Warta

Film Indonesia Harus Berpijak pada Sejarah dan Tradisi

NU Online  ·  Jumat, 9 Mei 2008 | 22:14 WIB

Jakarta, NU Online
Sebagian besar film dan karya sinematografi lainnya di Indonesia telah merusak pemahaman sejarah generasi muda saat ini. Tak hanya itu. Tak sedikit dari film-film besutan produser dalam negeri justru tidak memberi kesempatan berimajinasi bagi generasi muda tentang masa lalu bangsanya.

Pendapat tersebut dikemukakan anggota Lembaga Seniman dan Budayawan Indonesia (Lesbumi) Hesti Prabowo dalam perbincangan dengan NU Online di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (9/5) kemarin.<>

“Imajinasi itu dipangkas oleh visualisasi yang sembarangan dan menyesatkan. Ini mengakibatkan pemuda tidak mengenal sejarah. Mestinya para produser dan sutradara berkewajiban mengenalkan sejarah. Film tetap harus berpijak pada sejarah dan tradisi,” terang pria yang biasa disapa Wowok itu.

Ia mencontohkan sebuah sinetron pada salah satu stasiun televisi yang menurutnya justru menyesatkan generasi saat ini. “Masa’ ada Sawonggaling yang hidup di abad 17 memakai celana jeans dan kaos oblong serta naik mobil Mercy dan tinggal di rumah berasitektur Spanyol. Ini jelas cermin dari kemalasan dan kekikiran produser film,” urainya.

Kondisi perfilman dan persinetronan di Tanah Air, menurutnya, yang tengah mengalami kemerosotan, tidak hanya dari segi tema, tetapi juga di sisi teknik. Mestinya, ujar dia, perkembangan teknologi yang begitu pesat diikuti dengan kualitas perfilman atau persinetronan.

“Harusnya pembuatan filmnya juga semakin canggih. Tetapi, yang terjadi sebaliknya, semakin merosot. Ini tidak lain akibat para produser yang rakus dan sekaligus kikir,” pungkas Wowok.

“Para produser itu rakus sehingga maunya untung besar, tetapi sekaligus kikir tidak mau keluar modal, sehingga tidak mau sewa peralatan, sewa kostum yang relevan. Akibatnya, secara kesejarahan terjadi anakronisme dalam sinetron Indonesia,” imbuh Wowok yang juga Ketua Yayasan Komunitas Sastra Indonesia.

Wowok menuduh para produser dan sutradara yanga rakus dan kikir itu sebagai penyebab  kehancuran film nasional. Di tengah gelora peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini, kata dia, seharusnya mereka sadar, kalau tidak silahkan berhenti, atau pemerintah menertibkan mereka. Indonesia harus dibangkitkan dari semua sektor, termasuk sektor kebudayaan termasuk dalam filmnya. Karena itu bisa mencitrakan bangsa yang besar ini.

Sebagus apa pun dan semaju apa pun film Indonesia harus berpijak pada moral atau etika. Tidak benar kalau ada orang yang menganggap seni harus bebas moral. Gagasan seni terpisah dari moral itu gagasan usang sisa-sisa pemikiran Manifesto Kebudayaan yang tidak boleh ada, karena bertentanagan dengan tradisi bangsa ini dan bertentangan dengan agama.

Tidak benar seni yang baik adalah seni yang bebas nilai. Justru seni yang baik adalah seni yang penuh dengan etika, maka di situlah muncul keindahan. (mdz)