Tokoh

Perjalanan Syekh Yusuf al-Makassari, dari Sulawesi Selatan hingga Afrika Selatan

Sel, 23 Mei 2023 | 21:45 WIB

Perjalanan Syekh Yusuf al-Makassari, dari Sulawesi Selatan hingga Afrika Selatan

Makam Syekh Yusuf al-Makassari di Sulawesi Selatan. (Foto: Dok. istimewa)

Sudah 324 tahun dalam perhitungan Masehi atau 333 tahun dalam hitungan Hijriah, Syekh Yusuf al-Makassari wafat di bumi nun jauh dari tanah kelahirannya. Ulama yang memegang sanad sejumlah tarekat ini wafat di Afrika Selatan pada 22 Mei 1699 M atau bertepatan dengan 22 Dzulqa’dah 1111 H sebagaimana dicatat Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (2018) mengutip de Haan dalam Priangan III.


Di sana, ia menjadi salah seorang yang diasingkan karena keteguhannya memegang prinsip untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme yang dilakukan Belanda. Disebutkan Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015), Syekh Yusuf dikenal sebagai mujahid penentang Belanda, selain penyebar tarekat Khalwatiyah.


Namanya harum mewangi di tanah pengasingannya. Kuburnya ramai diziarahi oleh masyarakat Muslim. Bahkan, komunitas Muslim di sana rutin menggelar Kramat Festival sebagai wahana untuk mengenang sosok ulama yang amat dihormati oleh mereka.

 

Dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri Indonesia, Komunitas Cape Malay sebagai kelompok masyarakat Muslim di Cape Town dan sekitarnya merupakan masyarakat keturunan orang Indonesia yang tiba di sana ratusan tahun lalu. Hal ini tampak dari sejumlah kata yang digunakan di sana, seperti puasa, lebaran, terima kasih, dan lainnya.


Tiba di Tanjung Harapan

Syekh Yusuf tiba di Tanjung Harapan, Afrika Selatan pada tahun 1694, tepatnya pada tanggal 2 April. Pengasingan ini dilakukan karena sosoknya masih membawa pengaruh besar bagi perjuangan masyarakat Indonesia meskipun keberadaannya di Sri Lanka. Pasalnya, sejumlah jamaah haji dan Muslim pedagang singgah ke negeri tersebut dan menemuinya.

 

Kemudian, mereka membawa pulang sejumlah karya dari ulama kelahiran Makassar, 8 Syawal 1036 H atau bertepatan 3 Juli 1626 M itu. Ada pula karya-karya ulama Nusantara yang dibawa ke tanah tersebut, seperti karyanya Syekh Nuruddin al-Raniri dan Syekh Abdur Rauf al-Sinkili.


Tak pelak, pengasingannya di Sri Lanka itu tidak membuatnya putus kontak dengan jejaringnya. Bahkan, ia juga berhubungan dengan beberapa ulama India, seperti Sidi Matilaya, Abu al-Ma’ani Ibrahim Minhan, dan Abd al-Shiddiq bin Muhammad Shadiq. Karenanya, Belanda mengambil sikap untuk kembali menjauhkan sosok ulama penting itu ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Harapannya, Syekh Yusuf tidak dapat lagi berkontak dengan jejaringnya di tanah jajahan Belanda, Nusantara.


Di usianya yang sudah menginjak 68 tahun, Syekh Yusuf Makassar dipaksa untuk kembali berlayar dengan menaiki kapan de Voetbong. Dari Sri Lanka, ia dikirim sebagai pengasingan bersama 49 pengikutnya di Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Ia bersama rombongannya itu kemudian dibawa oleh penguasa Belanda ke Zandvliet, sebuah desa pertanian di mulut Sungai Eerste. Wilayah itu kini juga dikenal sebagai Macassar.


Keberadaannya sebagai tokoh dengan segala keilmuan dan haibahnya sebagai ulama, sosoknya tak bisa redup. Ia menjadi titik sentral bagi banyak orang Nusantara yang berada di sana. Penguasa Belanda tak berkutik untuk memisahkannya dengan para pengikutnya. Bahkan, banyak yang mengikrarkan syahadat di hadapan Syekh Yusuf mengingat upayanya bersama para pengikutnya untuk terus memperkuat keimanan dan keislaman mereka di tanah pengasingan itu dengan menggelar berbagai kegiatan ibadah secara diam-diam.


Syekh Yusuf sempat tinggal di Banten beberapa waktu dan memberikan pengajaran kepada putra mahkota di sana, yaitu Sultan Abun Nasr Abdul Qahhar (Sultan Haji). Dari sinilah, pada tahun 1683, ia kemudian diasingkan ke Sri Lanka, tepatnya di Ceylon. Hal ini karena ia memimpin gerilya yang terdiri dari kebanyakan orang Makassar setelah melihat VOC turut campur atas nama muridnya, Sultan Haji. Sebab, Syekh Yusuf sendiri lebih memihak kepada ayah muridnya itu, yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Ia dan pasukannya tertawan setelah terus dikejar pasukan Belanda di daerah pegunungan di Jawa Barat. (Bruinessen, 2015).


Syekh Yusuf merupakan salah seorang murid dari Syekh Ibrahim al-Kurani, ulama kenamaan di Madinah yang juga gurunya Syekh Abdur Rauf al-Sinkili. Di Arab sana, dua dekade ia habiskan untuk mengenyam studi kepada sejumlah ulama, selain juga mengambil pengetahuan dari persinggahannya di beberapa wilayah.


Namun, sepulangnya dari tanah suci itu, ia tak kembali ke tanah airnya, Makassar. Martin (2015) menduga hal tersebut karena tanah kelahirannya itu telah ditundukkan Kerajaan Bugis Bone yang berkooperasi dengan Belanda pada tahun 1669. Karenanya, Syekh Yusuf memilih singgah dan tinggal di Banten, sebelum kemudian ia sendiri diasingkan dua kali, ke Ceylon, Sri Lanka dan ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.


Meskipun sempat dimakamkan di tanah pengasingannya itu, tetapi jasadnya diminta dipulangkan ke tanah kelahirannya, Makassar pada tahun 1705 M. Tak pelak, kubur ulama ini ada dua, yakni di Makassar, Sulawesi Selatan dan di Macassar, Afrika Selatan. Untuk Syekh Yusuf al-Makassari, al-Fatihah.

 

Syakir NF, alumnus Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)