Warta PENGAJIAN FIKHUNNISA

Islam Izinkan Adopsi secara Tak Mutlak

Sel, 29 Juni 2010 | 09:28 WIB

Jakarta, NU Online
Adopsi atau pengangkatan anak dapat dipandang sebagai salah satu solusi dalam menjamin anak-anak yatim (biologis atau sosial) agar mendapatkan haknya dengan baik, namun demikian adopsi juga dapat melhairkan dampak seperti kejahatan anak.

Dari sudut pandang Islam, adopsi dapat melahirkan beberapa dampak terkait dengan pernikahan dan waris sehingga Islam memberikan beberapa tuntunan agar niat baik seseorang dalam melakukan adopsi dapat berdampak baik pula bagi orang tua angkat, anak angkat maupun lingkungannya.<>

Dalam masyarakat dijumpai ada dua jenis praktek adopsi, yaitu adopsi mutlak dan tidak mutlak. Adopsi mutlak adalah mengangkat sepenuhnya anak orang lain menjadi anak kandung dengan berbagai implikasi hukumnya. Dalam hal ini, anak dibenarkan mempunyai hak dan kewajiban persis, sebagaimana anak kandung.

Sementara itu adopsi tidak mutlak adalah mengangkat seseorang sebagai anak, namun dia tetap dianggap sebagai anak kandung orang tuanya sendiri sehingga secara hukum tidak sepenuhnya mempunya hak dan kewajiban sebagai anak kandung.

“Islam hanya mengizinkan adopsi secara tidak mutlak, mereka tidak boleh berduaan, tidak mendapat hak waris dan hal lain sebagaimana anak kandung,” kata Dr Nur Rofiah Bil Uzm dalam pengajian Fikhunnisa yang diselenggarakan di gedung PBNU, Selasa (29/6).

Dosen PTIQ ini menjelaskan dalam tradisi Arab sejak sebelum Muhammad diutus sebagai rasulullah, mereka mempraktekkan adopsi mutlak sehingga hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat sepenuhnya sama dengan anak dan orang tua kandung. Kemutlakan ini tercermin dengan penisbatan mereka pada ayah angkatnya, dipanggil dengan nama ayah angkat mereka dan nasabnya pun sesuai dengan nasab istrinya, mantan istri haram dikawini dan mendapat hak waris sebagaimana anak kandung sehingga sama sekali tak ada bedanya dengan anak kandung.

Rasulullah sendiri juga memiliki anak angkat, Zaid bin Haritsah, yang kemudian dinisbatkan dengan Zaid bin Muhammad. Kemudian turun ayat Al Ahzab ayat 37 yang menegaskan anak hasil adopsi tidak boleh disamakan dengan anak kandung. Ayat tersebut juga memerintahkan Rasululah menikahi Zainab bin Jahsyi, mantan istri anak angkatnya.

Ketika itu, seorang ayah angkat menikahi mantan istri anak angkatnya adalah sesuatu yang secara sosial merupakan sebuah aib yang sangat besar sehingga pernikahan tersebut melahirkan gunjingan hebat dikalangan masyarakat, bahkan hingga kini, peristiwa ini kerap dijadikan kritikan atas Rasululah oleh para pengingkarnya.

“Inilah bagian dari risiko seorang rasul yang bertugas menyampaikan kebenaran. Kadang beliau harus melakukan sesuatu yang mungkin beliau sendiri tidak menghendakinya demi menunjukkan sebuah tradisi, dalam hal ini adalah praktek adopsi mutlak, itu bertentangan dengan ajaran Islam,” katanya.

Hal ini untuk menunjukkkan Islam tidak melarang praktek adopsi, melaikan cara-cara pengadopsian yang mengandung manipulasi, misalnya adopsi dengan cara anak angkat dinasabkan dan dipanggil dengan nama ayah angkatnya sehingga mengandung kebohongan baik terhadap anak maupun masyarakat.

Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa “Barang siapa yang mengaku nasab selain pada ayah kandungnya sendiri, padahal ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka baginya haram masuk surga”

“Ini bisa terjadi karena biasanya yang diadopsi berasal dari kalangan tidak mampu dan yang mengadopsi orang terhormat, ada kemungkinan anak hasil adopsi menyembunyikan asal usul sebenarnya,” terang Nur Rofiah yang juga ketua Litbang Fatayat NU ini.

Selanjutnya, hubungan antara orang tua dan anak angkat bersifat saling tolong menolong dan melindungi, bisa jadi ketika masih kecil, orang tua lebih mampu, tetapi ketika anak sudah besar, maka ia bisa lebih mampu secara ekonomi sehingga anak angkat wajib menolong dan menjaga orang tua angkatnya. Ketika kondisi fisik orang tua sudah lemah, ia juga berkewajiban menjaga orang tua angkatnya karena ketika kondisi sudah tua, ia sangat rentan untuk disepelekan. (mkf)