Pustaka

Mengenal Metode dan Corak Tafsir 'Hadaiqur Ruh war Rayhan' Karya Muhammad Amin Al-Harari

Kam, 1 Februari 2024 | 18:00 WIB

Mengenal Metode dan Corak Tafsir 'Hadaiqur Ruh war Rayhan' Karya Muhammad Amin Al-Harari

Kitab Tafsir Hadaiqur Ruh war Rayhan. (Foto: Istimewa)

Dinamika penafsiran Al-Qur’an terus-menerus mengalami perkembangan semenjak Al-Qur’an diturunkan hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa kendatipun teks ayat Al-Qur’an terbatas, tetapi maknanya tetap shalil likulli zaman wal makan (relevan sepanjang waktu dan tempat). Karena itulah, muncul metode penafsiran yang bervariasi, baik dari para mufassir klasik, pertengahan, ataupun modern-kontemporer.


Diantara sekian tafsir yang dapat dijumpai, salah satunya adalah tafsir Hadaiqur Ruh war Rayhan yang ditulis oleh Muhammad Amin Al-Harari. Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Amin Ibnu Abdillah al-Uramiy al-‘Alawy al-Harariy As-Syafi’i. Beliau dilahirkan di Ethiopia pada hari Jum’at di akhir bulan Dzulhijjah tahun 1348 H. (Syeikh Muhmmad Amin al-Harari, Hadaiqur Ruh war Rayhan [Beirut: Dar Thuqun Najati, 2001], halaman 6) 


Pada masa kecilnya, Syaikh Muhammad al-Amin gemar mempelajari Al-Qur’an dan menghafalnya pada saat umur enam tahun. Beliau mengenyam pendidikannya di sekolah yang mengajarkan tauhid dan fikih. Saat itu, beliau juga menghafalkan beberapa kitab, diantaranya kitab Aqidatul Awam karangan Syaikh Ahmad Marzuki dan Aqidah Al-Kubra karya Syaikh Muhammad bin Yusuf As-Sabusi yang berakidah Asy’ariyah. Dalam bidang fikih, beliau juga menghafal banyak kitab syafi’iyah seperti Kifayatul Akhyar, Umdatus Salik, Syarah Mughnil Muhtaj serta beberapa kitab fikih lainnya.


Kehausan beliau dalam memperluas wawasannya tidak sampai di situ. Beliau kemudian menekuni ilmu tata Bahasa Arab dengan mempelajari kitab Al-Manhaj, Matan Ajurumiyah, Mulhatul I’rab disertai syarahnya Kasyfun Niqab yang merupakan karangan Abdullah Al-Faqihi serta beberapa kitab tentang ilmu Sharaf, balaghah dan mantiq. 


Selain memiliki wawasan keislaman yang cukup luas, Syaikh Al-Amin juga merupakan ulama kontemporer yang produktif. Gagasan dan pemikirannya banyak dituangkan dalam banyak tulisan. Beberapa karyanya, ada Al-Bukharah Al-Janiyah fi I’rab Matan Al-Jurumiyah (dalam bidang I’rab), Manahilur Rijali ‘ala Lamiyatil Af’al (dalam ilmu Sharaf), Sullamul Mi’raji ‘ala Khutbati Minhaj (dalam ilmu Tauhid) dan Hadaiqur Ruh war Rayhan fi Rawabi ‘Ulumil Qur’an (dalam bidang tafsir) serta karya-karya lainnya.


Seputar Tafsir Hadaiqur Ruh war Rayhan 

Pada tanggal 2 Muharram tahun 1406 H, Syeikh Amin Al-Harari menulis karya tafsirnya dan merampungkan karya tafsir tersebut disertai dengan muqaddimah-nya pada tahun 1417 H tanggal 1 Dzulqa’dah dan beliau memberi judul karyanya dengan:


نزل كرام الضيفان في ساحة مدائق الروح والريحان


Dalam segi rujukannya, kitab tafsir Hadaiqur Ruh war Rayhan ini merujuk pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabarah baik dari mufassir klasik maupun kontemporer. Dalam tafsir klasik beliau merujuk pada Ibnu Katsir, al-Qurthubi, Ruhul Bayan serta tafsir al-Maraghi, al-Baidhawi dan As-Syaukani sebagai rujukan dari tafsir kontemporer. Salah satu contohnya ialah ketika menjelaskan tafsir ta’awwudz, Syeikh Amin menyatakan:


قَالَ بْنُ كَثِيرِ : وَمَعْنَى : ( أَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) أَيْ : أَسْتَجِيْرُ بِجَنَابِ اللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ اَنْ يَضُرَّنِي فِى دِيْنِيْ أَوْ دُنْيَايْ


Artinya: “Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksud dari a’udzubillahi minas syaithanir rajim adalah ‘Aku meminta pertolongan kepada Allah agar dijauhkan dari setan yang dilaknat agar tidak membahayakan agama dan duniaku…’” (Syeikh Muhmmad Amin al-Harari, Hadaiqur Ruh war Rayhan [Beirut: Dar Thuqun Najati, 2001], halaman 14)


Jika dilihat dari segi sumbernya, tafsir ini menggabungkan dua metode yakni bil riwayah atau bil ma’tsur dan bil dirayah atau bil ra’yi. Sederhananya, tafsir bil riwayah merupakan tafsir yang sumbernya dari Al-Qur’an, Hadits, dan riwayat sahabat untuk menafsiri Al-Qur’an. Sementara bil ra’yi adalah tafsir yang sumbernya berdasarkan pendapat dan ijtihad mufassir berdasarkan kaidah-kaidah yang sahih. (Syeikh Ali Al-Sabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an [Tehran: Dar Ihsan, 2003], halaman 67)


Sedangkan metode yang digunakan dalam menafsiri ayat Al-Qur’an, dilihat dari cara menjelaskannya, Syeikh al-Amin al-Harari menggunakan metode tahlili, sebuah metode yang memberikan perhatian penuh terhadap semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan. 


Jika kita lihat cara menafsiri Al-Qur’an, Syeikh Muhammad Amin terlebih dulu menjelaskan hal-hal yang bersangkutan dengan surat, seperti munasabah, asbab nuzul, nama surat, nama lain surat serta aspek-aspek lainnya. Kemudian, beliau memaparkan perbedaan qira’at jika terdapat pada ayat yang ditafsirkan, disertai keterangan dalam aspek linguistik baik dari segi Nahwu, Sharaf ataupun Balaghah-nya. Setelah itu, beliau menganalisis satu persatu dari sebuah ayat yang ditafsirkan.


Salah satu contoh konkret penafsiran beliau dengan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan suratnya terlebih dahulu ialah sebagai berikut:


سُوْرَةُ اْلفَاتِحَةِ مَكِيَّةٌ ، نُزِلَتْ بَعْدَ الْمُدَثِّرِ ، وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ ، :وَقِيْلَ نُزِلَتْ بِالْمَدِيْنَةِ ، وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِد وَقِيْلَ: نُزِلَتْ مَرَّتَيْنِ: مَرَّةً بِمَكَّةَ وَمَرَّةً بِالْمَدِيْنَةِ وَسَبَبُ تِكْرَارِنُزُوْلِهَا الدَّلَالَةُ عَلَى شَرَفِهَا وَفَضْلِهَا


Artinya: “Surat al-Fatihah merupakan surah Makiyyah yang turun setelah surat al-Mudattsir. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama’. Pendapat lain mengatakan, surah al-Fatihah diturunkan di kota Madinah, ini adalah pendapat Imam Mujahid. Sedangkan ulama’lain berpendapat, Al-Fatihah turun dua kali yakni di Makkah dan Madinah. Pengulangan dalam penurunannya menunjukkan kemuliaan dan keutamaan surah tersebut.” (Syeikh Muhmmad Amin al-Harari, Hadaiqur Ruh war Rayhan [Beirut: Dar Thuqun Najati, 2001], halaman 34)


Dalam mengidentifikasi corak penafsirannya, syeikh Muhammad Amin sebenarnya tidak secara mutlak menggunakan satu corak yang spesifik. Jika dianalisa, penafsirannya justru memuat berbagai corak, namun yang lebih menonjol adalah sastra Bahasa dan fikih, sebagaimana penjelasan beliau ketika menafsirkan surat al-Fatihah ayat pertama berikut:


الْحَمْدُ) مُبْتَدَأٌ مَرْفُوْعٌ بِالْاِبْتِدَإِ (لِلَّهِ) جَارٌ وَمَجْرُوْرٌ مُتَعَلِّقٌ بِمَحْذُوْفِ خَبَرِ الْمُبْتَدَأِ تَقْدِيْرُهُ: مُسْتَحَقُّ للهِ)


Artinya: “Lafal ‘alhamdu’ menjadi mubtada’ dibaca rofa’ karena amil maknawi ibtida’. Sedangkan lafal ‘lillah’ adalah susunan jar majrur yang memiliki korelasi dengan khabar yang dibuang, gambarannya ialah: mustahaaqun lillah (berhak bagi Allah)”


Dikatakan bercorak fikih karena hampir di setiap ayat yang memiliki kaitan dengan syari’at, Syeikh Muhammad Amin al-Harari menjelaskan hukumnya pada satu pembahasan khusus, sebagaimana ketika beliau menafsirkan basmalah, terdapat pembahasan khusus tentang ‘Hukum Membaca Basmalah secara Jahr (Keras) dan Israr (Pelan)’. Bahwa Basmalah dibaca jahr (keras) bersamaan dengan Al-Fatihah dalam shalat yang bacaannya wajib dikeraskan dan dibaca sirri (pelan) pada shalat yang Basmalah dan Al-Fatihahnya dibaca pelan, sebagaimana pernyataan beliau :


فَيُجْهَرُ بِهَا مَعَ الْفَاتِحَةِ فِى الصَّلاَةِ الْجَهَرِيَّةِ ، وَيَسِرُّ بِهَا مَعَ الفَاتِحَةِ فِى الصَّلَاةِ السَّرِيَّةِ ومِمَّنْ قَالَ بِالجَهْرِ مِنَ الصَّحَابَةِ : أبو هريرة ، وابن عباس وابن عمر وابن الزبير.


Walhasil, kitab Hadaiqur Ruh war Rayhan karangan Syeikh Muhammad Amin al-Harari ini dapat dikatakan sebagai salah satu kitab tafsir kontemporer yang pembahasannya cukup komprehensif, hal ini karena menggabungkan dua metode yakni bil matsur dan bil ra’yi dalam pengambilan sumbernya serta diperkuat dengan metode tahlili dalam penafsirannya. Lebih dari itu, selain penjelasan aspek linguistiknya yang cukup panjang, beliau juga memaparkan aspek syari’at dan hikmah dari suatu ayat yang ditafsirkan disertai pemaparan dari para mufassir klasik dan kontemporer, menjadikan tafsir ini menarik untuk dikaji dalam konteks kekinian.


Lukman Hakim, Pengajar di Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya