Gamelan Sekaten, Sarana Penyebaran Agama Islam Sunan Kalijaga
NU Online · Ahad, 1 April 2007 | 10:11 WIB
Jogja, NU Online
Tradisi sekatren akrab ditelinga kita sebagai bagian dari perayaan maulud Nabi Muhammad yang diselenggarakan di Jogja. Konon, tradisi Sekaten diawali saat zaman kerajaan Islam Demak, dalam upaya penyebaran agama Islam, salah satu Wali Songo yaitu Sanan Kalijaga, menciptakan perangkat gamelan sebagai sarana untuk menarik perhatian warga kerajaan itu sehingga mereka mau berkumpul.
Gamelan itu dibunyikan dengan gending-gending atau lagu-lagu yang diciptakan Sunan Kalijaga sendiri. Setelah rakyat kerajaan itu berkumpul, kemudian Kanjeng Sunan Kalijaga mengajarkan tentang agama Islam, dan mengajak mereka untuk membaca kalimat Syahadat sebagai syarat menjadi pemeluk agama Islam.
<>Kemudian Sunan Kalijaga memberikan nama "Kyai Sekati" atau "Sekaten" dari asal kata syahadatain yaitu saat Sunan Kalijaga menuntun bacaan Syahadat bagi rakyat yang masuk menjadi Islam saat itu. Upacara itu kemudian dijadikan tradisi oleh kerajaan-kerajaan Islam di Jawa hingga kini.
Upacara Sekaten yang menjadi tradisi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini waktunya selama tujuh hari dari tanggal 5 sampai 11 pada bulan Mulud/Rabiulawal untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW .
Tahap upacara dalam sekaten dimulai dengan dibunyikan pertama kali gamelan pusaka sebagai pertanda dimulainya upacara sekaten dan diselenggarakan upacara menyebar udhik-udhik (uang logam) dan gamelan dipindahkan dari dalam kraton ke halaman Masjid Gedhe.  Â
Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai raja dan pengiringnya hadir di Masjid Gedhe untuk mendengarkan pembacaan riwayat Maulid Nabi Muhammad SAW dan diselenggarakan upacara udhik-udhik di pagongan dan serambi Masjid Gedhe dan saat malam terakhir gamelan dibawa dari halaman Masjid Gedhe ke dalam keraton untuk menandai ditutupnya upacara sekaten.
Dua perangkat gamelan Sekaten pusaka milik Kraton Ngayoyakarta Hadiningrat, masing-masing bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo, ditempatkan di "pagongan" kidul dan lor pelataran masjid Gedhe Kauman Alun-alun Utara Yogyakarta ditabuh oleh para "abdidalem" niyogo kraton.
Kecuali bertepatan pada Kamis malam atau malam Jumat yang menurut kepercayaan masyarakat Jawa, merupakan malam keramat, gemelan tersebut dibunyikan hingga malam menjelang peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulid Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu di pelataran Masjid Gedhe Kauman tampak banyak penjual nasih gurih, "endog abang" yaitu telor bebek/ayam yang diberi warna merah serta daun sirih. Sebagian masyarakat Yogyakarta hingga kini masih mempercayai jika mengunyah sirih saat gamelan itu ditabuh akan awet muda. Sedangkan makan nasi gurih dan endog abang akan memperoleh berkah dari Tuhan. (ant/kut)
Terpopuler
1
KH Thoifur Mawardi Purworejo Meninggal Dunia dalam Usia 70 tahun
2
Targetkan 45 Ribu Sekolah, Kemendikdasmen Gandeng Mitra Pendidikan Implementasi Pembelajaran Mendalam dan AI
3
Kuasa Hukum Rakyat Pati Mengaku Dianiaya hingga Disekap Berjam-jam di Kantor Bupati
4
Amalan Mengisi Rebo Wekasan, Mulai Mandi, Shalat, hingga Yasinan
5
Ramai Kritik Joget Pejabat, Ketua MPR Anggap Hal Normal
6
Pimpinan DPR Bantah Gaji Naik, tapi Dapat Berbagai Tunjangan Total hingga Rp70 Juta
Terkini
Lihat Semua