Tokoh

Abu Tsana’ al-Alusi, Mufassir Kondang yang Lahir di Bulan Sya’ban

Sen, 14 Maret 2022 | 14:00 WIB

Abu Tsana’ al-Alusi, Mufassir Kondang yang Lahir di Bulan Sya’ban

Ilustrasi ulama tafsir. (Foto: NU Online)

Salah satu cendekiawan Muslim ternama yang lahir di bulan Sya’ban adalah Abu Tsana’ al-Alusi. Ulama kelahiran Baghdad ini dikenal sebagai mufassir kondang dengan karya masterpiece-nya Rûḫul Ma’ânî fî Tafsîril Qur’ânil ‘Adzîmi was Sab’il Matsânî yang menjadi salah satu rujukan penting dalam kajian tafsir Al-Qur’an.


Ia memiliki nama lengkap Abu Tsanâ’ Syihâbuddîn Sayyid Mahmûd Afandî al-Alûsî al-Baghdâdî (selanjutnya dipanggil al-Alusi). Al-Alusi lahir pada 15 Sya’ban 1217 H/ 11 Desember 1802 M di Baghdad, Irak. Alusi sendiri merupakan nama salah satu desa yang terletak di sebuah pulau yang berada di tengah-tengah sungai Efrat. 


Kecerdasan dan produktivitas Al-Alusi sudah terlihat sejak kecil. Saat baru berusia 13 tahun ia sudah mampu mengajar juga menulis. Ia memiliki daya tangkap sangat bagus dalam memahami dan menghafal pelajaran, juga mampu menjaga hafalannya begitu lama. Keuletannya berhasil ia pertahankan sehingga di sela-sela kesibukannya berhasil menulis sejumlah kitab. 


Al-Alusi menimba ilmu ke sejumlah ulama seperti Syekh Husein al-Jaburi, Sayyid Abdullah Afandi (belajar fiqih madzhab Syafi’i dan Hanafi), Syekh ‘Alauddin Afandi al-Mushili (belajar hadits dan mantiq atau logika) , Syekh Abdullah Afandi al-Umari (belajar ilmu qirâ’at), Mursyid Thariqhah Naqsyabandiyyah Syekh Dhiya’uddin Khalid an-Naqsyabandi. Untuk yang terakhir ini, Al-Alusi pernah berkata, “Dia adalah guruku, mursyidku, dan seorang wali quthub.”


Salah satu dedikasi Al-Alusi untuk ilmu agama adalah mengajar sejumlah santri yang semuanya ia beri beasiswa, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal (asrama atau pemondokan), dan kebutuhan lainnya. Bahkan tempat tinggal santri-santrinya lebih mewah dibanding rumah Al-Alusi sendiri. Berkat kegigihan dan keikhlasannya dalam mendidik, ia berhasil mencetak kader-kader cendekiawan Muslim unggul.


Al-Alusi memiliki pengetahuan yang mendalam soal perbedaan lintas mazhab dan aliran-aliran teologi. Ia sendiri bermazhab Syafi’i, meski dalam banyak persoalan ia mengikuti mazhab Hanafi. Di tahun 1248 H ia diberi amanah untuk menjadi mufti dalam mazhab Hanafi hingga tahun 1263 H dan memilih untuk fokus menyelesaikan penulisan tafsirnya. Memasuki usia akhir ia mulai berijtihad.


Selesai tafsirnya ditulis pada tahun 1267 H, ia berangkat ke Konstantinopel untuk memperlihatkan karyanya tersebut kepada Sultan Abdul Majid Khan dan mendapat restu darinya. Pada tahun 1269 H ia kembali ke tanah kelahirannya di Baghdad. Al-Alusi wafat pada tanggal 25 Dzul Qa’dah tahun 1270 H/ 1854 M dan dikebumikan di pemakaman Syekh Ma’ruf al-Kurkhi di daerah Kurkh, Baghdad, Irak. 


Sebagai seorang ‘alim yang menaruh perhatian besar kepada ilmu agama, ia juga memiliki sejumlah karya, di antaranya adalah Syarh Muslim fil Manthiqi, Al-Ajwibah al-‘Iraqiyah ‘anil As’ilatil Lahuriyyah, Hasyiyah ‘alal Qatris Salim, Durratul Ghawas fi Awhamil Khawas, An-Nafahatul Qudsiyyah fi Adabil Bahts, Rûḫul Ma’ânî fî Tafsîril Qur’ânil ‘Adzîmi was Sab’il Matsânî, Asy-Syaratul Fathimiyyah.


Kemudian, Safratuz Zad fi Safratil Jihad, Zajrul Maghrur ‘an Zajril Ghurur, Nahjus Salamah ‘ala Mabahitsil Imamah, At-Tibyan Syarhul Burhan fi Tha’atis Sultan, Al-Khariidatul Ghaibiyyah fi Syarhil Qashidah al-‘Ainiyyah, dan lain-lain.


Tafsir Rûḫul Ma’ânî

Agar kita lebih mengenal Abu Tsana’ al-Alusi, penulis akan mencoba mengulas sedikit tentang karya besar ulama kelahiran Baghdad tersebut, yaitu Rûḫul Ma’ânî fî Tafsîril Qur’ânil ‘Adzîmi was Sab’il Matsânî.


Ditulis selama kurang lebih 15 tahun, awal mula penulisan kitab ini terbilang unik. Hal ini dikisahkan oleh Syekh Muhammad Husein adz-Dzahabi dalam At-Tafsîr wal Mufassirûn dan dan Syekh Mani’ Abdul Halim Mahmud dalam Manâhijul Mufassirîn.


Dikisahkan, saat al-Alusi masih berusia 34 tahun, ia berkeinginan untuk menulis tafsir, namun tak kunjung memulainya karena masih bimbang. Sekali waktu pada malam Jumat bulan Rajab tahun 1252 H, ia bermimpi mendapat perintah dari Allah swt untuk menyatukan bumi dan langit. Lalu ia pun mengangkat tangan kanannya ke langit sementara tangan kirinya dibenamkan ke dasar laut. Begitu terbangun, ia merasa heran dengan mimpi yang baru saja dialaminya. 


Ia mencari tahu tafsir dari mimpi yang baru saja ia alami itu. Hingga akhirnya ia menemukan maksud mimpinya di salah satu kitab yang menjelaskan bahwa mimpi tersebut adalah sebuah isyarat dari Allah swt kepada dirinya untuk menulis tafsir. Sejak saat itu ia memantapkan diri untuk memulai menulis tafsir yang kelak menjadi salah satu rujukan penting.


Lebih tepatnya ia mulai menulis tafsir ini pada malam 16 Sya’ban tahun 1252 H bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sultan Abdul Hamid Khan atau dikenal dengan Sultan Mahmud Tsani (sultan ke-30 dari Daulah Utsmaniyyah). Penulisan tafsir rampung pada malam Selasa, 4 Rabi’ul Awwal tahun 1267 H. 


Tafsir selesai ditulis, tetapi Al-Alusi belum memilih nama untuk karyanya itu. Akhirnya ia meminta saran kepada Ali Ridha Pasya, seorang wazir agung di Kesultanan Utsmaniyah. Ali mengusulkan agar kitab itu diberi nama Rûḫul Ma’ânî fî Tafsîril Qur’ânil ‘Adzîmi was Sab’il Matsânî.


Para ulama mengakui bahwa tafsir ini merupakan pencapaian hebat karena proses menulisnya di sela-sela kesibukan Al-Alusi yang padat. Siang hari Al-Alusi gunakan untuk berfatwa dan mengajar, malamnya ia gunakan untuk belajar, pada akhir malam baru ia gunakan untuk menulis di lembaran kertas, sementara paginya ia serahkan lembaran tersebut kepada penulis yang dipekerjakannya untuk menyalin.


Tafsir yang terdiri dari 30 juz ini dinilai sebagai karya yang gemilang karena menghimpun pendapat sejumlah ulama generasi salaf baik secara riwayah maupun dirayah, juga mencakup argumen-argumen generasi khalaf. Tafsir ini bagaikan ‘ringkasan’ dari tafsir-tafsir besar karya ulama sebelumnya seperti Tafsir Ibnu ‘Athiyyah, Tafsir Abu Hayyan, Tafsir Al-Kasysyaf, Tafsir Abu Su’ud, Tafsir Al-Baidhawi, Tafsir Ar-Razi, dan sejumlah tafsir representatif lainnya.


Referensi:

Syekh Muhammad Husein adz-Dzahabi, At-Tafsîr wal Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, tanpa tahun), Juz I, halaman 210-253.


Syekh Mani’ Abdul Halim Mahmud, Manâhijul Mufassirîn, (Kairo: Darul Kutub al-Mishri, 2000), halaman 281-282.


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad