Warta

Izzeldin Palestina Prihatin Bom Bunuh Diri Indonesia

Sel, 4 Oktober 2011 | 09:03 WIB

Jakarta, NU Online
Dr. Izzeldin Abuelaish, seorang aktivis kemanusiaan dan perdamaian asal Palestina menegaskan jika bom bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah. Meski diakui jika akar masalah aksi bom bunuh diri dan kekerasan itu adalah berangkat dari problem ketidakadilan, kemiskinan dan pupusnya harapan.

Demikian diungkapkannya menanggapi pertanyaan salah seorang peserta mengenai aksi bom bunuh diri atau terorisme di Indonesia yang marak beberapa tahun belakangan ini.

<>“Saya benci orang-orang yang melakukan bom bunuh diri”, kata Izzeldin yang lahir dan besar di jabalia Jalur Gaza Palestina ini, dalam diskusi berjudul “Masa Depan Perdamaian Palestina” yang diselenggarakan the Wahid Institute (WI) di Jakarta, Senin (3/10) yang dipandu langsung oleh Direktur The Wahid Institute (WI) Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid.  

Dokter muslim lulusan Universitas Harvard untuk bidang Kesehatan Publik itu menjelaskan jika konflik Israel Palestina bukanlah konflik agama.

“Walaupun ada upaya Israel untuk menjadikan konflik ini berbasis agama dengan meminta pengakuan atas Israel sebagai negara Yahudi, namun saya katakan pada mereka seharusnya mereka meminta sebuah negara dimana orang Yahudi dilindungi. Bukan negara Yahudi. Sedangkan, Palestina sendiri penduduknya cukup beragam, ada yang Muslim, Kristen, Druze, Yahudi, dan lain-lain. Bahkan di Israel sendiri, sekitar 25 persen penduduknya merupakan non-Yahudi,” tambah Izzeldin.

Izzeldin berada di Jakarta untuk mengkampanyekan pesan-pesan perdamaian yang ia tulis dalam bukunya, 'Saya Tidak Boleh Membenci'. Buku yang sudah diterjemahkan ke sejumlah bahasa itu ditulis setelah ia kehilangan tiga orang anak perempuannya yang menjadi korban serangan bom Israel pada 2009. 

“Saya sebetulnya punya hak untuk larut dalam kebencian, namun itu tidak ada gunanya bagi putri putri saya yang telah wafat. Saya masih punya anak-anak lainnya, merekalah masa depan,” katanya di-iringi isak tangis peserta diskusi yang terharu mendengar kisahnya.

Associate Professor pada Dalla Lana School of Public Health, Universitas Toronto, Kanada itu berpendapat bahwa musuh terbesar kemanusiaan adalah rasa benci. Kebencian, katanya, seperti racun yang akan menjauhkan dari perdamaian yang diharapkan. Peneliti senior di Gertner Institute Rumah Sakit Tel Aviv ini juga percaya, pendidikan adalah kunci bagi masa depan palestina. Karena itu ia mendirikan sebuah yayasan yang mengembangkan pendidikan bagi anak perempuan, "Daughters for Life".

Dalam diskusi Dr. Izzeldin bercerita bahwa hidupnya penuh dengan tantangan dan penderitaan. Dulu keluarganya adalah keluarga yang kaya dan punya banyak properti. Tapi, setelah okupasi Israel mereka menjadi gelandangan.

“Saya dulu terbakar api kebencian, tapi kemudian saya bertekad untuk mengubah hidup saya, dan itu hanya bisa saya raih melalui pendidikan,” kisahnya.

Dr. Izzeldin mendapat beasiswa untuk belajar kedokteran di Mesir. Lalu melanjutkan studi  antara lain di London, dan Amerika. “Saya kembali ke Gaza, bekerja di RS Israel, sederajat dengan dokter-dokter Israel di sana, bukan bawahan mereka.” Dan, kedokteran katanya, “punya wajah kemanusiaan, tidak ada masalah konflik agama di dalamnya, yang ada adalah upaya untuk menyelamatkan nyawa manusia,” tutur Izzeldin lagi.

Setelah kehilangan tiga anak perempuannya, orang menyangka ia akan kehilangan arah dan tidak lagi percaya dengan perdamaian. Tapi justru sebaliknya. “Waktu itu saya pikir hidup saya sudah berakhir, namun anak laki-laki saya yang berusia dua tahun yang memberikan saya semangat. Bahkan anak saya perempuan minta saya untuk terus bekerja di rumah sakit. saya harus mampu mengubah kebencian menjadi harapan,” katanya sambil berlinang air mata.

Ketika ditanya mengenai konflik yang masih terus terjadi di Timur Tengah, ia menjawab saat ini para pemimpin hanya berpikir tentang pemilu, tapi lupa memikirkan penderitaan rakyatnya.

“Merupakan kewajiban dari Hammas dan Fatah untuk bersatu agar bisa berjuang bersama-sama,” pungkas Izzeldin.

Penulis: Achmad Munif Arpas