Tokoh

KH Masykur: Komandan Sabilillah dari Bumi Arema

Rab, 9 Maret 2016 | 10:02 WIB

Periode perjuangan yang menjadi bagian penting dalam narasi kemerdekaan Indonesia, adalah peristiwa Surabaya, November 1945. Perjuangan untuk mengawal kemerdekaan ini, menjadi catatan penting dalam sejarah bangsa, yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan Nasional. Akan tetapi, dalam narasi besar sejarah perjuangan bangsa, peran para kiai dan santri yang ikut berjuang mengomando perjuangan hanya sayup-sayup terdengar. Bagaimana kisahnya?
 
Pada kurun revolusi, salah satu nama penting dalam perjuangan kebangsaan yang perlu dicatat adalah Kiai Masykur. Bersama para kiai lain, Kiai Masykur menjadi komando laskar kiai, yakni Laskar Sabilillah. Dalam catatan militer dan perjuangan bangsa, Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah memiliki sumbangsih besar untuk mengawal kemerdekan Indonesia.  
 
Siapakah Kiai Masykur, pemimpin Laskar Sabilillah? Bagaimana sumbangsih dan pengabdiannya untuk perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia?  
 
Kiai Masykur lahir di Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Pada usia sembilan tahun, Masykur kecil diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci. Sekembali dari Makkah-Madinah, ia disekolahkan di Pondok Pesantren Bungkuk, pimpinan KH. Thahir. Kemudian, ia melanjutkan nyantri di Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Di pesantren ini, Masykur kecil mempelajari ilmu nahwu sharaf. Selang empat tahun kemudian, ia mengaji di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo untuk mendalami ilmu fiqh.
 
Setelah berpetualang di beberapa pesantren, Masykur muda kemudian mendekat ke Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari (1875-1947). Di pesantren Tebu Ireng, Jombang, ia belajar ilmu tafsir dan hadits. Setelah merampungkan mengaji di Tebu Ireng, Kiai Masykur kemudian melanjutkan tabarrukan ke pesantren Bangkalan, Madura, untuk mengaji Qiraat al-Qur'an kepada Syaichona Cholil.
 
Minat belajar Kiai Masykur tidak berhenti di tanah Madura. Setelah suntuk belajar di bawah asuhan Syaichona Cholil, Kiai Masykur kemudian meneruskan mengaji di pesantren Jamsaren Solo, Jawa Tengah. Selepas merampungkan mengaji di  Jamsaren, Kiai Masykur kemudian memantabkan kaki untuk mengabdi di tanah kelahirannya, di Singosari Malang. Di Singosari, Kiai Masykuri mendirikan madrasah bernama Mishbahul Wathan atau Pelita Tanah Air.
 
Kiai Masykur menikah pada 1923, dengan cucu KH. Tahir, gurunya di pesantren Bungkuk, Malang. Di usia 16 tahun pernikahan mereka, sang istri meninggal dan belum dikaruniai keturunan. Atas saran Kiai Khalil Genteng, Kiai Masykur kemudian menikahi adik istrinya, bernama Fatimah. Sejak saat itulah, pasangan dari keluarga pesantren inilah, kemudian bersama-sama mengabdi dan berjuang untuk syiar Islam.
 
Berorganisasi, Mengabdi pada Kiai
 
Karir organisasi Kiai Masykur dimulai sejak ia menetap di Singosari Malang. Meski, selama mengaji di pesantren bakat organisasinya sudah terasah, namun kepemimpinan dan pengabdiannya pada masyarakat dan agama tersemai ketika menggerakkan pendidikan di Singosari Malang. Kiai Masykur juga menjadi Ketua Nahdlatul Ulama Cabang Malang.
 
Kiai Masykur juga merupakan salah satu tokoh penting dalam jaringan paramiliter santri. Ia mengomando Laskar Sabilillah, yang merupakan titik jaringan pejuang pesantren dari level kiai dan pengasuh pesantren. Laskar Sabilillah, berkoordinasi dengan Laskar Hibzullah pimpinan Kiai Zainul Arifin (1909-1963) untuk berjuang menjemput kemerdekaan. Dalam catatan sejarah pesantren, peran Laskar Sabilillah dan Hizbullah sangat besar untuk menggerakkan semangat perjuangan kebangsaan. Ketika meletus perlawanan Arek Suroboyo pada November 1945, perjuangan Laskar Sabilillah dan Hizbullah mengobarkan semangat kaum santri. Terlebih, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
 
Kepemimpinan Kiai Masykur dalam menggerakkan Laskar Sabilillah menjadi catatan penting. Beliau juga dikenal dekat dengan kiai-kiai yang mendirikan Nahdlatul Ulama, semisal Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim dan beberapa kiai pesantren di penjuru Jawa. Kiai Masykur juga dekat Panglima Sudirman, ketika bersama-sama menggerakkan pemuda untuk berjuang pada periode revolusi kemerdekaan.
 
Laskar Sabilillah, Berjuang untuk Merdeka
Meski Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, akan tetapi pemerintah Hindia Belanda tidak rela bahwa negara Indonesia menyatakan kemerdekaan. Pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian disusul tentara berikutnya mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentu, situasi ini sangat mencekam, karena intimidasi, propaganda dan trik militer yang dilancarkan oleh tentara sekutu dilancarkan secara periodik. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang.
 
Akan tetapi, misi tentara Sekutu dalam AFNEI, ditunggangi kepentingan NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tentara NICA bertujuan untuk mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda, sebagai jajahan Hindia Belanda. Tentu saja, hal ini mengobarkan kemarahan penduduk Indonesia, terutama mereka yang berdiam di kawasan Jawa Timur. Para kiai pesantren yang selama ini berjuang untuk kemerdekaan, merapatkan barisan. Di antaranya, KH. Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Wahab Chasbullah (1888-1971), Kiai Mas Mansyur, Bung Tomo (1920-1981) serta pejuang nasiolis Roeslan Abdul Ghani (1914-2005), dan Dul Arnowo, seorang arek Suroboyo. Laskar Sabilillah di bawah komando Kiai Masykur segera merapatkan barisan, juga laskar Hizbullah pimpinan Kiai Zainul Arifin. Kiai Wahab Chasbullah mengonsolidasi barisan pemuda santri dalam Laskar Mujahidin (Bizawie, 2014).
 
Ketika menjelang pertemupuran 10 November 1945, barisan laskar dari Malang bergerak cepat menuju Surabaya. Pasukan dari Malang, terutama TKR Resimen 38 Kompi Sochifuddin dan Kompi III dengan kapten M. Bakri, bergerak bersama-sama penduduk yang berjuang dengan api semangat menyala. Laskar Hizbullah berangkat ke medan perang, di bawah komando KH. Nawawi Thohir dan Abbas Sato dengan jumlah 168 pasukan. Laskar Sabilillah dari Malang juga mengonsolidasi barisan. Para Kiai ikut berjuang di bawah pimpinan Panglima Divisi Untung Suropati, Jenderal Imam Soedjai (Dimyati, 2014: 50-52).
 
Pada pertempuran Surabaya, strategi militer digunakan oleh para komando laskar. Pertempuran terbagi dalam beberapa sektor. Daerah pertahanan Laskar Sabilillah berada di sektor tengah garis kedua, yang berada di depan Stasiun Gubeng dan Jalan Pemuda. Kawasan ini, dipertahankan oleh Laskar Sabilillah bersama Laskar Hizbullah dan TKR Malang.
 
Di tengah deru pertempuran di Surabaya, KH. Masykur dengan gigih mengomando barisan Laskar Hizbullah. Para laskar yang ikut berjuang pada perang Surabaya, bertekad bulat dengan niat: isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid). Api semangat para santri dan laskar-laskar pemuda inilah, yang kemudian membakar perjuangan rakyat di Surabaya hingga kemudian—atas izin Allah—berhasil mengalahkan tentara sekutu yang ingin merampas kemerdekaan negeri. Di panggung perjuangan rakyat inilah, Kiai Masykur mencatatkan pengabdiannya bersama para kiai-santri lainnya untuk mengawal kemerdekaan negeri.
 
Ketika Indonesia merdeka, Kiai Masykur termasuk salah satu dari sekian kader santri yang ikut membantu perjuangan di pemerintahan. Pada November 1947, Kiai diberi amanah oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Agama, pada akhir masa Kabinet Amir Syarifuddin ke-2. Pada Kabinet Hatta II, Kiai Masykur juga terpilih sebagai Menteri Agama. Pada 1949, ketika terbentuk Kabinet Peralihan, Kiai Masykur juga mendapat amanah sebagai Menteri Agama. Latar belakang pesantren, pejuang kemerdekaan, afiliasi Nahdlatul Ulama, serta kedekatan komunikasinya dengan beberapa pendiri bangsa dan kiai pesantren, menjadikan Kiai Masykur sangat layak berada di jajaran tertinggi dalam komando kebijakan negara tentang agama. Kemudian, pada Kabinet Ali Wongso Arifin, Kiai Masykur juga mengemban amanah sebagai Menteri Agama. Jelaslah, bahwa Kiai Masykur sangat legendaris sebagai Menteri Agama, yang menjabat selama empat kali periode kabinet.
 
Ketika menjadi Menteri Agama, salah satu prestasi penting yang menjadi catatan sejarah adalah prakarsanya atas Konferensi Ulama yang diadakan di Cipanas, Jawa Barat, pada 1954. Pada waktu, para kiai menetapkan Soekarno dengan gelar: "Waliyyul amri dlaluri bis-syaukah (pemegang pemerintah dalam keadaan darurat dengan kekuasaan penuh). Pada waktu itu, negara sedang dalam keadaan genting, karena terjadi perdebatan sengit dan pergolakan yang disulut oleh gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo. Para kiai dan ulama yang tergabung dalam barisan Nahdlatul Ulama, mendukung Soekarno—meski dengan status pemimpin darurat—agar kepemimpinan negara tidak oleng.
 
Pada tahun 1952, Kiai Masykur juga terpilih sebagai Ketua Dewan Presidium Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ia kemudian ditetapkan sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama. Dalam menggerakkan organisasi PBNU, Kiai Masykur juga menjadi salah satu tokoh pengawal lahirnya Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia).  Bahkan, di bawah komando Kiai Masykur, Sarbumusi melakukan lawatan ke Uni Sovyet untuk kunjungan organisasi sekaligus melihat perkembangan Islam di negeri tersebut.
 
Kiai Masykur juga pernah menjadi anggota Syou Sangkai (DPRD), ketika masa pendudukan Jepang. Ia juga terpilih sebagai anggota PPKI dan Konstituante, yang berjasa penting untuk merumuskan dasar negara, bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya. Pada 1978-1983, Kiai Masykur ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPR RI.
 
Perjalanan panjangnya dalam berjuang untuk kemerdekaan dan pengabdiannya pada negara menjadi teladan bagi lintas generasi. Di usia senjanya, Kiai Masykur menjadi penggagas sekaligus pendiri Universitas Islam Malang (Unisma). Kiai Masykur menghembuskan nafas terakhirnya pada 19 Desember 1992.

 
Munawir Aziz, Dosen dan Peneliti, Wakil Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr PBNU. Saat ini, sedang merampungkan buku "Pahlawan Santri". Email: [email protected]

 
Referensi:
MA Dimyati. KH. Masjkur dalam Laskar Sabilillah (1945-1949). Thesis UIN Surabaya. 2014.
Subagiyo Ilham Notodijoyo. KH. Masjkur: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung. 1982.
Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik. Jakarta: Balitbang Kementrian Agama. 1998.
Zainul Milal Bizawie. Laskar Ulama-Santri & Resolusi JIhad. Jakarta: Pustaka Compass. 2014.