Warta MUKTAMAR KE-32

Kawin Gantung Sah?

NU Online  ·  Jumat, 26 Maret 2010 | 13:11 WIB

Makassar, NU Online
Terjadi di beberapa daerah di Indonesia, anak lelaki kecil yang masih berumur 10 tahun dan masih duduk di bangku kelas IV SD, dikawinkan dengan anak perempuan yang masih kecil pula secara agama (syar’î), tetapi tidak didaftarkan ke kantor KUA. Perkawinan itu dilakukan untuk menggantung (mengikat) agar kelak dewasa tidak berjodoh dengan orang lain. Hal ini disebut kawin gantung. Bagaimana hukumnya melakukan kawin gantung?

Para muktamirin dalam Bahtsul Masail Diniyyah Waqiiyyah (masalah aktual keagamaan) pada Kamis (25/3) di Asrama haji Sudiang Makassar dalam hal ini menjawab bahwa  kawin gantung hukumnya sah jika terdapat maslahah yang mencakup aspek psikis dan fisik.
gt;
"Harus ada maslahah dalam arti tidak terjadi hal yg mengancam bahaya keduanya dan ijab qabul dilakukan oleh wali mujbir serta memenuhi syarat dan rukun nikah lainnya," ujar ketua pimpinan sidang,KH.Saefuddin Amsir.

Dijelaskan pula oleh muktamirin bahwa jumhur ulama tidak membatasi batas usia pernikahan, baik bagi pria atau wanita.

“Akan tetapi sebaiknya pernikahan itu dilakukan setelah usia baligh,” ujar KH Cholil Nafis menjawab pertanyaan wartawan dalam press release pada Jum’at (26/3) sembari merujuk pendapat sebagian ulama.

Kawin gantung sendiri belum memiliki akibat hukum sebagaimana nikah pada umumnya, kecuali dalam hak waris dan pemberian nafkah menurut sebagian lama. Sedangkan bersetubuh menunggu sampai kuat disetubuhi.

Sementara terkait hukum tajdidun nikah (pembaharuan perkawinan) adalah boleh, akan tetapi menurut Yusuf al-Ardabili tajdidun nikah dihukumi sebagai ikrar bith thalaq (pengakuan cerai), yang berkonsekuensi wajib membayar mahar lagi dan mengurangi adaduth thalaq (bilangan talak). Rujukan-rujukan terkait yang diambil antara lain Syarhun Nawawi juz 9 hal.206,Al-Fiqh al-Islam juz 9 hal 171 dan Hasyiatul Jamal ‘alal Minhaj juz 4 hal.245. (yus)