Tokoh

Kebesaran Jiwa dan Sikap Toleran KH Hasyim Asy’ari

Rab, 21 November 2018 | 05:00 WIB

Hadratus Syekh Kiai Haji Hasyim Asy’ari lahir dengan nama Mohammad Hasjim Asy’arie, tepatnya di Kabupaten Jombang pada tanggal 14 Februari 1871. Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari sepuluh bersaudara dengan sosok ayah bernama Kiai Asy’ari, pengasuh Pesantren Keras di Jombang sebelah Selatan. 

Ia memiliki garis keturunan dengan Sultan Pajang (Jaka Tingkir/Adipati Adiwijaya) dan masih terkait dengan Raja Majapahit, Raja Brawijaya V. KH Hasyim Asy’ari mempunyai sanad keilmuan yang panjang. Tetapi dasar-dasar pelajaran agama Islam ia peroleh dari bimbingan sang kakek, yakni Kiai Usman yang juga seorang pimpinan Pesantren Nggedang di Jombang.

Sewaktu menginjak usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari muda berkelana menimba ilmu dari berbagai tokoh dan pesantren. Beberapa di antaranya yang tercatat; Pesantren Siwalan di Sidoarjo, Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang dan Pesantren Kademangan di bawah pengajaran Syaikhona Kholil (Bangkalan) bersama KH Ahmad Dahlan muda.

Beberapa tahun kemudian, setelah dianggap oleh Syaikh Kholil tamat, ia bersama tiga teman bergurunya disuruh pulang dan melanjutkan perjalanan masing-masing dengan dibekali barang sendiri-sendiri. 

KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan diberi kitab untuk dingajikan ke Kiai Soleh Darat. Sementara dua teman yang lain; yakni Mbah Zahid (Kakek dari Emha Ainun Nadjib) diberi cincin, KH Romli diberi pisang emas.

Dari bimbingan Syaikh Kholil, lalu dilanjutkan oleh Kiai Soleh Darat, Hasyim Asy’ari melanjutkan pencarian ilmu ke Kota Mekkah. Setibanya di sana, awalnya KH Hasyim Asy’ari mengaji Shahih Bukhori di bawah bimbingan Syaikh Mahfudz dari Tremas (Pacitan). Sejak itulah, KH Hasyim Asy’ari mulai mencintai hadits, sekaligus mendalami ilmu tasawuf serta tarekat qadiriyah dan naqsabandiyah.

Selain kepada Syaikh Mahfudz, KH Hasyim Asy’ari juga menimba ilmu dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang ahli di bidang ilmu falak, ilmu hisab (matematika) dan fiqih madzhab Syafi’i.

Pada saat kembali ke bumi kelahirannya, KH Hasyim Asy’ari pun mendirikan Pesantren Tebuireng dengan bantuan Mbah Zahid pada tahun 1899. Beliau mengisi pengajian hadits dan mempopulerkannya—karena pada masa itu kebanyakan Pesantren terlalu fokus mengajarkan tarekat saja.

Setelah Pesantren Tebuireng sukses mendatangkan santri-santri dari berbagai penjuru Nusantara, dan jaringan terbangun semakin baik dengan para Kiai di Jawa Timur, KH Hasyim Asy’ari pun mendirikan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 sebagai wadah kebangkitan para ulama untuk menyejahterakan umat dan lepas dari belenggu penjajah.

Bukti yang menunjukkan peran KH Hasyim Asy’ari sangat krusial ialah ketika Bung Tomo dan bahkan Bung Karno meminta fatwa dari beliau tentang hukum melawan penjajah. Dari situlah lahir “Resolusi Jihad” yang kemudian membuahkan perjuangan para pemuda pada tanggal 10 November di Surabaya melawan Belanda.

Namun, meski KH Hasyim Asy’ari adalah ulama kharismatik yang kedalaman ilmunya tidak diragukan, tetapi beliau tetap tidak lantas bersikap gagah dan tinggi hati. Justru karena kedalaman ilmu beliau lah yang menjadikannya sosok pengayom masyarakat yang welas-asih dan toleran.

“Ilmu ada 3 tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahap kedua, ia akan tawadhu’. Dan jika ia memasuki tahapan yang ketiga, ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya.”
-Sayyidina Umar Ibn Khattab-

Tentang sikap toleran KH Hasyim Asy’ari dapat teramati dalam kisah ketika salah seorang santrinya yang baru datang dari Yogyakarta hendak melaporkan sesuatu. Menurut pengakuan santri tersebut, ia melihat sekelompok aliran sesat. KH Hasyim pun bertanya-tanya mengenai aliran sesat tersebut. Santri lantas menjelaskan ciri-ciri aliran yang ditemuinya itu.

Ungkap sang santri bahwa aliran tersebut memiliki perbedaan yaitu tidak melaksanakan pembacaan qunut ketika Subuh dan pimpinannya bergaul dengan organisasi Budi Utomo. Ditanyakanlah oleh KH Hasyim Asy’ari siapa pemimpin dari kelompok tersebut. Santri menjawab Ahmad Dahlan.

Sontak KH Hasyim Asy’ari pun tersenyum sambil menyahut, “Oh, Kang Darwis, toh?” Setelah mendengarkan penuturan santri tersebut, beliau lantas menceritakan bahwa KH Ahmad Dahlan adalah temannya ketika di Mekkah. Beliau juga menjelaskan bahwa aliran yang dimaksud sang santri itu tidaklah sesat. Malah kemudian KH Hasyim Asy’ari berkata, “Ayo padha disokong!” (Ayo, kita dukung sepenuhnya).

Abu Musa meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda: 

“Kaum mukmin adalah bersaudara satu sama lain. Ibarat dalam suatu bangunan, satu bagian memperkuat bagian lainnya.” Kemudian beliau menyelipkan jari-jari di satu tangan dengan jemari tangan lainnya agar kedua tangannya tergabung. 
(HR. Bukhori)

Dari cerita di atas, ada hikmah berharga yang perlu untuk kita catat. Sikap KH Hasyim Asy’ari ketika mendengarkan penuturan santrinya tentang aliran sesat, beliau merespon dengan bijaksana yaitu menanyakannya secara detail terlebih dahulu sebelum memberikan pernyataan.

Kiai Tebuireng ini tidak tergesa-gesa memberikan judgement karena pengalaman selama di Timur Tengah telah memberikannya pandangan luas dan pemahaman yang baik tentang persoalan perbedaan furu’iyyah yang wajar terjadi. 

Bahkan KH Hasyim Asy’ari ketika melihat potensi gesekan antara NU dan Muhammadiyah semakin tajam, beliau sempat menuturkan di hadapan para santrinya, “Kita dan Muhammadiyah itu sama. Kita taqlid qauliy (mengambil pendapat ulama salaf), mereka taqlid manhaji (mengambil metode).”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata; 
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Oleh sebab itu, janganlah menzalimi, meremehkan, dan jangan pula menyakitinya.” 
(HR. Ahmad)

Dari sikap lemah lembut, arif dan bijaksana yang dimiliki Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, dapat kita renungkan secara bersama bahwa sekali lagi perbedaan itu wajar dan suatu keniscayaan. 

Sikap yang perlu ditumbuhkan dalam diri kita adalah rasa saling menghargai dan menerima perbedaan tersebut untuk justru menikmatinya sebagai suatu anugerah, rahmat dan berkah dari Allah yang menjadikan dunia ini penuh warna. Bukankah seperti lukisan dan pelangi, dunia akan indah jika penuh dengan warna-warni? Wallahu A’lam. (M. Naufal Waliyuddin)