Syariah

Investasi Emas dengan Pembayaran Tidak Tunai

Kam, 22 Februari 2018 | 08:00 WIB

Dasar hukum praktik investasi emas di perbankan syariah adalah Fatwa DSN MUI No. 77/DSN-MUI/VI/2010 tentang jual beli murabahah emas. Jika melihat judul fatwa, sebenarnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menekankan fatwa ini pada wilayah jual beli murabahah. Seolah fatwa tersebut menyatakan bahwa praktik jual beli murabahah adalah yang diperkenankan dalam syariat berdasarkan ‘dalil asal’ bolehnya praktik jual beli dan diharamkannya riba. 

(Baca juga: Memahami Makna Investasi dan Praktiknya)
Karena jual beli adakalanya dilaksanakan dengan jalan kontan, dan adakalanya juga dilaksanakan dengan jalan taqsith (kredit) atau ta’jil (tempo), maka aspek jual beli murabahah dengan pembelian kontan tidak dijadikan objek sasaran fatwa karena faktor kejelasan hukum kebolehannya. Yang jadi masalah kemudian adalah, bilamana jual beli itu dilaksanakan secara kredit atau tempo, kemudian emas yang dibeli oleh nasabah dijadikan bahan investasi oleh pemiliknya. 

Terkait dengan praktik jual beli taqsith (kredit), sebagaimana telah disepakati oleh kalangan ulama’ akan kebolehannya, adalah harga harus ditentukan di awal terlebih dahulu. Demikian pula harga barang yang dibayar dengan jual beli bertempo. Misalnya ditentukan bahwa harga 10 gram emas adalah 5 juta rupiah, dengan angsuran pembayaran sebanyak 2 kali, dalam jangka waktu 2 tahun.  Angsuran pertama sebesar 2,5 juta rupiah. Selang jangka waktu satu tahun ternyata harga emas naik dua kali lipat. Apakah pembeli tetap melakukan angsuran sebesar 2,5 juta rupiah tiap angsurannya sehingga total akhir harga adalah 5 juta? Atau apakah Si Pembeli harus mengangsur dengan harga standart terbaru emas? Sehingga apabila nilai emas naik dua kali lipat, maka ia dianggap masih mengangsur seperempat harganya. 

Masalah yang lain adalah, bolehkah Si Pembeli menjual emasnya di kala angsurannya belum penuh semua? Jika hal ini diperbolehkan, maka ada kemungkinan nantinya seorang pembeli melakukan akad jual beli emas, dengan meraup keuntungan, sementara ia tanpa modal. Misalnya, hari ini seorang pembeli melakukan akad jual beli emas seberat 10 gram dengan jalan kredit. Ia hanya membayar sebesar 100 ribu rupiah sebagai cicilan pertama. Ternyata 1 bulan kemudian, emas naik menjadi 2 kali lipat. Bolehkah Si Pembeli tadi menjualnya? Jika diperbolehkan, maka alangkah beruntungnya seorang pembeli. Dengan modal 100 ribu, ia dapat meraup keuntungan sebesar 5 juta dalam jangka waktu yang singkat. Apakah akad seperti ini sah? Kontroversi akad bai’ taqsith inilah yang selanjutnya dijadikan sasaran Fatwa DSN No.77 di atas. 

Jika permasalahan di atas diputusi hukumnya dengan menggunakan Fiqih Madzhab Syafi’i, maka berlaku hukum sebagai berikut:

1. Dalam fiqih madzhab Syafi’iy dinyatakan bahwa barang yang sudah dibeli baik secara taqsith maupun muajjalan, baik sudah lunas atau belum, pada dasarnya adalah sudah menjadi milkun tammun (sempurna) bagi pembelinya. Dengan demikian, karena sudah menjadi milik sempurna, maka pembeli boleh untuk menjual barang hasil kreditan tersebut kepada pihak lain. 

2. Harga saat pelunasan barang yang dihutang, adalah harga saat hutang. Suatu contoh: Tahun 2000 ada orang berhutang 400 ribu rupiah untuk membeli beras. Tahun 2018, harga beras sudah mencapai 12 ribu rupiah, sehingga total harga 1 kuintal beras saat ini adalah 1,2 juta rupiah. Mengingat yang dihutang adalah uang, maka dalam fiqih madzhab syafi’i berlaku bahwa uang yang harus dibayarkan adalah sebesar 400 ribu rupiah. Mengapa? Karena ia sedang berhutang uang. Berbeda jika orang tersebut berhutang beras 1 kuintal, maka pengembaliannya harus dengan beras pula seberat 1 kuintal, meskipun dengan harga yang jauh berbeda. 

ويجب على المقترض رد المثل

Artinya: “Wajib bagi orang yang berhutang mengembalikan barang yang serupa” [Abu Bakar bin Muhammad Syatha’ al Dimyathy, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin, Mathba’ah Daru Ihyai al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3/64]

Kedua hukum di atas, memiiki sisi resiko yang besar bila diterapkan pada lembaga perbankan atau lembaga pembiayaan berbasis syariah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Untuk itu diperlukan upaya menjaga kemaslahatan perbankan dan sekaligus nasabah dari melakukan transaksi fiktif. Upaya ini disebut saddu al-dzari’ah

Mengingat sisi maslahah bagi perbankan, dan demi menghindari terjadinya gharar, maka dalam hal jual beli emas secara kredit diperlukan hilah hukum. Agar pembeli secara kredit tidak menjual kembali emasnya sementara ia belum lunas dari masa angsuran, maka diberlakukan syarat, yaitu pembeli harus bersedia menggadaikan emas (rahn) yang sudah dibelinya tersebut ke pegadaian. Keberadaan syarat ini tidak menghilangkan status kepemilikan dari nasabah. Nasabah bisa tetap mendapatkan haknya dari barang yang sudah dibeli dengan jalan dicicil, dan boleh menjualnya bilamana cicilannya telah lunas. 

Apakah akad sebagaimana berlangsun di atas bisa diskemakan ke dalam akad investasi?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita perlu kembali kepada ta’rif investasi (istitsmar). Di dalam investasi wajib ada pihak ‘amil dan mudlarib serta bidang usaha. Karena hal ini tidak terdapat di dalam rangkaian akad di atas, maka pada dasarnya akad investasi emas dengan membeli secara cicilan, adalah bukan termasuk akad investasi. Ia hanya bisa masuk ke dalam akad bai’ taqshith, bai’ muajjal dan rahnun. Wallahu a’lam.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim