الحمد لله رب العالمين اللهم صل وسلم على سيدنا
ومولانا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين
Di tengah revolusi gelombang keempat (4.0), santri harus kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap nilai-nilai baru yang baik sekaligus teguh menjaga tradisi dan nilai-nilai lama yang baik. Santri tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai Muslim yang berakhlakul karimah, yang hormat kepada kiai dan menjanjung tinggi ajaran para leluhur, terutama metode dakwah dan pemberdayaan Wali Songo. Santri disatukan dalam asâsiyât (dasar dan prinsip perjuangan), khalfiyat (background sejarah), dan ghâyat (tujuan).
Dasar perjuangan santri adalah memperjuangkan tegak lestarinya ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu Islam bermazhab. Di tengah kampanye Islam anti-mazhab yang menggemakan jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, santri dituntut untuk cerdas mengembangkan argumen Islam moderat yang relevan, kontekstual, membumi, dan kompatibel dengan semangat membangun simbiosis Islam dan kebangsaan. Demikian inilah yang dicontohkan Walisongo. Islam tidak diajarkan dalam bungkusnya, tetapi isinya. Bungkusnya dipertahankan dalam wadah budaya Nusantara, tetapi isinya diganti dengan ajaran Islam. Budaya dijadikan sebagai infrastruktur agama, sejauh tidak bertentangan dengan syariat. Termasuk dalam hal ini adalah bentuk negara. Bentuk negara apa pun, asal syari’at Islam dapat dijalankan masyarakat, sah dan mengikat, baik berbentuk republik, mamlakah, maupun emirat. Karena NKRI berdasarkan Pancasila telah disepakati oleh para pendiri bangsa, seluruh warga negara, termasuk santri, wajib patuh menjaga dan mempertahankan konsensus kebangsaan.
Jati diri santri adalah moralitas dan akhlak pesantren dengan kiai sebagai simbol kepemimpinan spiritual (qiyâdah rūhâniyah). Karena itu, meskipun santri telah melanglang buana, menempuh pendidikan hingga ke mancanegara, dia tidak boleh melupakan jati dirinya sebagai santri yang hormat dan patuh pada kiai. Tidak ada kosakata bekas kiai atau bekas santri dalam khazanah pesantren. Santri melekat sebagai stempel seumur hidup, membingkai moral dan akhlak pesantren. Di hadapan kiai, santri harus menanggalkan gelar dan titelnya, pangkat dan jabatannya, siap berbaris di belakang kepemimpinan kiai.
Beberapa figur tokoh nasional yang santri diantaranya adalah Pangeran Diponegoro, tidak hanya dikenal sebagai panglima perang melawan Belanda, Pangeran Diponegoro yang mempunyai nama aseli Abdul Hamid adalah santri tulen yang mondok pertama kali kepada KH. Hasan Besari Tegalsari, Jetis, Ponorogo yakni belajar ngaji kitab Fathul Qorib sampai khatam, selain itu beliau juga ngaji kitab kuning pada KH. Taftazani Kertosono, ngaji Tafsir Jalalain kepada KH. Baidlowi Bantul-Jogjakarta, dan terahir ngaji hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang. Tidak hanya Pangeran Diponegoro, ada juga figur tokoh nasional yang santri yakni Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara alias Suwardi Suryaningrat, beliau belajar ngaji Al- Qur’an kepada Romo K. Sulaiman Zainuddin Kalasan-Prambanan sampai khatam. Dan juga satu lagi figur penting penggubah lagu “Syukur”, yakni Habib Husein Muthahar, Semarang. Jadi, yang mencipta lagu “Syukur” yang kita semua hafal dan nyanyikan adalah seorang Sayyid, cucu bagina Nabi Muhammad SAW.
Tujuan pengabdian santri adalah meninggikan kalimat Allah yang paling luhur (li i’lâi kalimâtillâh allatî hiya al-ulyâ) yaitu tegaknya agama Islam rahmatan lil alamin. Islam yang harus diperjuangkan bukan sekadar akidah dan syariah, tetapi ilmu dan peradaban (tsaqâfah wal-hadlârah), budaya dan kemajuan (tamaddun) dan juga kemanusiaan (wal insaniyah). Islam dalam ethos santri adalah keterbukaan, kecendekiaan, toleransi, kejujuran, dan kesederhanaan. Semangat inilah yang diwariskan oleh salafus shâlih, yang telah mencontohkan cara bela agama yang benar. Islam pernah mencapai zaman keemasan pada abad ke-7 sampai 13 M dengan ilmu dan peradaban. Para filsuf dan ulama seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M), Al-Fazari (w. 796/806 M), Al-Farghani (w. 870 M), Al-Kindi (801-873 M), Al-Khawarizmi (780-850 M), Al-Farabi (874-950 M), Al-Mas’udi (896-956 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Razi (1149-1209 M), Al-Haitsami (w. 1039 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), dan Ibn Rushd (1126-1198 M) telah berjasa kepada dunia dengan sumbangan mereka yang tiada tara bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Manfaatnya lintas zaman, melampaui sekat agama dan bangsa. Dunia berterima kasih kepada Islam karena ilmu pengetahuan. Itulah cara bela Islam yang benar.
Islam tidak boleh dibela dengan pekik takbir di jalan-jalan, dengan kerumunan massa yang mengibar-ngibarkan bendera, dengan caci maki dan sumpah serapah. Islam harus dibela dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Itulah cara bela Islam yang benar. Benarlah peringatan Imam Ghazali dalam kitab Tahâfutul Falâsifah:
شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح
والله الموفق إلى أقوم الطريق
Jakarta, 22 Oktober 2019
Ketua Umum
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Amalan Sederhana, Namun Bermanfaat Bagi Sesama
2
Khutbah Jumat: Perhatikan 4 Hal Ini Agar Amal Ibadah Diterima Allah
3
Khutbah Jumat: 3 Penyakit Hati yang Harus Dijauhi
4
Khutbah Jumat: Pendidikan sebagai Kunci dalam Menggapai Impian
5
Khutbah Jumat: Bersemangatlah, Mencari Nafkah adalah Ibadah
6
Khutbah Jumat: Bersabar dan Memetik Hikmah di Balik Musibah
Terkini
Lihat Semua