Tokoh

Sosok Mbah Benu dan Pengalaman Spiritualnya yang Kontroversial

Sel, 9 April 2024 | 14:30 WIB

Sosok Mbah Benu dan Pengalaman Spiritualnya yang Kontroversial

Mbah Benu (kiri) dengan Ketua LBM PWNU DIY, KH Anis Mashduqi, Ahad (7/4/2024) di kediaman Mbah Benu di Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. (Foto: dokumen pribadi)

Jakarta, NU Online

Mbah Benu yang bernama lengkap Raden Ibnu Hajar Sholeh Pranolo (83) mendadak jadi perbincangan banyak orang setelah video pengakuannya yang sudah berkomunikasi langsung dengan Allah viral dalam penentuan 1 Syawal. Istilah metafor (majazi) yang kerap digunakan Mbah Benu saat berkomunikasi dengan Allah adalah 'telepon Allah' dan 'menelepon Allah'. 


Seringnya istilah 'telepon Allah' yang diucapkan Mbah Benu diungkapkan Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DI Yogyakarta, KH Anis Mashduqi, saat ia bersama beberapa pengurus PWNU DIY bertabayun ke kediaman Mbah Benu di Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY pada Ahad (7/4/2024).


Salah satu yang ditabayunkan oleh PWNU DIY kepada Mbah Benu adalah soal penetapan 1 Syawal 1445. Mengaku tidak memakai perhitungan apa pun dan hanya berkomunikasi langsung dengan Allah, Mbah Benu dan jamaahnya di Masjid Aolia mengadakan shalat Idul Fitri pada 5 April 2024, selisih lima hari dari prediksi lebaran yang akan jatuh pada 10 April 2024.


Kiai Anis Mashduqi dan rombongan PWNU DIY sangat menghormati keyakinan Mbah Benu. Namun, kata Kiai Anis, keyakinan Mbah Benu dalam penentuan Idul Fitri diharapkan PWNU DIY agar untuk dirinya sendiri, tidak mengajak masyarakat.


Merespons harapan dari PWNU DIY tersebut, Mbah Benu mengaku ingin menelepon Allah terlebih dahulu.


"Sebentar, saya telepon Gusti Allah dulu," ungkap Kiai Anis menirukan perkataan Mbah Benu.


Sesaat setelah itu, Mbah Benu hening dan menundukkan kepala seperti sedang berkomunikasi secara batin.


"Allah mengatakan, turuti saja orang-orang yang datang itu (tamu pengurus PWNU DIY)," ucap Mbah Benu mengungkapkan hasil komunikasinya kepada para pengurus PWNU DIY.


Sosok Mbah Benu

Di balik pengalaman spiritual dan batiniahnya yang memunculkan kontroversi, Kiai Anis Mashduqi mengungkapkan bahwa Mbah Benu sosok yang ramah. Lelaki sepuh kelahiran Purwokerto, 28 Desember 1942 dan besar di Purworejo ini terbuka dengan siapa pun untuk bertukar pikiran, sehingga para pengurus PWNU DIY diterima dengan baik dan hangat.


"Mbah Benu orangnya sangat terbuka, ramah, suka guyon, cukup hangat menyambut pengurus PWNU dan mau mendengarkan apa yang kita sampaikan," ungkap Kiai Anis Mashduqi kepada NU Onine, Selasa (9/4/2024).


Kiai Anis justru mengatakan bahwa dirinya dan para pengurus PWNU DIY merasa tidak enak karena jauh lebih muda dibanding Mbah Benu. Lebih muda dalam arti tidak hanya umurnya, tetapi juga peran, pengabdian kepada masyarakat, dan dakwahnya.


"Mbah Benu sosok yang dituakan di sana dan menjadi tokoh yang sangat mengakar. Bahkan untuk lingkup Yogya dan luar Yogya karena jamaahnya ada yang dari luar Yogya," terangnya.


Pengalaman spiritual Mbah Benu

Kiai Anis Mashduqi menegaskan, Mbah Benu merupakan tokoh Ahlussunnah wal Jamaah yang memiliki banyak jamaah. Ia berkediaman sekitar 100 meter dari Masjid Aolia yang digunakan Mbah Benu dan jamaahnya untuk beribadah sehari-hari. Termasuk menyelanggarakan pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qadir Jailani setiap tanggal 11 bulan hijriah sebagai sarana kontak dengan Allah.


Dalam obrolan hangat dengan para pengurus PWNU DIY, Mbah Benu tidak sungkan-sungkan mengungkapkan soal cara ia mendapatkan pengalaman spiritual dan batiniah pertama sebagai seorang Salik (penempuh jalan spiritual).


Kiai Anis Mashduqi yang mendengarkan dengan saksama cerita Mbah Benu menjelaskan, pengalaman spiritual Mbah Benu didapatkan pada 1 Januari 2021, pukul 3 dini hari. Mbah Benu mengatakan, itu adalah pengalaman wushul-nya, tahapan wushul ilallah (sampai kepada Allah).


"Dalam proses spiritualnya itu, Mbah Benu bertemu dengan Syekh Ibrahim as-Samarqandi secara batin dan spiritual, dia dianggap oleh Syekh Ibrahim As-Samarqandi sebagai murid yang keras kepala. Akhirnya menurut Mbah Benu, gurunya spiritualnya itu menyerahkan dirinya kepada Allah, dan itulah yang dipahami Mbah Benu sebagai wushul," ungkap Kiai Anis.


"Dia memiliki keyakinan banyak, karena mendasarkan pada pengalaman spiritualnya. Telepon Allah sebetulnya sebagai metafor," imbuh Kiai Anis.


Namun Kiai Anis merasa khawatir, karena sesuatu yang terjadi pada proses spiritual Mbah Benu hanyalah bisikan setan. Menurutnya, itulah cara setan untuk mengelabui seorang Salik. Atas nama wushul kepada Allah tetapi justru mengajak ke perbuatan yang menyimpang dari syariat.


"Jika menyimpang dari syariat kemungkinan bisikan setan. Ini berangkat dari kisah pengalaman Syekh Abdul Qadir Jailani yang pernah mendapat bisikan spiritual bahwa yang diharamkan sekarang dihalalkan baginya. Belakangan Syekh Abdul Qadir mengetahui, itu hanya bisikan setan," jelas Kiai Anis.


Menyampaikan persoalan fiqih

Dalam proses tabayun dengan Mbah Benu, pengurus PWNU DIY juga mengingatkan persoalan fiqih. Adapun untuk masalah Idul Fitri, kata Kiai Anis, sudah jelas di dalam Al-Qur'an dan hadits.


"Mbah Benu terbuka, beliau mengatakan semua dikembalikan kepada Allah dan Rasulullah. Nah itu yang kita jadikan sebagai pintu masuk menyampaikan dalil-dalil. Tapi Mbah Benu tidak banyak berkomentar dari dalil-dalil yang kita sampaikan," jelasnya.


Perkataan Mbah Benu yang menyerahkan semuanya kepada Allah dimanfaatkan pengurus PWNU DIY untuk kembali menegaskan bahwa keyakinan spiritual Mbah Benu tidak digunakan untuk mengajak masyarakat, tapi hendaknya untuk dirinya sendiri.


"Karena hal ini bisa menimbulkan pergunjingan dan akan timbul masalah hukum. Sebab bisa dianggap menista agama menurut Pasal 165 dan 165a. Itu kita sampaikan juga ke Mbah Benu yang didampingi keluarga dan beberapa perwakilan jamaahnya," terang Kiai Anis Mashduqi.


Merespons hal itu, Mbah Benu selama ini tidak mengajak masyarakat soal keyakinannya itu. Tentang Idul Fitri, ungkap Mbah Benu, mereka bertanya dan mereka ikut.


"Karena saya shalat masyarakat ikut, saya itu kalau sama negara paling takut, jangankan sama negara, sama pak RT aja takut," kata Kiai Anis menirukan perkataan Mbah Benu. 


Mbah Benu juga menekankan pentingnya menjaga NKRI, mengikuti pemerintah, setia terhadap negara dan hukum.


Ke depannya, kata Kiai Anis, pengurus PWNU DIY akan terus berdiskusi secara intens agar masyarakat tidak terjebak lebih jauh dari pengalaman batiniah yang keliru.


Dedikasi Mbah Benu

Mbah Benu, kata Kiai Anis Mashduqi, merupakan salah satu Mustasyar PCNU Gunungkidul. Ia cukup fasih berbahasa Inggris karena pernah kuliah di Fakultas Kedokteran UGM sebelum akhirnya berhenti di semester akhir karena ia tidak ingin menikmati uang dari orang sakit, menderita, atau meninggal dunia. Dedikasi dakwahnya diperhitungkan masyarakat Giriharjo, Panggang.


Menurut penjelasan Kiai Anis, Mbah Benu memulai dakwah sejak sebelum Gunungkidul seramai sekarang. Ia dakwah dari pelosok ke pelosok, dari masjid ke masjid dengan kondisi medan yang bertebing dan menanjak. Ditambah kondisi jalan rusak dan belum ada penerangan lampu.


Masyarakat, khususnya di media sosial (warganet),menurut Kiai Anis perlu mempertimbangkan kontribusi, dedikasi, komitmen dakwah luar biasa dari Mbah Benu.


"Mulai dari jalan kaki, naik motor, daerah terjal naik turun tebing, harus kita tonjolkan sisi positifnya. Semua manusia punya salah dan pernah melakukan kesalahan, termasuk Mbah Benu. Netizen tidak perlu gaduh, kesalahan yang ada perlu diluruskan. Beliau ini terbuka dan tidak sengaja ingin viral dan terkenal," jelas Kiai Anis.


Dijadikan kajian tesis

Mbah Benu merupakan tokoh penyebaran Islam di kawasan Pantai Selatan, Gunungkidul. Pemikiran dan upaya Mbah Benu menyebarkan Islam dituangkan dalam tesis berjudul "Dekonstruksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH Raden Ibnu Hajar Shaleh Pranolo 1942-Sekarang".


Tesis tersebut ditulis Mohammad Ulyan pada 2017, mahasiswa Magister Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto (kini UIN Prof KH Saifuddin Zuhri). Dalam tesisnya itu, Mohammad Ulyan membedah strategi Mbah Benu menggunakan pendekatan budaya untuk mendakwahkan Islam dengan mengubah narasi tentang Ratu Pantai Selatan agar lebih Islami.


Ulyan mengungkap, Mbah Benu belajar Islam langsung dari ayahnya, Kiai Sholeh bin KH Abdul Ghani bin Kiai Yunus. Kiai Sholeh mengenyam pendidikan di berbagai pesantren besar di Jawa seperti Krapyak, Termas, Lirboyo. Kiai Sholeh juga salah satu murid Mbah Kholil Bangkalan, Madura.


Ulyan juga menjelaskan, Mbah Benu datang ke Gunungkidul untuk mengikuti istrinya yang menjadi Bidan di Kecamatan Panggang. Mbah Benu dan istrinya menetap di Giriharjo mulai 27 Juli 1972 dan sejak itu menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Gunungkidul.