Tokoh

KH Masjkur, Komandan Sabilillah Ahli Pertahanan Negara

Sab, 9 November 2019 | 00:00 WIB

KH Masjkur, Komandan Sabilillah Ahli Pertahanan Negara

KH Masjkur. (Foto: Yayasan Sabilillah Malang)

“KH Masjkur selain seorang menteri, tokoh politik dan pejuang, juga seorang tokoh ulama. Pak Masjkur, begitulah panggilan akrabnya (sebutan ‘Pak’ sudah mulai membudaya sejak ibu kota pindah ke Yogyakarta), adalah anggota DPP Masyumi, Ketua Markas Tertinggi Barisan Sabilillah dan Anggota Dewan Pertahanan Negara.”

Tentang sosok Kiai Masjkur tersebut diungkapkan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (2013: 417). Hal itu diungkapkannya ketika Kiai Masjkur ditunjuk Presiden Soekarno untuk menjabat Menteri Agama dan menginginkan Kiai Saifuddin Zuhri untuk membantu di kementeriannya yang menempati kantor baru di belakang Istana Presiden di Jalan Ngupasan (kini Jalan Bayangkara) Yogyakarta.

Saat itu, tepatnya pada November 1947 Kiai Masjkur mendapat panggilan dari presiden untuk segera datang ke Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota RI. Dari rekan-rekannya di Masyumi, Kiai Masjkur memperoleh kabar bahwa ia akan diikutsertakan ke dalam kabinet.
 
Kiai Masjkur kemudian menjadi menteri, Masjkur merupakan tokoh NU ke-3 yang mengemban amanat sebagai menteri agama setelah KH Wahid Hasyim dan KH Fathurrahman Kafrawi.

Kiai Masjkur pertama kali menempati kursi menteri agama pada Kabinet Amir Syarifuddin II sejak 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948. Kabinet ini tidak berumur panjang karena Amir Syarifuddin mengundurkan diri setelah polemik internal akibat Perjanjian Renville.

Dalam tempo singkat ini, Kiai Masjkur menghasilkan Peraturan Menteri Agama Nomor 5/1947 tentang biaya perkara pengadilan agama yang harus disetor ke kas negara. Selain itu, dikutip dari buku Menteri-Menteri Agama RI (1967) suntingan Azyumardi Azra & Saiful Umam, digelar Konferensi Agama dengan Jawatan-Jawatan Agama seluruh Indonesia pada 13-16 November 1947.

Selanjutnya dibentuk Kabinet Hatta I sejak 29 Januari‎ ‎1948, Kiai Masjkur tetap menjabat menteri agama. Ia memberlakukan Undang-Undang Nomor 19/1948 yang salah satu pasalnya mengatur tentang pemutusan perkara-perkara perdata antar umat Islam menurut hukum Islam. Selain itu, Masjkur adalah menteri agama pertama yang menggagas dibentuknya Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah-daerah.

Kabinet Hatta I terhenti pada 4 Desember 1948 lantaran Agresi Militer Belanda dan ditangkapnya para pemimpin republik. Masjkur lolos dari penangkapan, kemudian ikut bergerilya, dari Yogyakarta, Solo, Ponorogo, dan akhirnya bertemu dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman di Trenggalek.

Pemerintahan republik akhirnya dipulihkan dengan terbentuknya Kabinet Hatta II sejak 4 Agustus 1949. Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990) yang dikutip Tirto menuliskan bahwa Kiai Masjkur tetap dipercaya menjadi menteri agama.

Pada 20 Desember 1949 atau setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, dibentuklah kabinet peralihan. Soesanto Tirtoprodjo bertindak sebagai pejabat sementara perdana menteri dan Kiai Masjkur tetap menempati posisi menteri agama. Jadi Kiai Masjkur tercatat menjabat Menteri Agama lima kabinet.

Selain Kiai Masjkur sebagai komandan tertinggi pasukan Sabilillah, ada KH Abdul Wahab Chasbullah yang memimpin barisan Mujahidin dan KH Zainul Arifin sebagai komandan Hizbullah. Tiga kelaskaran yang diisi oleh banyak santri tersebut berupaya mempertahankan kedaulatan negara dari pasukan Sekutu yang dibonceng NICA (Belanda) yang ingin kembali menjajah bangsa Indonesia.

Diungkapkan oleh Ario Helmy (2018) Kiai Masjkur dan Zainul Arifin adalah lulusan pelatihan semi militer Hizbullah angkatan pertama di Cibarusah, dekat Cibinong, Jawa Barat yang berlangsung tiga bulan lamanya awal tahun 1945 diikuti sekira 500 tokoh pemuda santri. Latihannya berdisiplin tinggi dan sangat berat.

Yang diulang-ulang ialah latihan perang-perangan dengan senjata dari kayu. Selain itu juga dilatihkan teknik perang gerilya dan pembuatan bom molotov. Dilangsungkan di daerah bertanah liat pelbagai kesulitan medan dan penyakit malah menguatkan fisik dan mental baja para pesertanya.

Dibekali semangat Bushido ala Jepang, rasa cinta tanah air dan semangat bela negara menggelora di antara para peserta. Selesai pelatihan angkatan pertama, Zainul Arifin dan Kiai Masjkur berpisah karena berbagi tugas.

Kiai Masjkur dan KH Wahid Hasyim menjadi anggota BPUPKI guna mempersiapkan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sedangkan Zainul Arifin selaku Panglima Hizbullah bertugas mengomandani pelatihan spiritual di Mesjid Kauman, Malang. Pasukan Santri Hizbullah digembleng kedisiplinan spiritual langsung di bawah Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah, dan kiai-kiai sepuh lainnya.

Sementara itu, situasi pertempuran antara rakyat dan NICA yang dibantu Inggris tetap berkobar di front pertempuran Bandung Selatan, Semarang, Karawang, dan Mojokerto. Namun, perundingan politik antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda terus berkembang.

Sadar akan kekuatan laskar santri dan rakyat yang tergabung dalam Sablillah, Mujahidin, Hizbullah, dan lain-lain, pemerintah dalam hal ini Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin pada 12 November 1946 atas inisiasi para ulama pesantren membentuk Dewan Kelaskaran (cikal bakal berdirinya Tentara Nasional Indonesia). Dewan Kelaskaran ini terdiri dari pucuk-pucuk pimpinan kelaskaran: KH Masjkur (Sabilillah), Zainul Arifin (Hizbullah), Dr Muwardi (Barisan Banteng sebelum mengalami penculikan), Bung Tomo (Barisan Pemberontakan), dan lain-lain.

Integrasi atau penyatuan kelaskaran tersebut berangkat dari kondisi ketika pemerintah Indonesia kebingungan menyiapkan pasukan dalam pertempuran dahsyat di Surabaya pada 10 November 1945. Namun demikian, pasukan rakyat dan tentara santri yang terlebih dahulu menyiapkan diri berhasil menghalau pasukan sekutu dan NICA di Surabaya.

Sebagai laskar yang paling siap berperang, Hizbullah cenderung memilih mempertahankan kemerdekaan habis-habisan di medan perang. Ini dibuktikan dengan dikerahkannya seluruh potensi pesantren untuk langsung terjun ke pertempuran dengan dibentuknya pasukan kiai-kiai pesantren Sabilillah di bawah Kiai Masjkur dan pasukan Mujahidin dikomandani Kiai Wahab Chasbullah.

Hal ini ditempuh setelah terjadi kekisruhan di Surabaya yang mendesak KH Hasyim Asy'ari untuk mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Di tengah kebingungan pemerintah pusat yang masih merasa lemah karena belum terbentuk Tentara Nasional resmi, berlangsunglah pertempuran Surabaya 10 November yang melibatkan langsung pasukan-pasukan Hizbullah, Sabilillah dan Mujahidin dengan persenjataan apa adanya termasuk ketapel waktu itu.

Dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1984) yang diungkap Tirto disebutkan, Kiai Masjkur lahir di Desa Pagetan, Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Ketika berusia 9 tahun, ia diajak orang tuanya berhaji ke Makkah. Sepulang dari tanah suci, Masjkur belajar di sejumlah pondok pesantren untuk memperdalam ilmu agamanya.

Salah satu pesantren yang menempa Kiai Masjkur adalah Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang pimpinan KH Hasyim Asya’ri. Dari Tebuireng, Masjkur lalu berguru kepada K.H. Kholil al-Bangkalani di Madura, kemudian berlanjut ke Pesantren Jamsaren di Solo, Jawa Tengah.

Setelah lama nyantri dari pondok ke pondok, Masjkur akhirnya kembali ke Singosari pada 1923. Di kampung halamannya ini, tulis Dukut Imam Widodo dalam Malang Tempo Doeloe (2006), ia mendirikan pesantren sekaligus madrasah bernama Mishbahul Wathan yang berarti Pelita Tanah Air.

Kiai Masjkur juga aktif sebagai pengurus NU di daerahnya. Pada 1926 ia terpilih sebagai Ketua NU cabang Malang. Empat tahun berselang, Masjkur sudah masuk jajaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan turut memperjuangkan kepentingan umat Islam pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengambil alih wilayah Indonesia dari Belanda sejak 1942, Masjkur bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Ini merupakan organisasi paramiliter bentukan pemerintah Dai Nippon dan nantinya menjadi salah satu unsur utama yang membentuk Tentara Nasional Indonesia.

Pengabdian KH Masjkur sebagai menteri agama di Kabinet Ali Sastroamidjojo I tuntas pada 12 Agustus 1955. Setelah itu, ia sempat masuk parlemen hingga 1971, yakni dengan menjadi anggota DPR, DPRGR, dan Ketua Golongan Islam di DPR/MPR, juga anggota Dewan Pertimbangan Agung (DP), selain tetap mengabdi di NU.
 
KH Masjkur tercatat sebagai Ketua Umum PBNU periode 1952-1956. Sejak tahun 1973 Kiai Masjkur menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setelah dilakukan fusi partai-partai Islam kala itu. Tahun 1978, ia duduk sebagai Wakil Ketua DPR hingga 1983.
 
KH Masjkur menuntaskan tugasnya di NU pada 1984. Setelah itu, ia mengabdikan diri bagi perkembangan pendidikan Islam di tanah air hingga akhir hayatnya. Menteri agama lima babak ini wafat tanggal 19 Desember 1992 dalam usia 90 tahun.

Pada Jumat, 8 November 2019 menjelang peringatan Hari Pahlawan, Kiai Masjkur ditetapkan oleh Pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional. Gelar tersebut diberikan Presiden Joko Widodo sesuai dengan Keppres Nomor 120/TK/Tahun 2019 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Sebelumnya, pengusulan gelar pahlawan Kiai Masjkur dimulai pada Oktober 2017 yang diinisiasi oleh PCNU Kota Malang dan difasilitasi Pemkot Kota Malang, Jawa Timur dengan mengadakan seminar di Hotel Grand Palace Malang yang menghadirkan narasumber dari Kementerian Sosial RI dan pakar sejarah Agus Sunyoto.

Setelah seminar berlangsung PCNU Kota Malang dan Yayasan Sabililah membentuk Tim Pengusul Gelar Pahlawan dan disepakati Profesor Kasuwi Saiban sebagai ketua.

Setelah itu tim bekerja keras secara maraton dengan didukung oleh para akademisi dan peneliti dari enam perguruan tinggi besar di Malang yaitu Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas Islam Malang, Universitas Merdeka Malang, dan Universitas Islam Raden Rahmat Malang.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi