah dekat. Mereka hanya berpikir  menjadi "golongan yang selamat". Tapi anehnya banyak dari mereka yang melupakan tanggung jawabnya sebagai anak shaleh: semisal orang tua disalah-salahkan karena tak sepaham dengan  mereka. Mereka juga lalai akan tugasnya menjadi muslim yang beramal saleh untuk menanam kebaikan peradaban dunia sebagai lahan ladang akhirat.

Ya Karim....!! Renungkan pesan sahabat Utsman bin Affan: laazra' zar'an wa law al-sa'at kanat qariban (aku masih akan menanam tanaman walau qiamat esok datang). Bukan menanam tiang untuk memasang panji-panji rayan. Semoga generasi muda Islam pada sadar!


Penulis adalah Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten