Warta

Keberadaan KPK Perlu Dievaluasi Kembali

Jum, 7 Desember 2007 | 06:26 WIB

Jakarta, NU Online
Jika dalam waktu 6 bulan ke depan, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru tidak bisa bekerja secara maksimal, keberadaan lembaga ini sebaiknya dievaluasi kembali.

Demikian dituturkan oleh Program Manager Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Syaiful Bahri Anshori menanggapi terpilihnya Antasari Ashar sebagai pimpinan KPK yang baru.

<>

Sebagai kejahatan yang sifatnya extraordinary, Syaiful berpendapat keberadaan KPK memang diperlukan, tetapi ketika yang memimpin adalah pejabat dari kejaksaan yang diragukan integritasnya, maka kemampuan pemberantasan korupsinya juga dipertanyakan.

“Kita sudah lupa, awalnya KPK dibentuk karena masyarakat kurang percaya pada lembaga hukum yang ada seperti kehakiman, kejaksaan dan kepolisian,” katanya, Jum’at (7/12).

Seharusnya, tutur Mantan Ketua PB PMII ini, lembaga-lembaga hukum inilah yang menjadi sasaran pertama penegakan korupsi. “Lalu bagaimana jika anggota KPK diisi oleh orang-orang dari lembaga yang diragukan integritasnya,” tandasnya.

Jika nantinya KPK mandul, masyarakat yang sudah berharap banyak terhadap upaya pemberantasan korupsi ini akan berbalik arah melawan KPK sehingga keberadannya akan mengalami delegitimasi seperti lembaga-lembaga hokum yang lainnya.

Berbeda dengan pemilihan anggota KPK sebelumya, kali ini proses pemilihannya sudah dilakukan oleh DPR. Diduga, proses pemilihan ini sudah melalui deal-deal tertentu untuk mengamankan posisi beberapa fihak yang sedang disorot karena keterlibatan dalam kasus korupsi.

Saat ini, kasus korupsi yang sedang disorot adalah aliran dana Bank Indonesia ke DPR untuk menggolkan pasal-pasal tertentu dalam menetapan RUU BI. DPR juga sudah menyetujui interpelasi kasus BLBI yang menyangkut dana sebesar 600 trilyun rupiah.

Untuk anggota KPK periode yang lalu, Syaiful merasa mereka sudah bekerja cukup baik, meskipun masih ada kesan tebang pilih. Namun upaya yang telah dilakukannya telah membuat banyak fihak merasa “keder” untuk melakukan korupsi sebagaimana sebelumnya. (mkf)
Â