Abnar Romli, Sastrawan Lesbumi yang Novelnya Dicekal Orde Baru
NU Online · Rabu, 16 April 2025 | 11:24 WIB
Malik Ibnu Zaman
Kolomnis
Muhammad Abu Nawar Romli atau yang lebih akrab dikenal sebagai M. Abnar Romli, lahir di sebuah desa kecil bernama Pakembaran, yang terletak di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, pada tanggal 13 Maret 1943. Kehidupannya bermula di tengah suasana pedesaan yang hangat, di mana cerita-cerita pengantar tidur yang disampaikan ibunya menjadi bagian penting dari masa kecilnya. Dongeng-dongeng itulah yang secara perlahan menumbuhkan mimpi dalam diri Abnar kecil: ia ingin menjadi seorang penulis buku fiksi dan sutradara film.
Namun, jalan menuju mimpi itu ternyata tidaklah mulus. Harapan orang tuanya, terutama sang ayah, berbeda dengan apa yang diinginkannya. Ayahnya menginginkan ia menjadi seorang kiai. Perbedaan harapan ini mulai terasa saat Abnar menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar pada tahun 1958. Ia kemudian melanjutkan studinya di sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) di Slawi. Tetapi, baru sekitar satu setengah tahun ia menimba ilmu di sana, ayahnya mengambil keputusan besar. Pada tahun 1960, Abnar dikirim ke Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, salah satu pesantren ternama di Indonesia.
Berpindah ke lingkungan pesantren dengan rutinitas harian yang dipenuhi pelajaran agama tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Abnar. Meski begitu, semangatnya untuk menjadi penulis dan sutradara tak pernah padam. Di sela-sela waktu mengaji dan kegiatan santri lainnya, ia tetap menulis cerpen dan karya-karya lain.
Setelah beberapa waktu di Pesantren Tebuireng, Abnar melanjutkan pendidikannya di Pesantren Seblak yang lokasinya tak jauh dari Tebuireng. Di sana, ia semakin mengasah kemampuan menulisnya, sembari tetap memperdalam ilmu agama. Tahun 1965 menjadi penanda fase baru dalam perjalanannya. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pesantren Seblak, ia kembali lagi ke Tebuireng untuk melanjutkan pengembaraan ilmunya.
Dua tahun kemudian, pada 1967, Abnar pulang ke kampung halamannya di Slawi. Kembali ke tanah kelahirannya, ia tak lantas meninggalkan dunia yang ia cintai. Justru ia semakin aktif di bidang seni dan budaya. Ia dipercaya memimpin LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) Kabupaten Tegal.
Nama M. Abnar Romli mulai diperhitungkan dalam dunia sastra Indonesia ketika cerpennya yang berjudul "Penjual Kapas" dimuat di majalah Horison, sebuah majalah sastra bergengsi yang didirikan oleh Mochtar Lubis, P.K. Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail. Cerpen tersebut terbit dalam edisi nomor 2 pada tanggal 15 Februari 1967.
Kehadiran nama Abnar dalam majalah itu membuatnya sejajar dengan para sastrawan ternama, seperti Soe Hok Djin/Arief Budiman dengan "Catatan Kebudayaan", Rainer Maria Rilke dengan "Kepada Penyair Muda", B. Jass dengan "Bangkai Seekor Nyamuk", D.A. Somad dengan "Pulau Pandan Jauh di Tengah", Subagio Sastrowardoyo dengan kumpulan sajak-sajaknya, Goenawan Mohamad dengan "Sebuah Interpretasi/Sorotan", Seami dengan "Nakamitsu", Aoh K. Hadimadja dengan "Daerah dan Angkatan 66", serta O. Henry dengan "Daun yang Terakhir". Cerpen “Penjual Kapas” meraih penghargaan Hadiah Horison pada tahun 1966-1967 dalam kategori cerpen yang mendapat apresiasi dari tim redaksi.
Hal menarik lainnya dalam perjalanan kepenulisan Abnar Romli adalah salah satu novelnya yang berjudul "Orang-Orang yang Terhormat" (OYT) sempat dilarang beredar oleh rezim Orde Baru. Berdasarkan Arsip Data Tempo tertanggal 1 Februari 1975, pelarangan itu dilakukan oleh Kejaksaan Agung melalui surat keputusan Nomor 007/E-2/10/1974, yang dikeluarkan pada 9 Oktober 1974. Novel tersebut dianggap bertentangan dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tanggal 23 Maret 1973.
Ada yang unik dari pelarangan ini. Pengumuman tentang larangan peredaran justru disampaikan oleh kantor penerangan di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, bukan langsung oleh Kejaksaan Agung di Jakarta. Keputusan pelarangan pun baru muncul setelah novel ini mengalami cetak ulang kedua pada tahun 1973, meskipun pertama kali diterbitkan oleh PT Sanggabuwana, Bandung, pada tahun 1967. Novel setebal 76 halaman yang ditujukan untuk pembaca remaja ini sebelumnya pernah diikutsertakan dalam sayembara yang diadakan oleh IKAPI Jawa Barat. Walaupun tidak berhasil meraih penghargaan, novel tersebut masuk dalam daftar buku yang diprioritaskan untuk diterbitkan.
Bagi Abnar Romli, pelarangan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Ia merasa aneh karena karyanya yang sudah beredar selama beberapa tahun dan bahkan sempat dicetak ulang, tiba-tiba dianggap bermasalah. Menurutnya kasus ini memperlihatkan bagaimana sebuah karya sastra bisa bernasib sama dengan media cetak dan film. Surat kabar bisa saja ditutup tanpa proses pengadilan, sementara film yang sudah lolos sensor pun tetap berisiko dilarang tayang, seperti yang dialami film "Romusha" pada tahun sebelumnya.
"Nah, kasus pelarangan buku saya itu nyaris sama dengan pelarangan terhadap film Romusha. Sebab tema ceritanya sama-sama mengetengahkan epos perjuangan. Apa pun temanya, tampaknya Kejaksaan lebih tergelitik oleh beberapa kalimat. Kalimat itu mungkin dianggap berbau politis, hingga dikhawatirkan bisa menimbulkan salah pengertian anak-anak remaja terhadap Pancasila dan UUD '45. Kalimat yang mana? Sumber Kejaksaan tidak bersedia menyebutkan. Tapi kalau orang sudah membaca OYT, bisalah menebak kalimat mana yang menjadi biang pelarangan itu,” ujar Abnar kepada reporter Said Muchsin.
Kritikus sastra HB Jassin, meskipun belum sempat membaca novel OYT secara langsung, mengaku terkejut ketika mendengar kabar pelarangan tersebut. Sambil merenungkan kejadian itu, ia mengungkapkan harapannya agar pemerintah tidak bersikap terlalu ketat dalam menyikapi karya sastra.
Baca Juga
Asrul Sani di Mata Dua Sastrawan Sunda
Pendapat lain datang dari Ajip Rosidi, yang menilai bahwa tema cerita dalam OYT sebenarnya baik untuk dibaca para remaja karena mengajarkan kecintaan terhadap tanah air. Namun, ia juga mencatat bahwa penyajian cerita dalam novel itu terkesan bombastis. Menurut Ajip, secara keseluruhan cerita tersebut memang mengandung beberapa kelemahan jika dilihat dari sudut pandang kritik sastra.
Ajip juga menyoroti adanya kalimat-kalimat yang dianggap kurang pantas, terutama yang terdapat pada halaman 41 dan 42. Kendati demikian, ia berpendapat bahwa bagian-bagian tersebut sebenarnya tidak terlalu menonjol dan sama sekali tidak mengganggu jalannya cerita. Hal inilah yang membuat Ajip mempertanyakan alasan di balik pelarangan novel tersebut. Baginya, sebagai karya sastra yang menggambarkan semangat patriotik anak-anak Indonesia, pelarangan OYT terasa berlebihan dan membingungkan, terutama bagi pembaca awam yang mungkin justru mempertanyakan keputusan tersebut.
Belakangan, nama Abnar Romli lebih dikenal sebagai sutradara film. Beberapa karyanya yang populer antara lain Misteri Gunung Merapi, Legenda Mahkota Majapahit, Prahara Prabu Siliwangi, Mayat Hidup, dan Pancasona, serta masih banyak lagi film lainnya.
Perjalanannya menuju dunia film dimulai pada tahun 1970, ketika ia merantau ke Jakarta untuk mengejar impian menjadi sutradara. Langkah awalnya ditandai dengan mendirikan grup drama bernama "Teater Pembina," yang aktif mengisi program di TVRI Jakarta. Mereka tampil dalam berbagai acara, seperti drama Mimbar Agama Islam dan drama remaja.
Pada tahun 1971, Abnar mencoba peruntungan di industri film dengan melamar pekerjaan di PT Agora Film, sebuah rumah produksi film layar lebar yang dipimpin aktor terkenal Bambang Irawan. Ia diterima sebagai juru catat adegan. Setahun kemudian, ia mendapat promosi menjadi Asisten Sutradara.
Kepercayaan besar datang pada tahun 1974 ketika PT Sapta Yanuar Film menunjuknya sebagai sutradara utama. Film layar lebar pertamanya berjudul "Dimadu," dengan skenario yang ditulisnya sendiri. Film perdana itu meraih kesuksesan besar di pasaran. Sejak saat itu, nama Abnar Romli semakin dikenal luas sebagai seorang sutradara yang produktif dan berbakat di dunia perfilman Indonesia.
Malik Ibnu Zaman lahir di Tegal Jawa Tengah. Menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi yang tersebar di beberapa media online. Buku pertamanya sebuah kumpulan cerpen berjudul Pengemis yang Kelima (2024).
Terpopuler
1
Paus Fransiskus, Ia yang Mengurai Simpul Kehidupan dan Menyembuhkan Luka-luka Dunia
2
Jadwal Pemberangkatan Jamaah Haji Embarkasi Surabaya 2025
3
Data Hilal Rukyatul Hilal Awal Dzulqa'dah 1446 H
4
209 Orang Calon Jamaah Haji Asal Bungo Mulai Masuk Asrama pada 20 Mei
5
Hilal Teramati, LF PBNU Umumkan Awal Dzulqa'dah 1446 H Jatuh Esok
6
LPBI PWNU Jateng Terjunkan Tim Bantu Korban Bencana Tanah Gerak di Brebes
Terkini
Lihat Semua