Tokoh

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani: Ulama Besar yang Berangkat Yatim Piatu

Sab, 26 Februari 2022 | 08:30 WIB

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani: Ulama Besar yang Berangkat Yatim Piatu

Di balik kemasyhuran Imam Ibnu Hajar, ada hal yang sangat menyedihkan dan harus menimpanya sejak kecil, yaitu pertumbuhannya sebagai anak yatim piatu. (Ilustrasi: ilmfeed.com)

Namanya sangat masyhur, keilmuannya tidak diragukan lagi, khususnya dalam ilmu hadits dan fiqih. Ia seorang anak yatim piatu namun semangatnya tak punah bahkan mengalahkan mereka yang masih memiliki orang tua lengkap.


Ia adalah seorang faqih (ahli fiqih) yang kredibel dan pernah menjabat sebagai Qadhi al-Qudhat (hakim agung) mazhab Syafi’i. Ia juga seorang muhaddits (ahli hadits), bahkan ia memiliki gelar amirul mukminin dalam ilmu hadits.


Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, begitulah namanya dikenal banyak orang. Nama lengkapnya adalah Imam Syihabuddin Abul Fadl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad al-Asqalani Al-Mishri asy-Syafi’i.


Ia dilahirkan pada bulan Sya’ban tahun 773 H/1372 M di desa Asqalan (Ashkelon), Palestina, dan wafat pada tahun 852 H/1449 M.


Para ulama masih berbeda pendapat perihal tempat kelahiran Imam Ibnu Hajar. Ada yang mengatakan bahwa kelahirannya di desa Asqalan, Palestina, sebagaimana yang sudah tersemat pada namanya, yaitu al-Asqalani. 


Ada juga yang mengatakan bahwa kelahirannya di Mesir, tepatnya di dekat sungai Nil. Namun, pada intinya ulama sepakat bahwa ia tumbuh dan wafat di Kairo, Mesir. (Ibnu Hajar, Muqaddimah Tadzibut Tahdzib, [Darul Ma’arif an-Nidhamiah: 1326], juz I, halaman 2).


Tumbuh Sebagai Anak Yatim yang Cerdas

Di balik kemasyhuran Imam Ibnu Hajar, ada hal yang sangat menyedihkan dan harus menimpanya sejak kecil, yaitu tidak adanya semangat dari kedua orang tua. Dalam catatan sejarah, ia tumbuh sebagai anak yatim piatu. Ayahnya wafat sejak usianya masih empat tahun, sementara ibunya wafat sejak ia masih bayi.


Untungnya, Ibnu Hajar berasal dari keluarga kaya. Kedua orang tuanya tidak hanya dikenal sebagai ahli ibadah dan taat namun mereka juga pengusaha yang sukses, sehingga harta peninggalannya sangat banyak dan bisa mencukupi semua kebutuhan putranya untuk menjalani kehidupan dan mencari ilmu.


Saat itu, Ibnu Hajar kecil berada di bawah asuhan Zakiuddin Abu Bakar al-Kharubi. Ia juga pengusaha kaya yang juga dermawan sebagaimana ayah Ibnu Hajar.


Setelah Ibnu Hajar ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya, semua kebutuhannya berada di bawah tanggungan Abu Bakar al-Kharubi. Sebagai pengusaha yang dermawan, ia penuhi semua kebutuhannya, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu.


Ia tidak ingin pertumbuhannya hanya soal materi namun lupa akan ilmu dan pengetahuan. Ia juga tidak ingin kedua orang tua Ibnu Hajar yang dikenal sebagai orang baik dan taat merasakan kekecewaan setelah mereka tinggal wafat.


Tak lama hidup bersama dengan Abu Bakar al-Kharubi, ia menitipkan Ibnu Hajar pada sebuah lembaga pendidikan, tepatnya ketika umurnya masih lima tahun (satu tahun setelah kematian ayahnya).


Di tempat itu ia belajar ilmu pengetahuan, dan pelajaran pertama yang ia pelajari adalah Al-Qur’an. Semua ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an ia pelajari, mulai dari makharijul huruf (tempat keluarnya huruf), cara baca Al-Qur’an, hingga pada akhirnya ia mencoba untuk menghafalnya.


Dalam rihlah perjalanan belajarnya, Ibnu Hajar tumbuh menjadi remaja yang rajin dan cerdas, bahkan ia mampu mengalahkan teman-temannya yang lain sekalipun lebih tua darinya. Semua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an mampu ia paham dengan mudah, mampu ia ingat dengan cepat dan tepat.


Pada usianya yang masih Sembilan tahun, ia sudah mampu menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dengan sempurna di bawah bimbingan Imam Muhammad bin Abdurrazaq as-Sifthi. (as-Sakhawi, ad-Dhaw’ul Lami’ li Ahlil Qurunit Tasi’, [Beirut, Darul Hayah: tanpa tahun], juz I, halaman 268).


Haji ke Makkah dan Awal Mula Keilmuannya

Dalam muqaddimah kitab Tahdzibut Tahdzib disebutkan, bahwa setelah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an hingga bisa menghafalnya telah selesai ditempuh oleh Ibnu Hajar, Abu Bakar al-Kharubi membawanya ke Makkah untuk melakukan ibadah Haji, tepatnya pada tahun 784 ketika usianya sudah genap sebelas tahun.


Di Makkah, Ibnu Hajar tidak hanya melaksanakan kewajiban Islam terakhir berupa haji, ia juga selalu sibuk untuk mengulang hafalan Al-Qur’annya. Selain itu, ia juga tidak henti-hentinya belajar kepada para ulama di sana. Semua majelis-majelis ilmu ia datangi, sekalipun harus dengan jalan kaki. Siang dan malam menjadi waktu mengembara baginya untuk semakin memperdalam ilmu agama.


Saat itu, semangat dan kecerdasannya yang tinggi semakin terlihat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang ada. Semuanya ia gunakan untuk belajar. Benar saja, dengan kegigihan dan semangatnya yang tinggi itu, semua pelajaran yang diajarkan oleh para ulama di Makkah ia terima dengan mudah, bahkan semuanya berhasil ia hafal dengan gampang.


Bagi Ibnu Hajar, lahir dan tumbuh sebagai anak yatim piatu tidak lantas menghilangkan semangat dan keinginannya yang tinggi untuk bisa menjadi ahli ilmu. Tidak adanya semangat dari kedua orang tua tidak menjadi alasan untuk mengeluh, apalagi larut dalam kesedihan hingga lupa akan ilmu pengetahuan, justru semangatnya mampu mengalahkan temannya yang masih berstatus memiliki orang tua lengkap.


Pulang ke Mesir dan Prestasi Keilmuannya

Setelah dua tahun berada di Makkah dan telah selesai melaksanakan ibadah haji, Abu Bakar al-Kharubi mengajak Ibnu Hajar untuk pulang ke Mesir. Namun siapa sangka dengan tempo waktu yang sangat singkat itu ia telah berhasil menghafal banyak kitab, sebagaimana disebutkan dalam muqaddimah tahdzibut tahdzib,


وَحَفِظَ بَعْدَ رُجُوْعِهِ مَعَ الْخَرُوْبِي إِلَى مَصِر سَنَةَ 786 عُمْدَةَ الْاَحْكَامِ لِلْمُقْدِسِي، وَمُخْتَصَرَ اِبْنِ الْحَاجِبْ فِي الْاُصُوْلِ، وَمِلْحَةَ الْاَعْرَابِ لِلْهَرَوِي، وَأَلْفِيَةَ الْعِرَاقِي، وَأَلْفِيَةَ اِبْنِ مَالِكْ وِالتَّنْبِيْهَ فِي فُرُوْعِ الشَّافِعِيَّةِ لِلشَّيْرَازِي


Artinya, “(Ibnu Hajar) telah menghafal (kitab) setelah kembali bersama al-Kharubi (dari Makkah) ke Mesir pada tahun 786, yaitu: kitab Umdatul Ahkam karangan Imam al-Muqdisi, Mukhtashar karangan Imam Ibnul Hajib tentang ushul fiqih, kitab Milhatul A’rab karangan Imam al-Harawi, Alfiyah karangan Imam al-Iraqi, Alfiyah Imam Ibnu Malik, dan kitab at-Tanbih yang menjelaskan cabang-cabang ilmu mazhab Syafi’iyah karangan Imam asy-Syirazi.” (Ibnu Hajar, Tadzibut Tahdzib, 1/3).


Setelah ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan banyak kitab lainnya, berhentikah Imam Ibnu Hajar dari belajar? Ternyata tidak. Meski di usia tiga belas tahun sudah menguasai banyak cabang-cabang ilmu syariat, tidak lantas membuatnya berhenti untuk mencari ilmu. Ia terus mengembara sebagai seorang pelajar yang haus akan ilmu. Tidak hanya di Makkah dan Mesir, ia juga sering keluar kota hanya untuk mencari ilmu.


Guru-guru Imam Ibnu Hajar

Di balik terciptanya sosok yang hebat, terdapat guru yang juga hebat. Demikian juga dengan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Di balik namanya yang sangat mentereng dan begitu harum sebagai ulama yang keilmuannya sangat kredibel, terdapat banyak sosok guru yang pernah ia jumpai untuk bisa mendapatkan ilmu dari mereka.


Selain berguru kepada Imam Muhammad bin Abdurrazaq as-Sifthi sebagaimana tulisan di atas, ia juga belajar hadits dan dimulai dengan kitab Sahih Bukhari kepada Imam Abul Faraj Abdurrahman bin al-Mubarak al-Ghazi dan beberapa ulama hadits lainnya, ia juga berguru kepada Syekh Zainuddin al-Iraqi Imam Syihab al-Khayuthi dalam ilmu fiqih, kepada al-Izz bin Jama’ah dalam ilmu etika (adab), Afifuddin an-Naisaburi, Abdurrahman ar-Razin, Burhan at-Tanuki, Syamsu al-Barmawi, Ibnu al-Mulaqqin dan masih banyak guru lainnya.


Di bawah bimbingan para ulama hebat di masa itu, keilmuan Ibnu Hajar semakin matang dan semakin luas bahkan mampu memberikan pengaruh besar dalam perkembangan Islam. Ia mulai diperhatikan dan sangat disegani oleh para ulama, dan saat itu pula semua pendapatnya menjadi rujukan dalam mazhab Syafi’iyah khususnya.


Setelah Ibnu Hajar mengembara sebagai seorang pelajar untuk mendapatkan ilmu, tiba saatnya ia menjadi seorang pengajar yang dicari oleh banyak orang untuk mengambil ilmu dan manfaat darinya. Saat itu ia menjadi salah satu ulama yang keilmuannya sangat luas, gelarnya dalam studi keilmuan sangat banyak, di antaranya: al-muhaddits (ahli hadits) al-faqih (ahli fiqih) al-mufassir (ahli tafsir) amirul mu’minin (pemimpin orang beriman).


Ulama Produktif

Imam Ibnu Hajar selain dikenal sebagai ulama yang sangat luas ilmunya, ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat produktif. Tepat pada tahun 796 hijriah bertepatan pada usia 23 tahun, ia mulai menulis kitab.


Dalam muqaddimah kitab Taqribut Tahdzib disebutkan bahwa kitabnya lebih dari ratusan, di antaranya: al-Isabah fi Tamyizis Sahabah, Fathul Bari, Lisanul Mizan, Tahdzibut Tahdzib, Ta’jilul Manfa’ah, al-Ihtifal bi Bayani Ahwalir Rijal, ad-Durarul Kaminah, Nuzhatul Albab, Ta’rifu Ahlit Taqdis, dan beberapa kitab lainnya.


Demikian biografi singkat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Dengan mengetahui sejarah inteletualitasnya, semoga kita semakin semangat untuk selalu belajar, sebagaimana Ibnu Hajar, Amin.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.