Warta

Effendy Choirie: Dana BLBI Kembali ke Rakyat Hanya Mimpi

NU Online  ·  Jumat, 22 Februari 2008 | 03:38 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa di DPR RI, Effendy Choirie bersama sejumlah pakar dalam pernyataannya, di Jakarta, Kamis (21/2), mengatakan, jika berharap dana BLBI maupun KLBI kembali ke rakyat, itu sama saja dengan mimpi yang sulit terealisasi.

Effendy Choirie bersama tiga pakar dari latar belakang berbeda, yakni Dr Faisal Basri (ekonom), Dr Lalu Misbah Hidayat serta Dr Firman Putrasidin (hukum tatanegara), membicarakan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) maupun Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) di Gedung DPR/MPR RI Senayan, Jakarta.  &am<>p;nbsp;     

Mereka berempat terkesan sepakat, dana BLBI dan KLBI kira-kira kini tinggal dua triliun rupiah, bukan Rp650 triliun. Karena itu mereka mengatakan, jika berharap uang BLBI itu kembali pada rakyat, itu sama dengan mimpi.

"Tetapi, untuk kepastian penyelesaian dari kasus BLBI itu harus melalui proses hukum. Khususnya bagi obligor yang tidak kooperatif," tegas Effendy Choirie.

Faisal Basri menambahkan, untuk obligor yang tidak kooperatif, mestinya diberi ’deadline’ sampai akhir Maret ini, bukan akhir 2008. "Dan semua itu harus diselesaikan secara hukum, karena hukum yang bisa memberi kepastian," tandas Faisal Basri.

Sementara itu, menyangkut ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa (19/2) lalu, dalam sidang paripurna interpelasi BLBI di Gedung DPR, menurut Faisal Basri, karena yang bersangkutan sesungguhnya terlibat langsung dalam pengeluaran Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang ’Release and Discharge’ (R & D) atau pemberian maaf bersyarat bagi obligor BLBI tersebut.

"Karena itu, jika Presiden Yudhoyono mengatakan hanya melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya dan kebagian cuci piring, ini tidak bisa dimengerti. Sebagai presiden, mestinya dia wajib bertanggungjawab terhadap semua masalah yang belum terselesaikan oleh pemrintah sebelumnya," tandas Faisal Basri lalu.

Jadi, demikian Faisal Basri, Presiden Yudhoyono tidak bisa menyalahkan pendahulu-pendahulunya (Megawati Soekarnoputri, KH Abdurrahman Wahid maupun Prof Dr Ing BJ Habibie).

"Tapi kalau menyatakan seperti itu (kebagian cuci piring), itu berarti tidak mampu menyelesaikan persoalan bangsa," ungkap Faisal Basri lagi.

Ia melanjutkan, kalau pun ditelusuri pencairan dana BLBI itu, dari prosesnya sejak awal sudah cacat hukum. "Sementara yang memproses, tidak lain adalah pemerintah dan bank-bank pemerintah yang dibantu. Maka sesungguhnya pemerintah yang bertanggungjawab penuh atas BLBI ini," tambahnya.

Karena itu, menurut Faisal Basri, dirinya dkk mendukung DPR RI untuk terus mendorong pemerintah menyelesaikan kasus BLBI ini, meski nantinya uang Negara yang kembali ke rakyat itu hanya satu triliun.

"Yang pasti, yang menjadi masalah sampai saat ini para obligor yang tidak kooperatif, dan semua itu harus diselesaikan melalui pengadilan, karena pengadilan yang bisa menutup kasus BLBI itu. Bukan keputusan politik," tegasnya.

Artinya, demikian Faisal Basri, setidak-tidaknya dengan penyelesaian BLBI, ini merupakan pembelajaran bagi pemerintah dan pihak perbankan negeri maupun swasta, agar kapok untuk tidak sembarangan menggunakan uang Negara.

Sementara itu, Firman Putrasidin, berpendapat, Presiden Yudhoyono berkewajiban hadir ke DPR RI, karena itu perintah konstitusi. "Apalagi pada paripurna yang lalu, ternyata jawaban atas interpelasi BLBI itu hanya dilakukan oleh menteri dan ditandangani oleh menteri, bukan presiden. Maka hal itu sama dengan melecehkan institusi DPR RI. Bahwa esensi interpelasi itu yang dibutuhkan adalah jawaban presiden, bukan menteri," tegas Firman Putrasidin. (ant/mad)