Warta

Hadapi Pertentangan, Umat Lebih Baik Tenang

NU Online  ·  Senin, 30 Juni 2008 | 05:13 WIB

Brebes, NU Online
Gejala pertentangan antar sesama umat Islam, janganlah menjadikan kita ikut terbawa arus. Sebagai umat tak perlu ikut-ikutan. Pasalnya, kita tidak mengetahui secara pasti persoalan yang menyebabkan pertentangan itu. Jadi, sebagai umat Islam khususnya Nahdliyin, cukup menjalankan peribadatan sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi dengan merujuk pada para ulama salaf jangan ulama kholaf.

“Sebagai umat, jangan ikut-ikut mencibir antara yang satu dengan lain. Yang terpenting kita bangun dan kedepankan silaturohmi untuk mencairkan segala persoalan,” ungkap KH Hasanudin dari Buntet Ciwaringin Cirebon, Jabar saat maidatukhasanah peresmian penggunaan Aula Pondok Pesantren Assalafiyah Luwung ragi Kec. Bulakamba Brebes Jateng Sabtu (28/6) malam.<>

Problema pertentangan pandangan dalam Islam, lanjut Kyai memang sudah tercatat dalam sejarah masa silam dengan terjadinya pertentangan antara Kholifah Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah Bin Abi Sofyan dan Amir bin Ash. “Dari pertentangan tersebut, pada intinya hanya salah paham yang
dibesar-besarkan sehingga menjadi peperangan dan centang perenang, padahal akar permasalahan tidak diketahui oleh umatnya,” cerita KH Hasan..

Mantan Kepala Kantor Depag Cirebon ini mengingatkan kepada hadirin bahwa kita dihadapkan
pada pilihan-pilihan sulit yang apabila bisa dijalankan akan mendatangkan kebahagiaan hakiki. Yakni : 1) Mengampuni orang, dikala kita masih dalam keadaan marah.2) Ahli Jariyah dikala sedang susah
maupun senang, 3) menghitung uang dengan kesaksian orang lain dan 4) Menasehati atasan.

Sementara KH Subkhan Ma'mun dalam kata pengantarnya menerangkan pembangunan Aula tersebut
atas dilatarbelakangi desakan para wali santri yang menghendaki sholat jamaah secara terus menerus selama lima waktu bersama dirinya selaku pengasuh Ponpes. Namun karena saat itu Masjid yang ada di kompleks pesantren milik Desa, maka pengimamannya digilir dengan
ulama-ulama desa setempat. Sehingga dirinya tidak bisa rutin. “Di Masjid, Saya mendapat giliran menjadi Imam setiap Sholat Dhuhur,” ucap Kyai Subekhan.

Dia merasa bahagia dengan selesainya pembangunan Aula yang diberi nama Addalail Al Khaerat itu.
Sebagai kudengannya (permintaannya) maka para santri harus sholat lima waktu secara berjamaah. “Bila sampai tiga waktu tidak ditepati, Saya tajir,” ungkapnya.

Aula yang berukuran 19 X 23 meter persegi itu, dibangun atas biaya pondok secara bertahap. “Alhamdulilah, hanya dalam waktu setahun rampung,” ungkap kyai tanpa mau menyebutkan berapa dana yang dikeluarkan.

Penggunaan Aula tersebut ditandai dengan pembacaan Al quran  30 juz oleh dua orang santri yang sudah hafidz dan pembacaan kitab Simthud Duroh yang dipimpin oleh Habib Hud Bin Yahya dari Ciwaringin Cirebon.

Meski dihadiri ribuan pengunjung tapi tak tampak hadir perwakilan dari pejabat pemerintah Kabupaten Brebes. Terlihat hanya orang tua/wali santri, Santriwan-santriwati, alumni santri, para ulama Kabupaten Brebes dan Tegal serta masyarakat desa Luwungragi. (was)