Rekonstruksi Perjalanan Haji Rasulullah SAW
NU Online · Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB
Rekonstruksi Sejarah Haji
Sebagai sesuatu yang histories, haji merupakan tradisi Ibrahimi kemudian dijalankan oleh para penganut agama itu, maupun kepercayaan sempalannya, sebagaimana yang berkembang di Jazirah arab dab sekitarnnya, semuanya menjalankan ibadah haji di ka’bah di Masjidil Haram Mekah itu. Termasuk Islam sebagai agama yang datang belakangan juga melaksanakan ritus haji, pertama-belum merupakan syariat, melainkan hanya semata menjalankan tradisi napak tilas. Tentu saja pelaksanaan haji waktu itu masih secara bersamaan dengan penganut kepercayaan lain. Bahkan berbagai patung dan alat peraga peribadatan berbagai kepercayaan masih bertebaran di situ, ibarat sebuah kuil. Tidak ketinggalan tempat suci itu juga menjadi tempat ziarah bagi musyafir yang kebetulan melakukan misi perdagangan ke Jazirah itu. Tetapi anehnya semua pengalaman sejarah itu didiskriminasi dan dikategorikan sebagai zaman jahiliyah.
Kehadiran Islam dengan menggunakan standarnya sendiri berusaha merombak praktek perhajian yang ada menjadi haji Islam, tidak lagi mengacu pada pengalaman histories, tetapi lebih dihayati sebagai kewajiban samawi. Karena itu haji secara bertahab diislamisasi, orang non muslim tidak diperkenankan datang, demikian pula patung dan berbagai symbol keagamaan mereka dimusnahkan.
Tiga Langkah penting yang ditempuh Nabi Muhammad dalam mengukuhkan Haji sebagai peribadatan khusus umat Islam, sebagaimana disebutkan dalam buku ini, pertama, menyingkirkan segala bentuk yang menyimpang dari doktrin tauhid, seperti pembentukan patung, alat ramal dan sebagainya, kedua memberlakukan perubahan niat haji menjadi umrah, dan mengharuskan umrah bersamaan dalam musim haji, sebuah praktek yang dilarang pada tradisi sebelumnya. Ketiga, melakukan wukuf di Arafah sebagaimana dilakukan oleh seluruh suku arab kecuali Quraisy. Tatacara baru itu kemudian dirumuskan menjadi fikih manasik yang dipegang secara ketat hingga sekarang untuk meraih kemabruran ibadah haji. Peralihan dari haji tradisi menuju haji syar’i (Islami) itu memerlukan waktu lama dan negosiasi yang panjang. Karena ini merupakan proses negosiasi maka penataan haji kedepan perlu ada pemikiran baru bahkan negosiasi baru, sebagaimana haji dirumuskan dan ditransformasikan pada awalnya.
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
4
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
5
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua