Pustaka

Gerakan Islam dan Jalan Tengah Perdamaian

Kam, 3 Desember 2020 | 02:30 WIB

Gerakan Islam dan Jalan Tengah Perdamaian

Buku Wasathiyah Islam: Anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam karya M. Kholid Syeirazi.

Satu hal penting dalam menjalani hidup adalah kedamaian. Namun, tak sedikit orang yang rela menyampingkan hal tersebut karena beragam faktor, kepentingan sesaat atau karena pemahaman yang sesat. Kepentingan sesaat memaksa sebagian orang untuk melakukan siasat buruk.

 

Apapun caranya, demi keinginannya tercapai, akan dilakukan, sekalipun menghapuskan kedamaian. Pun sama dengan orang yang memiliki pemahaman yang sesat, kedamaian akan dienyahkan karena memaksakan kehendaknya demi kebenaran yang diyakininya.


Hal itulah yang dilakukan kelompok teroris demi melancarkan aksinya dengan mengatasnamakan agama. Baru-baru ini juga Indonesia mengalami lagi aksi biadab tersebut, yakni di Sigi, Sulawesi Tengah pada Jumat (27/11) lalu. Adalah Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Ali Kalora yang melakukan aksi tersebut dengan sangat keji.


Bila kita tarik, akar permasalahannya adalah karena pemahaman keagamaan mereka tidak tepat dalam konteks dunia modern dan Nusantara saat ini. Mereka tidak mengindahkan adanya perbedaan yang sudah menjadi sunnatullah, suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Menyikapinya tentu bukan dengan cara memerangi dan menumpas habis jika tidak sama secara keyakinannya, tetapi dengan bertoleransi saling menghargai satu sama lain.


Cara demikianlah yang dipilih ulama ahlussunnah wal jamaah. Mereka mengambil posisi tengah-tengah, tidak tekstualis yang hanya mengandalkan narasi teks tanpa memperhatikan dua konteks, ketika teks lahir dan penerapannya, juga tidak sepenuhnya mengunggulkan akal sehingga mengecilkan naql. Keduanya disatukan dalam penerapan dan penetapan suatu hukum, termasuk dalam bermuamalah.


M. Kholid Syeirazi menjelaskan secara rinci posisi Ahlussunnah wal Jamaah tersebut dalam bukunya yang berjudul Wasathiyah Islam: Anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam. Tentu saja hal tersebut dilengkapi dengan posisi paham Islam lainnya sehingga terlihat di mana letak wasathiyah yang diambil Ahlussunnah wal Jamaah.


Kholid tidak saja menguraikan perihal paham ekstrem yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan teroris. Lebih dari itu, ia juga menjelaskan berbagai perbedaan pandangan pada hal-hal yang seringkali diributkan perihal kebolehannya oleh sebagian kalangan.

 

Umat seringkali terjebak pada halal haram suatu tindakan. Padahal, hukum tidak selamanya hitam putih, satu benar, sedang yang lain salah. Hukum Islam tidak dikotomis begitu. Jika memang pilihan yang  diyakini memang benar, belum tentu pilihan orang lain yang tidak sama adalah salah.


Hal yang paling maklum dan selalu didengungkan setiap tahun yaitu perihal pengucapan Selamat Natal kepada saudara-saudara Nasrani. Dalam waktu dekat ini, mengingat sudah memasuki bulan Desember, tentu pembicaraan mengenai hal tersebut pasti akan kembali ramai. Sebagian menganggap bahwa menyampaikan tahniah atas perayaan penganut agama lain dihukumi haram, bahkan ada yang sampai menggolongkannya pada murtad, sudah keluar dari Islam. Sebaliknya, ada juga yang membolehkannya.


Tidak itu saja, perdebatan mengenai hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan non-Muslim pun dibahas. Misalnya, soal jabat tangan selepas shalat fardu. Ia menyajikan dua pandangan mengenai hal tersebut, yakni tidak masalah mengutip pendapat Imam Nawawi dan sunnah mengutip Muhib al-Thabari dan Hamzah Nasyiri.


Namun, pernyataan ‘tidak masuk akal orang bersalaman lepas shalat dituduh bid’ah perlu ditinjau kembali. Apalagi ia mendasarinya pada hadits mengenai bersalaman saat bertemu, bukan selepas shalat. Jika kita menilik Fatawa al-Imam al-Nawawi al-Musammat bi al-Masail al-Mantsurah, Imam Nawawi dengan sangat gamblang menyebut bahwa bersalaman selepas shalat (dalam kitab hanya menyoal selepas shalat ‘Ashar dan Subuh) adalah bid’ah yang dibolehkan. Sebagaimana penulis mengutip pengikut Imam Syafi’i pada subbab penjelasan mengenai bid’ah, di antara jenisnya adalah bid’ah mubahah.


Hal lain yang perlu penulis tinjau kembali adalah soal definisi Ahlussunnah wal Jamaah dengan mengutip Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Mustofa, yaitu golongan yang mengikuti Junaid Al-Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang tasawuf. Untuk menyebut ini, ia memberikan catatan kaki berupa kitab Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah yang ditulis Hadratussyekh. Padahal, jika kita tilik langsung dalam kitabnya, Rais Akbar Nahdlatul Ulama tersebut menyampaikan bahwa Muslim ‘Jawa’ dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.


Selain itu, Kholid juga membahas soal politik dalam bukunya tersebut. Ia menjelaskan bahwa hal penting dalam politik adalah isinya, bukan bungkusnya. Perihal bentuk kenegaraan, republik, kerajaan, atau lainnya, bukanlah sebuah persoalan pelik. Lebih penting dari itu adalah soal kehadiran negara untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.


Republik sebagai bentuk negara Indonesia sudah disepakati. Arab dan Maroko dengan bentuk kerajaannya juga disetujui. Selanjutnya, tinggal bagaimana pemerintahan yang tengah menjalankan tanggung jawabnya menjaga rakyat dari ketakutan dan memberikan mereka kesejahteraan. Tindakan ingin mengubah atau menentang negara adalah bentuk bughat yang tentu dilarang agama karena menimbulkan kekacauan.


Dari hal tersebut, kita bisa melihat pandangan pandangan ulama yang diungkapkan Al-Raisuni, sebagaimana dikutip Abdul Moqsith Ghazali dalam Metodologi Islam Nusantara, bahwa “Di mana ada maslahat maka di situ ada syariat, dan di mana ada syariat, di situ ada maslahat.


Oleh karena itu, sikap beragama bukan hanya soal mengikuti pandangan A, memilih argumen B, atau menolak pendapat C, tetapi juga menerapkan pola berpikir dalam pengambilan keputusan tersebut dan pola penerapannya. Lebih jauh lagi, kita juga mesti memperhatikan maqashidus syariah, yakni menjaga agama, jiwa, kehormatan, keturunan, dan harta. Di situlah, jalan perdamaian yang mesti kita tempuh.


Peresensi adalah Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) dan mahasiswa Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia


Identitas Buku

Judul: Wasathiyah Islam: Anatomi, Narasi, dan Kontestasi Gerakan Islam

Penulis: M. Kholid Syeirazi

Tebal: xviii + 572 halaman

Penerbit: Alif

ISBN: 978-23-9491-0-4