Pustaka Ahmad Zahro

Tradisi Intelektual NU

Sab, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Melacak Tradisi Intelektual NU

Tradisi, merupakan kata kunci dalam memahami NU, tetapi sayangnya orang termasuk para peneliti tidak mengerti arti tradisi itu, terlebih lagi ketika pikiran modernitas yang sesat itu menyebar, lantas dijadikan sebagai cara pandang, maka tradisi dianggap suatu ananomali bahkan sebuah patologi kebudayaan yang harus disingkirkan atau ditinggalkan agar memperoleh kemajuan. Kalau orang menyebut NU sebagai organisasi Islam tradisional maka yang dipersepsikan adalah NU sebagai organisasi orang desa yang terbelakang. Pandangan itu yang mendominasi literature ilmu-ilmu social dan sejarah saat ini.

Hadirnya buku dari Ahmad Zahro yang berusaha m<>elacak sejarah dan tradisi pemikiran NU melalui kajian terhadap Bahsul Masail, ini ternyata berhasil menjelaskan banyak hal yang selama ini masih gelap dalam NU, terutama bagi pandangan para peneliti NU. Buku ini punya arti penting pertama, dia berhasil melacak referensi pemikiran NU secara detil dan sistematis, kedua dia berusaha menjelaskan asal-usul perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para ulama NU, ketiga dia membongkar asumsi selama ini bahwa pemikiran NU itu hanya bersifat keagamaan yang normative. Padahal dalam kenyataannya dari sekian ratus persoalan yang dibahas dalam bahsul masail NU itu 70 persen membahas persoalan non ritual, tetapi membahas persoalan social, politik dan kebudayaan.

Temuan terakhir ini tentu saja membongkar pandangan stereotype terhadap NU yang dianggap konservatif, asosial, tidak empiric, tetapi normatif. Pandangan itu tentu saja akan mengubah asusmsi akademik yang berkembang saat ini. Dalam poin itulah sebenarnya tradisi itu perlu dipahami ulang secara tidak pejorative. Tradisi berkaitan dengan NU pertama-tama adalah sebuah cara berpikir yang berlandaskan pada khazanah klasik dan peduli pada otentisitas sumber.  Karena di sanaalah pemikiran Islam dan NU khususnya berakar. NU dalam berpikir selalu memperhatikan sejarah, tradisi dan otoritas ilmiah yang lain.

Tradisi semacam itu memang seolah terlihat konservatif, sebab dalam tradisi NU, penguasaan terhadap masalah perlu dikuasai dan didalami, sebelum dipresentasikan. Tetapi hasil dari keseluruhan proses pendalaman itu adalah produk yang sangat radikal dan maju, baik dalam keputusan politik dan social. Semua ini harus dilihat sebagai  proses pemikiran yang berkembang di NU baik yang secara formasl di godok dalam forum bahsul masail maupun di forum yang lain.

Kalau belakangan terjadi gelombang perkembangan pemikiran NU terutama semasa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, sebenarnya bukan sesuatu yang muncul begitu saja secara mendadak. Tetapi merupakan resultan dari sebuah proses dan pergumulan yang panjang. Karena itu persebarannya sangat luas dan pengaruhnya juga sangat mendalam, demikian juga tema-tema yang dimunculkan juga lebih substansial, karena itu implikasi dan kontribusinya bagi masyarakat NU.

Tetapi celakanaya bagi para peneliti yang hadire belakang, seolah perkembangan pemikiran NU yang dinamis terjadi hanya semasa Gus Dur padahal sebelumnya telah berkembang pesat, karena itu Nu sangat berperan dalam bidang social politik selama tahun 1960-an. Maka disertaasi Ahmad Zahro ini memberikan jalan untuk menelusuri tradisi pemikiran NU dengan sangat jelas dan sistematis, dengan bahan-bahan yang sangat kaya, sehingga layak menjadi rujukan bagi peneliti yang lain ketika hendak meneliti lebih jauh tentang tadisi intelektual NU.

Sementara kelemahan buku ini adalah ketiga bahan yang melimpoah itu hanya disusun secara sistematis, tetapi tidak berusaha dipetakan secara kategoris, baik yang bersifat kronik maupun tematis. Kelemahan selanjutnya adalah data yang kaya itu dikaji secara histories-empiris, bahkan cenderung teknis,  tetapi tidak menyentuh wilayah makna, sehingga tidak lahir teori baru tentang tema ayang diangkatnya. Disitulah letak arti penting buku ini tentang banyak masalah yang sudah digarap, tetapi juga membuka peluang terhadap bidang yang belum digarap, yaitu wilayah makna. (munim dz)