Nasional BULAN GUS DUR

Ketika Sosok Gus Dur Mampu Damaikan Luapan Emosi Seorang Tokoh Agama

Ahad, 20 Desember 2020 | 09:30 WIB

Ketika Sosok Gus Dur Mampu Damaikan Luapan Emosi Seorang Tokoh Agama

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Jakarta, NU Online

Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia New Zealand KH Nadirsyah Hosen menilai sosok KH Abdurrahman Wahid adalah 'sekrup' umat Islam Indonesia.


"Gus Dur itu bagaikan sekrup dalam sejarah umat Islam di Indonesia," katanya dalam Annual Gus Dur in Memorial Lecture yang digelar PCINU Australia-New Zealand pada Sabtu (19/12).


Pandangan demikian ini ia peroleh dari pengalaman dan pengetahuannya tentang sosok cucu Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari itu. Pada kesempatan tersebut, ia menceritakan ulang beberapa kisah terkait sosok Gus Dur.


Dalam suatu acara, dosen senior di Sekolah Hukum Universitas Monash, Australia itu pernah menerima luapan emosi seorang tokoh agama dari perbatasan Indonesia dan Timor Leste karena tidak puas dengan pembicaraan narasumber. Ia mengaku mendengarkan curhatannya dengan baik.


Namun, tiba-tiba ada seseorang yang menyapanya dengan sebutan 'Gus' dan menawarkan diri untuk mengambilkan segelas kopi untuknya. Ia pun menyampaikan terima kasih dan akan mengambil sendiri.


Mendengar sapaan 'Gus' kepada orang yang menjadi luapan emosinya, seorang tokoh agama di sampingnya langsung meminta maaf. Sebab, ia teringat akan sosok Gus Dur.


"Seorang NU yang disapa dengan Gus buat kami adalah representasi dari Gus Dur masa kini," kata Gus Nadir mengutip pernyataan tokoh agama tersebut.


Dari situ, ia melihat bahwa Gus Dur begitu sakti di kalangan kaum minoritas. Hanya dengan mendengar namanya saja, orang langsung merasa nyaman dan damai. "Yang emosi tinggi menjadi menundukkan kepala," ujarnya. 


Gus Dur dalam suatu kesempatan juga, kata Gus Nadir, pernah menyatakan hanya Soeharto yang layak menjadi musuhnya. Tetapi, ia sendiri masih berkunjung saban idul fitri untuk bermaaf-maafan. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa Gus Dur masih mengayomi musuh-musuhnya juga.


Hal lain yang diceritakan Gus Nadir adalah Rapat Akbar NU di Senayan, Jakarta pada 1 Maret 1992. Saat itu, Gus Dur sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan di media bahwa hal tersebut dilakukan sebagai penegasan komitmen NU berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945.


Pada kesempatan itu, Gus Dur menyampaikan bahwa penegasan itu dilakukan mengingat kekhawatirannya akan dampak kemenangan Partai Islam di Aljazair pada sektarianisme di Indonesia.


Lebih lanjut, gagasan Gus Dur membentuk poros Jakarta - New Delhi - Beijing menunjukkan bahwa peradaban adalah milik bersama, bukan cuma Timur Tengah, Israel, dan Amerika.


Oleh karena itu, Gus Dur sebagai sekrup telah menghubungkan kutub-kutub keislaman dan rangkaian sejarahnya. "Tanpa sekrup, tidak ada lagi penyambung antara modernis dan tradisionalis, Islam global dan Islam lokal, agama dan budaya," katanya.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad