Tokoh

KH Ahmad al-Hadi, Pendiri NU Pertama di Bali

Ahad, 1 April 2007 | 03:22 WIB

KH Ahmad al-Hadi, Pendiri NU Pertama di Bali

KH Ahmad al-Hadi, Pendiri NU Pertama di Bali

Lahir pada tahun 1899 dari pasangan Kiai Dahlan Falak dan Nyai Ummu Kulsum Semarang dengan nama Ahmad. Semasa nyantri di Jamsaren, Kiai Idris Jamsaren memberikan julukan "al-Hadi" kepadanya sehingga ia pun dikenal dengan nama Ahmad al-Hadi. Disamping belajar kepada Kiai Idris, Ahmad muda juga pernah menuntut ilmu kepada sejumlah ulama besar tanah Jawa seperti Kiai Umar Sarang, Kiai Abdullah Termas, Kiai Khalil Bangkalan, Tuan Syeikh Jembrana [Bali] dan Kiai Hasyim Asy`ari. Ahmad al-Hadi juga pernah beberapa tahun menuntut ilmu di kota Mekkah sebelum akhirnya pulang ke Indonesia setelah Hijaz mengalami kekacauan besar akibat meletusnya revolusi Wahabi. 


Mendirikan Pesantren dan Madrasah

Pada tahun 1929, Ahmad al-Hadi hendak kembali nyantri kepada Tuan Syeikh di kampung Timur Sungai Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Namun sesampainya di kampung Timur Sungai, Tuan Syaikh yang dicarinya telah meninggal dunia. Akibatnya, kampung timur sungai mengalami masa vakum [masa masyarakat tidak memiliki figur ulama]. Seorang bangsawan Melayu, Datuk Hasan Kaya, mengangkatnya menjadi anak dan bermaksud menjadikannya sebagai figur pengganti Tuan Syeikh.

Setelah diangkat menjadi anak oleh Datuk Hasan Kaya, sang ayah pun memintanya menetap di Kampung Timur Sungai. Ia dipinta untuk mengajarkan ilmu agama di Masjid Bait al-Qadim. Sementara segala kebutuhan hidupnya disokong sepenuhnya oleh ayah angkatnya. Mulai saat itulah Ahmad al-Hadi menjadi penduduk Loloan yang mayoritas bersuku Bugis-Melayu dan berperan sebagai ulama muda yang sangat bersemangat dalam dunia pendidikan. Di masanya, ia lebih populer dengan nama Ustadz Semarang.

 

Setelah setahun bermukim di kampung Timur Sungai, tepatnya pada 11 Agustus 1930, Ahmad al-Hadi mendirikan pondok pesantren Semarang [kini pondok pesantren Manba'ul Ulum]. Sebelum berdirinya pondok pesantren Semarang, sistem pendidikan di kawasan Jembrana dan Singaraja mengandalkan sistem pendidikan tradisional Langgar atau Surau. Namun setelah kedatangan Ahmad al-Hadi, sistem pondok pun segera di perkenalkan. Para santri disediakan tempat pemukiman di lingkungan pesantren dan dilatih untuk mempraktekkan ilmu yang mereka peroleh ke dalam kehidupan sehari-hari mereka di pesantren.

 

Di tahun yang sama, Ahmad al-Hadi juga memperkenalkan sistem pendidikan klasikal Islam "madrasah"  kepada masyarakat muslim Jembrana. Disamping untuk memfasilitasi kebutuhan umat Islam akan pendidikan agama, pendirian madrasah juga ditujukan untuk mengkader generasi bangsa yang anti terhadap imperialisme dan kolonialisme Hindia Belanda. Para santri dan murid-murid madrasah tidak diperkenankan untuk menggunakan pakaian, atribut, ataupun alat-alat musik yang sering digunakan oleh Belanda.

 

Datuk Haji Imran, santri senior yang kelak menjadi menantu Ahmad al-Hadi dan pendiri pondok pesantren Riyadlus Shalilhin Melaya,  tercatat sebagai seorang tokoh pemuda [sebutan untuk pejuang kemerdekaan] yang gigih melawan kolonialisme Belanda. Peran penting yang dimainkannya sebagai penghubung gerakan perjuangan kemerdekaan antara Bali bagian barat dan Jawa bagian timur membuat Datuk Haji Imran menjadi  tokoh yang paling dicari oleh pasukan NICA (pemerintah sementara Belanda).

 

Mengajarkan Agama dengan Syair Melayu

Walaupun berasal dari suku Jawa, namun kepedulian dan penghargaan Ahmad al-Hadi terhadap kebudayaan masyarakat Bugis-Melayu Bali, tempat ia tinggal. Setiap kali mengajar, ia tidak pernah menggunakan bahasa Jawa, namun selalu menggunakan bahasa Melayu. Ia juga rajin menggubah syair-syair nasihat yang ditujukan untuk mendidik santri agar memiliki akhlak yang mulia.


Disamping syair-syair nasihat Ahmad al-Hadi juga menggubah dasar  dari beberapa cabang ilmu agama yang diperolehnya dari kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam syair-syair Melayu. Semua usahanya ini ditujukan untuk mempermudah para santri yang mayoritas awam akan bahasa Arab dapat memahami ajaran-ajaran Islam dengan mudah. Bahkan tradisi belajar sambil bersyair ini kemudian terus diwariskan di daerah Jembrana dan juga diajarkan oleh para alumni yang mengajar di sejumlah kabupaten di Bali.

 

Gubahan sya'irnya yang paling banyak dihafal adalah pengajaran Tajwid dengan pendekatan "Talaqi" [dialog murid-guru]. Setiap guru bertanya, sang murid harus menjawab dengan syair yang berisi jumlah huruf yang memiliki status hukum tertentu dalam tajwid. Sebagai ilustrasi, dalam kasus idgham bila ghunnah, murid harus bisa menjawab pertanyaan guru tentang hukum "idgham bila ghunnah" dan menyebutkan syair berikut: "Idgham yang tidak ghunnah hurufnya : Cuma lah dua lam ra' namanya".

 

Di luar disiplin tajwid, Ahmad al-Hadi juga menggubah syair yang mengajarkan ilmu tauhid dan ilmu fiqh. Ada juga syair "Taubat" yang digunakan sebagai pembuka kegiatan "Taubat Nasuha" yang dilakukan oleh "Jama'ah al-Ikhlas", jama'ah yang didirikannya dan memiliki prosedur pengangkatan bai'at sebagaimana laiknya prosedur umum yang ada di dunia tarekat. Konon Ijazah Jama`ah al-Ikhlas ini diterimanya oleh Syeikh Hafidz Yamani.

 

Sedangkan syair-syair yang diperuntukkan kepada generasi muda, pada  umumnya mengambil tema seputar etika bergaul remaja serta menumbuhkan rasa cinta dan kesetiaan terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Syayang, kriteria syair-syair yang membahas tema ini sudah tidak banyak dikenal lagi kecuali hanya oleh santri yang pernah menimba ilmu secara langsung kepadanya.

 

Pendiri NU Pertama di Pulau Bali

Pada tahun 1933 Jembrana dijadikan target penyebaran faham Islam puritan pertama di Bali. Gerakan keagamaan yang mengatasnamakan purifikasi agama ini  mengkampanyekan pembersihan agama dari Takhayyul, Bid'ah dan Khurafat serta menghujat  praktik bermazhab di kalangan umat Islam, sebuah gerakan yang meresahkan kehidupan masyarakat muslim di Jembrana.

 

Hal ini menyebabkan Ahmad al-Hadi tidak bisa tinggal diam. Ia maju untuk mempertahankan tradisi keagamaan umat Islam di Jembrana yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Ia menantang untuk melakukan debat terbuka terhadap siapapun yang berani mengutak-atik dan menyerang tradisi keagamaan yang disebutnya sebagai faham Ahlussunah wal Jama'ah. Bahkan untuk menjawab kecaman kelompok puritan terhadap praktek bermadzhab, Ahmad al-Hadi malah menunjukkan mewajibkan penggunaan "awik" atau cadar kepada semua santri dan murid perempuannya sebagai bukti kesetiaannya terhadap madzhab Syafi'i.

 

Namun untuk melawan gerakan Islam puritan yang terorganisir dengan baik tidak cukup hanya dengan perlawanan personal. Harus ada wadah persatuan yang dapat mengamankan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dari serangan kelompok-kelompok Islam lain. Hal inilah yang menyebabkan Kiai Wahab Hasbullah [di]datang[kan] ke Bali pada tahun 1934. Dengan hanya mengendarai Jukong, Kiai Wahab Hasbullah menyeberangi selat Bali dan mendarat di pelabuhan Jembrana [waktu itu pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dan pulau Bali terletak di daerah Cupel].

 

Setelah beristirahat sejenak di Cupel, Kiai Wahab melanjutkan perjalanan menuju kampung Timur Sungai. Disamping Masjid Agung Baitul Qadim Loloan Timur, Kiai Wahab mengenalkan NU kepada para alim ulama masyarakat Islam Jembrana. Dalam Kesempatan itu Kiai Wahab berpidato: “Kalau boleh diibaratkan sebagai penjual obat, Saya ingin menjajakan saya punya obat kepada tuan-tuan, jika cocok alhamdulillah jika tidak cocok tidak apa-apa” [obat yang dimaksud adalah Nahdlatul Ulama].

 

Dalam pertemuan tersebut sempat terjadi tanya-jawab seputar masalah-masalah agama. Para ulama dan tokoh lokal Jembrana merasakan ada kecocokan antara ajaran Islam tradisional yang hidup di Jembrana dengan ideologi Ahlussunnah wal Jama'ah NU. Oleh karena itu, diplomasi Kiai Wahab dalam menawarkan NU ini dengan cepat dapat diterima dan menarik minat para ulama, para tokoh serta masyarakat setempat untuk bergabung ke dalam NU.

 

Mulai saat itulah organisasi NU berdiri dan memiliki struktur keorganisasian yang jelas. Sementara Ahmad al-Hadi segera dipilih secara aklamasi sebagai Rais `Am Cabang NU Jembrana yang sekaligus menjadi cabang NU pertama di pulau Bali. Di bawah kepemimpinannya, Gerakan NU di Jembrana segera mendirikan sejumlah madrasah di daerah-daerah yang menjadi basis umat Islam Jembrana. Walhasil, pada masa ini NU berhasil mendirikan madrasah di kampung Barat Sungai, Cupel dan Tukadaya sedangkan di kampung Timur Sungai sendiri telah berdiri madrasah yang beliau dirikan sebelum terbentuknya NU.

 

Namun setelah NU menjadi parpol, Kepemimpinan NU diserahkan kepada tiga ulama dari kampung Barat Sungai, antara lain: Ustadz Ali Bafaqih [pengasuh pondok pesantren Darul Huda Loloan Barat], Datuk Guru Nuh dan Datuk Haji Abdurrahman [Pengasuh Pesantren Darut Ta'lim Loloan Barat]. Sementara Ahmad al-Hadi sendiri segera menjauhkan diri dari arena politik praktis dan lebih memilih berkonsentrasi mengurus pesantren hingga akhir hayatnya.

 

Kendati Ahmad al-Hadi tidak aktif lagi di NU, namun anak-anak dan para menantunya tetap berjuang di garis depan dalam menegakkan NU, baik pada era Orde Lama, Orde Baru, maupun pada era reformasi. Ahmad al-Hadi atau Ustadz Semarang sendiri tutup usia pada tahun 1976 dan dikuburkan di depan masjid Agung Loloan Timur. Makamnya yang berdampingan dengan Kubur Syarif Abdullah al-Qadri, Adik Sultan Abdurrahman al-Qadri dari kerajaan Pontianak Kalimantan merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya bagi perkembangan Islam di Bali. (Rifqil Halim Muhammad)