Pustaka Anmarre Schimmer

Menyingkap Yang-Tersembunyi

Sab, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

MENEMUKAN TUHAN DALAM PUISI SUFISTIK ISLAM

Cetakan  : 1, Mei 2005
Tebal  : 321 halaman
Peresensi : Muhammadun AS*

Dalam khazanah ilmu pengetahuan<>, pemahaman tentang Tuhan mempunyai perspektif yang berbeda-beda. Setiap cabang ilmu mempunyai premis dan cara pandang berbeda, sehingga gambaran tentang Tuhan juga ditampilkan berbeda-beda. Misalnya saja, dalam tradisi ilmu kalam [teologi Islam], Tuhan lebih diposisikan sebagai sang pencipta [al-Khaliq] sementara realitas yang lain disebut ciptaaannya [makhluq].

Dalam tradisi ilmu fiqh, Tuhan lebih dihayati sebagai Sang Hakim, sehingga relasi terhadap manusia adalah relasi perintah, larangan, dan hukuman. dalam kajian filsafat, gambaran tentang Tuhan lain dengan konsep kalam, fiqh, maupun tasawuf. Dalam filsafat Tuhan digambarkan sebagai being qua being, the absolut being, supreme intelect, kebenaran tertinggi [truth], zat yang wajib wujudnya, sumber segala wujud dan lain sebagainya sesuai dengan pengamalan masing-masing. Lain lagi tasawuf yang menggambarkan Tuhan sebagai Sang Kekasih, yang kepadanya puncak rindu dan cinta manusia diarahkan.

Buku yang ditulis pakar sejarah agama dari Jerman ini mengupas salah satu cara ahli tasawuf dalam menghampiri Tuhan, yakni puisi. Anmarre Schimmer yang telah menghabiskan waktu lima tahun mengajar di Universitas Angkara Turki banyak melakukan penelitian terhadap kajian sufistik didunia Islam, khususnya terhadap seorang sufi masyhur asal Konya, Rumi, yang terhimpun dalam bukunya "Akulah Angin, Engkaulah Api" [Mizan, 2005 / edisi baru]. Dalam pengamatannya yang ditorehkan dalam buku ini, Anmarre Schimmer menarik benang merah bangsa puisi merupakan peninggalan paling istimewa dari perjalanan sufistik para mistikus Islam. Puisilah yang telah membluncahkan segenap perasaan cinta dan rindu para mistikus. Sehingga puisi sufi tertentu merupakan gambaran perjalanan yang dialaminya selama ini.

Puisi memang kebanggaan bangsa Timur Tengah waktu itu. Hampir semua masyarakat memberikan tempat istimewa bagi puisi [sastra]. Al-Quran sendiri di wahyukan juga untuk menggugat kesombongan penyair yang banyak mengolok-olok penyebaran Islam yang dilakukan Rasulullah. Anmarre Schimmer dalam buku ini mengajak kita menelusuri puisi sufistik Islam agar tidak hanya kita kaji, namun juga kita resapi sebagaimana yang dilakukan para penyair. Puisi mistik mulai masyhur ketika Rabiah al-Adawiyah, sufi perempuan yang menggagas mazhab mahabbah, melantunkan syair yang luar biasa, "Wahai kecintaan semua hati. Aku tak punya perasaan selain kepada-Mu. Sebab itu, kasihanilah hari ini seorng pendosa yang datang pada-Mu. Wahai harapan, istirahat, dan kebahagiaanku. Hati tak dapat mencintai yang lain kecuali kau". Walaupun bait-bait itu tidak dapat dikatakan sebagai puisi besar, namun perasaan sang penyair lebih kuat dari pada nilai seninya [hal. 45-46]. Terbukti, karena begitu cintanya Sang Kekasih, Rabiah menolak lamaran dari orang-orang besar, termasuk tokoh sufi terkemuka, Hasan al-Bashri.

Rabiah merupakan pelopor sajak mistik cinta. Selama berabad-abad, sajak mistik cinta begitu populer di bangsa-bangsa berbahasa Arab. Bahkan, karena mahabbah yang terlalu tinggi, puisi mistik cinta al-Hallaj sampai menusuk ruang yang takterjangkau. Karena begitu cintanya, Hallaj dan Tuhan seolah menjadi tak terpisahkan sebagaimana dalam sajaknya, "Ruhmu bercampur dengan ruhku seakan-akan. Anggur dicampur dengan air yang jernih. Dan jikalau sesuatu menyentuh-Mu. Ia menyentuhku juga. Karena aku adalah kau dalam keadaan apapun". Dalam bait lain, al-Hallaj juga mencengangkan kita semua, "Aku memanggil-Mu. Tidak. Sesungguhnya kaulah yang memanggilku kepada-Mu".[hal. 60-61]

Senada dengan Hallaj, sufi revolusioner yang terkenal dengan syaikhul akbar [Magister Magnus], Muhyiddin Ibn 'Arabi, juga melantunkan puisi-puisi sufistik yang revolusioner pula. Seolah antara dia dan Tuhan  sudah tidak ada lagi sekat-sekat yang mengahalangi [wahdatul wujud, kesatuan ada], sehingga apa yang dilakukan itu adalah manifestasi dari Tuhan. Sebagaimana dalam sajaknya, "Ketika Kekasihku muncul. Dengan mata apa kulihat Dia? Dengan mata-Nya,