Tokoh

Muhammad Fudoli, dari Pesantren ke Cerpen

Sel, 17 Januari 2012 | 06:20 WIB

Muhammad Fudoli (1942-2007) : Salah seorang cerpenis terkemuka yang berasal dari kalangan santri. Lahir di Sumenep, 8 Juli 1942 dan meninggal di Surabaya pada 2007 dalam usia 65 tahun. Awalnya ia menggunakan nama M. Fudhaly atau M. Fudoli Zaini, tetapi kemudian ia lebih sering menggunakan nama ‘Muhammad Fudoli’ saja.

Fudoli menerima pendidikan keagamaan dari keluarganya yang merupakan keluarga pesantren. Seusai SMA ia sempat mengecap bangku Universitas Gadjah Mada Yogjakarta, tapi kemudian lebih memilih IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pada 1968, ia melanjutkan studi di Universitas Al Azhar, Kairo, atas beasiswa pemerintah Mesir.

<>Awalnya ia belajar syariah, lalu berganti meminati sejarah di Institute of Islamic Studies di kota yang sama, lantas belajar Sastra Arab Modern di Institute of Arabic Studies. Tetapi kemudian ia kembali belajar filsafat,  khususnya Filsafat Tasawuf, di Universitas Al Azhar sampai meraih gelar MA dan PhD dalam bidang tersebut.

Ia mulai aktif menulis awal tahun 1960an. Cerpen-cerpennya waktu itu disiarkan di majalah Sastra dan kemudian pada pertengahan 1960an di majalah Horison. Tak heran kalau H. B. Jassin memasukkannya dalam barisan Angkatan 66, seperti dengan simbolik disertakannya “Si Kakek dan Burung Dara”, salah satu cerpennya, dalam buku Angkatan ’66: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1976). Selain pada karya H. B. Jassin di atas, beberapa karyanya juga telah masuk ke sejumlah antologi cerpen bergengsi, di antaranya cerpen “Sabir dan Sepeda” yang masuk dalam Laut Biru Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977) yang diredaksi oleh Ajip Rosidi. Sedangkan Satyagraha Hoerip memuat pula cerpennya yang berjudul “Potret Manusia” dalam Cerita Pendek Indonesia III (Jakarta: Gramedia, 1986).

Menurut Satyagraha Hoerip, “...Fudoli terhitung seorang di antara lima sastrawan Indonesia yang paling produktif, istimewa di bidang cerita pendek.”

Kumpulan cerpen dan bukunya yang telah diterbitkan adalah Lagu dari Jalanan (Balai Pustaka, Jakarta, 1982), Potret Manusia (Balai Pustaka, Jakarta, 1983), Arafah (Pustaka, Bandung, 1985), Kota Kelahiran (Balai Pustaka, Jakarta, 1985), Batu-batu Setan (Pustaka Firdaus, Jakarta 1994), Sepintas Sastra Sufi (kumpulan esai, Risalah Gusti, 2000), dan Rindu Ladang Padang Ilalang (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002). Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan Belanda.

Sebagai pengarang, ia telah beroleh banyak penghargaan. Cerpennya “Kemarau” masuk sebagai pemenang Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas Radio Wereldomroep, Belanda pada tahun 1975. Bersama 14 cerpen lain, cerpen itu kemudian dihimpun dan diterbitkan dalam buku Dari Jodoh sampai Supiyah (Jakarta: Djambatan, 1976).

Cerpennya yang lain, “Sisifus” meraih Hadiah Hiburan dalam Sayembara Cerpen Horison 1977/1978. Sedangkan antologi cerpennya Kota Kelahiran mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai karya fiksi terbaik tahun 1985 dan cerpen “Suminten” mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, 1999.

Fudoli memang tidak menawarkan bentuk baru dalam penulisan cerpen. Cerpennya sederhana, kurang memiliki tanjakan dramatik, dan terasa datar. Tetapi, yang penting dicatat, ia adalah satu dari sedikit pengarang yang mengetengahkan kehidupan orang-orang dengan latar belakang budaya santri di dalam cerpen-cerpennya.

Ia tentu tidak mengalihkan dengan verbal begitu saja latar belakang kehidupan keagamaan santri itu tetapi dengan intens mengolah problematikanya, terutama dari segi kemanusiaannya. Dengan ini pula ia menjadi penangkis tuduhan banyak pengamat bahwa pengarang Indonesia jarang menghadirkan orang-orang kecil dalam karya-karya mereka.

Tokoh-tokoh Fudoli adalah orang-orang kecil yang tidak memiliki daya di hadapan mesin-mesin raksasa politik, ekonomi, dan kebudayaan, meski ada kritik juga, ia kurang menggarap secara mendalam karakter tokoh-tokohnya. Statusnya sebagai santri tak menghalanginya untuk menggarap orang-orang kecil yang dari segi keagamaan formal selama ini disisihkan dan dihukum kotor seperti para perempuan malam atau orang yang bunuh diri.

Selain itu, Fudoli juga merupakan salah seorang cerpenis Indonesia yang mengangkat latar belakang luar negeri ke dalam cerpen-cerpennya. Hal ini tergambar dalam sejumlah cerpen dalam kumpulannya, Potret Manusia, yang semuanya berlatarkan kota Kairo. Dengan teliti dan cermat, serta dengan perspektif kemanusiaannya, ia mengamati kehidupan orang-orang di sekitarnya, mulai tukang cukur, penjual buah, mahasiswa asing, nyonya kaya, polisi, dan lain-lain. Kepedulian dan perhatiannya terhadap lingkungan sekitar sangat jelas, meskipun ia tengah berada di negeri orang.

Akhirnya, penting pula dicatat karakter cerpen-cerpennya yang bersifat religius. Religius di sini, bukanlah suatu penghadiran narasi yang bersifat didaktis dan mengubah karya seni (cerpen) menjadi media penyampaian khotbah agama.

Dengan taktis dan cerdas, ia menggunakan berbagai metafora dan personifikasi, seperti yang cukup dikenal di dalam wacana sufi, untuk memasukkan inspirasi dan aspirasi keagamaan itu secara halus. Ini juga alasan, mengapa penyair dan pengamat sastra Abdul Hadi WM, memuji sejumlah cerpennya sebagai cerpen yang menghadirkan kisah sufistik yang unik dan segar.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa cerpen-cerpennya mengandung sepuluh pandangan sufistik: yaitu jamal-kamal, fana’-baqa’, ru’yah (pandangan terhadap Tuhan), ketidakkekalan dunia, tidak ada kesia-siaan dalam hidup, taubat, wara’, zuhud, tawakkal, dan ridho. Tak heran karena itu, Abdul Hadi WM bahkan menempatkannya sebagai pionir sastrawan yang mengangkat tema-tema sufistik pada tahun 1970an.
 
Sepulang dari Kairo tahun 1986, ia mencurahkan waktunya mengajar filsafat dan sejarah kebudayaan Islam dan di program Pasca Sarjana di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Selain itu, ia juga mengelola pesantren di kota kelahirannya, Sumenep, Madura. Muhammad Fudoli, dalam banyak hal, bisa disebut sebagai inspirator dari maraknya kehadiran para penulis santri belakangan ini. (Hairus Salim HS)