Tokoh

Biografi Hasan al-Bashri: Ulama Besar Murid para Sahabat Nabi

Jum, 5 November 2021 | 14:30 WIB

Biografi Hasan al-Bashri: Ulama Besar Murid para Sahabat Nabi

Biografi Hasan al-Bashri: Ulama Besar Murid para Sahabat Nabi

Salah satu tokoh penting dalam dunia Islam adalah Imam Hasan al-Bashri. Ia adalah seorang ulama sufi yang banyak dinukil petuah-petuah bijaksananya. Bila dirunut dari latar belakang keluarganya, Hasan al-Bashri bukanlah anak seorang raja ataupun kalangan tokoh terpandang melainkan hanya seorang anak dari hamba sahaya milik Zaid bin Tsabit. Ayah Hasan al-Bashri bernama Yasar berasal dari daerah Maisan, pinggiran kota Bashrah di negara Irak. Dahulu daerah Maisan ditaklukkan umat islam pada tahun 12 Hijriah di bawah kepemimpinan panglima Khalid bin Walid. Sedangkan, ibunya adalah hamba sahaya milik Ummu Salamah, istri Rasulullah saw.

 

Sejak kecil, Hasan al-Bashri telah mendapatkan berkah doa dan kasih sayang dari para kekasih Allah. Pernah suatu ketika di masa balita, ia ditinggal bekerja oleh ibunya. Iba melihat Hasan al-Bashri kecil menangis maka Ummu Salamah, istri Rasulullah saw pun menimangnya serta menyusuinya. Begitu juga, ketika ia masih kecil Umar bin Khattab mendoakannya, “Ya Allah, ajarkanlah ilmu agama kepada anak kecil ini dan buatlah umat mencintainya” (Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], 2007, vol. IV: 565).

 

Bila dirunut dari sejarah, Hasan al-Bashri lahir di daerah Rabadzah, sebuah dataran berjarak 170 km dari kota Madinah pada tahun 21 Hijriah. Kemudian, ia dibawa keluarganya ke kota Madinah dan menetap di rumah Ummu Salamah, istri Rasulullah.

 

Secara fisik, Hasan al-Bashri memiliki wajah yang sangat tampan. Diceritakan suatu ketika asy-Sya’bi berpesan kepada ‘Ashim al-Ahwal, “Sampaikan salamku kepada Hasan al-Bashri di kota Bashrah.” ‘Ashim al-Ahwal kebingungan dan menjawab, “Aku tidak pernah mengenalnya”. Maka, asy-Sya’bi menjawab, “Nanti ketika engkau masuk kota Bashrah masuklah ke dalam masjid kota Bashrah, kemudian carilah orang yang paling tampan yang belum pernah engkau temui disana.”

 

“Sungguh aku telah melakukan perintah asy-Sya’bi maka aku melihat Hasan al-Bashri adalah seorang yang sangat tampan yang dikelilingi oleh murid-muridnya di masjid kota Bashrah.” komentar ‘Ashim al-Ahwal.

  

Ulama Multidisiplin

Hasan al-Bashri memiliki kecerdasan dan daya ingat yang sangat kuat serta nalar yang sangat tajam. Abu Qatadah al-Adawi mengatakan, “Wajib bagi kalian belajar kepada syekh ini (Hasan al-Bashri). Demi Allah, aku melihat Hasan al-Bashri sangat mirip pendapatnya dengan Sayyidina Umar bin Khattab”.

 

Sahabat Anas bin Malik berwasiat, “Wajib bagi kalian belajar kepada Maulana Hasan al-Bashri, maka bertanyalah kepadanya.” Kemudian, ada yang bertanya, “Wahai Abu Hamzah (julukan Sahabat Anas bin Malik), mengapa engkau menganjurkan kami bertanya kepada Hasan al-Bashri?” Anas bin Malik menjawab, “Dia menimba ilmu kepada kami, akan tetapi sekarang kami telah banyak lupa sedangkan ia masih mengingat ilmu yang kami ajarkan” (Ibnu Abi Hatim, al-Jarh wa Ta’dil, [Beirut: Dar Fikr], 1999, vol. III: 41).

 

Selain itu, Hasan al-Bashri juga seorang ahli fiqih yang sangat hebat. Syekh Yunus bin Ubaid al-‘Abidi mengatakan, “Kami telah bertemu dengan banyak ulama, dan tak ada yang lebih unggul dan sempurna ilmunya melebihi Hasan al-Bashri”. Pernah suatu ketika Imran al-Qashir menanyakan suatu permasalahan dalam ilmu fiqih kepada Hasan al-Bashri. Maka, Hasan al-Bashri menjawab “Sebagian ulama fiqih menjawab seperti ini dan sebagian yang lain berpendapat seperti ini. Ketahuilah bahwa seorang ahli fiqih sejati adalah seorang yang zuhud di dunia, yang waspada dalam menjaga agamanya, dan senantiasa beribadah kepada Allah”. Lihat kitab Hilyatul Auliya’ karya syekh Abu Nu’aim al-Ashbihani hal.137 vol.2 cetakan Maktabah at-Taufiqiyyah Kairo 2007)

 

Dalam ilmu Hadits, Hasan al-Bashri dinilai perawi yang tsiqqah (terpercaya) khususnya dalam hadits yang ia riwayatkan dari Samurah bin Jundub. Akan tetapi, ada banyak hadits yang ia riwayatkan lemah karena cacat berupa tadlis (tidak menyebutkan beberapa perawi di atasnya) ataupun mursal (tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat) khususnya yang ia riwayatkan dari Abu Hurairah. (Syekh Syamsuddin adz-Dzahabi, Mizal al-’Itidal fi Naqd ar-Rijal, [Kairo: Muassasah ar-Risalah], 2017: 383).

 

Berguru pada para Sahabat Nabi

Di antara guru-gurunya dari golongan sahabat nabi adalah Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, ‘Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan masih banyak lagi. Menurut Ibnu Hibban, Syekh Hasan al-Bashri telah menimba ilmu kepada 120 tokoh dari golongan sahabat. (Ibnu Hibban, ats-Tsiqqat [Beirut: Dar Fikr], 1996, vol. IV: 123).

 

Di antara petuahnya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah

 

“Ingatlah! bahwa berpikir sebelum mengambil keputusan akan mendatangkan kebaikan dan menyesali perbuatan dosa akan menjauhkan dari keburukan. Waspadalah dengan kenikmatan dunia karena ketenteraman di dalamnya hanyalah semu, angan-angan meraihnya adalah racun, puncaknya adalah keburukan. Adakalanya nikmat dunia menggelincirkan dari ketaatan kepada Allah. Adakalanya nikmat dunia adalah musibah yang merusak agamamu. Waspadalah, sungguh Allah akan membalas hambanya yang taat dan menyiksa hambanya yang durhaka.”

 

“Ingatlah! Allah telah menjadikan kenikmatan dunia sebagai ujian bagi para nabi dan rasul serta pelajaran bagi umatnya. Sungguh orang yang lalai lagi durhaka kepada Allah menyangka bahwa mereka sedang dimuliakan Allah dengan kenikmatan dunia padahal ketika itu mereka sedang dijauhkan dari mengingat Allah. Ingatlah! Waktu adalah seorang tamu yang datang kepadamu dan ia akan berlalu meninggalkanmu. Seandainya engkau memuliakan waktu dengan beribadah dan berbuat baik niscaya waktu akan menjadi saksi kebaikanmu di hari kiamat. Dan seandainya engkau menghinakan waktu dengan bermaksiat dan berbuat buruk niscaya ia akan menjadi saksi keburukanmu di hari kiamat.”

 

“Ingatlah! Sisa umur yang tersisa bagimu di dunia tak ternilai harganya dan tak dapat tergantikan dengan yang lain. Dunia dan seisinya tak akan mampu menyamai nilai satu hari yang tersisa dari usiamu. Maka, jangan engkau tukar sisa usiamu yang sangat bernilai dengan kenikmatan dunia yang hina. Koreksilah dirimu setiap harinya, waspadalah atas kenikmatan dunia, jangan sampai engkau menyesal ketika telah datang ajal kematianmu. Semoga nasehat ini bermanfaat bagi kita dan Allah berikan kita akhir hidup yang baik” (Syekh Abu Nu’aim al-Ashbihani, Hilyatul Auliya’ [Kairo: Maktabah at-Taufiqiyyah], 2007, vol. II: 128).

 

Hasan al-Bashri mewasiatkan, “Seandainya engkau tak mampu berpuasa di siang hari dan engkau tak mampu menjalankan shalat malam. Ingatlah! Engkau sedang terbelenggu oleh dosa dan maksiat.”

 

Tokoh kita satu ini wafat pada tahun 110 Hijriah di kota Basrah. Diceritakan, suatu ketika Malik bin Dinar pernah bercerita tentang mimpinya bertemu Hasan al-Bashri. Dalam mimpi itu Hasan al-Bashri memakai pakaian yang sangat indah dan bersinar wajahnya. “Bukankah engkau telah wafat? Lantas apakah yang membuatmu diberikan Allah derajat yang tinggi ini?” tanya Malik bin Dinar.

 

Hasan al-Bashri menjawab, “Aku diberikan Allah derajat orang-orang yang bertakwa karena rasa sedihku atas dosa-dosa yang aku lakukan. Katahuilah bahwa orang yang banyak bersedih atas dosa-dosa yang dia perbuat akan mendapatkan banyak kebahagiaan di akhirat” (Syekh Jamaluddin Ibnu Jauzi, Hasan al-Bashri, Zuhduhu wa Mawa’idzuhu [Beirut: Dar an-Nawadir], 2007: 32).

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo