Warta

PBNU: Pola Pemberantasan Korupsi Harus Diubah

Sen, 30 Juli 2007 | 04:51 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menyatakan, pola pemberantasan korupsi di Indonesia harus segera diubah. Pasalnya, pola yang diterapkan saat ini masih jauh dari keadilan, karena masih terasa belum independen dan masih menjadi bagian dari kekuasaan.

"Tidak bisa dengan pola KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seperti sekarang. Pola sekarang hanya mampu menangkap orang-orang yang apes (sial), dan jauh dari kemungkinan bisa memberantas korupsi yang sesungguhnya di Indonesia," ungkap Hasyim kepada wartawan di Jakarta, Ahad (29/7) kemarin.<>

Ia mengatakan hal itu menanggapi vonis 7 tahun penjara oleh pengadilan untuk mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rohmin Dahuri, beberapa waktu lalu. Bagi mantan Ketua PWNU Jatim itu, keberhasilan KPK menangkap Rokhmin belum bisa disebut sebagai prestasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Polanya harus diganti pola independen (bukan alat kekuasaan), komprehensif atau menyeluruh, tidak tebang pilih dan top down, dari atas ke bawah serta tidak seperti pola mikroskop," katanya.

Hasyim menandaskan, jika pola yang diterapkan saat ini tidak segera diubah, ia khawatir hal itu justru akan menjadi beban yang krusial bagi negara. "Misalnya, sakit hati, dendam antar-rezim, termasuk rezim sekarang kalau nanti diganti," tuturnya.

Karena itulah, lanjut Hasyim, NU sama sekali tak tertarik merekomendasikan kadernya untuk mengisi jabatan di KPK. Sebab, siapapun yang menjadi ketua KPK, katanya, jika sistem dan pola yang tidak independen, maka pemberantasan koruspi di Indonesia akan semakin jauh dari harapan.

Tertangkapnya sejumlah tersangka korupsi akhir-akhir ini, katanya, sebenarnya hanya sebatas euforia peradilan. Seiring dengan itu, lanjut Hasyim, pembangunan di daerah kini mengalami kemacetan karena ketidakmauan orang menjadi pimpinan proyek di daerah. Hal itu terjadi karena mereka takut ditangkap oleh KPK.

"Pembangunan daerah macet karena sulitnya pimpro di daerah sehingga daerah lebih suka memasukkan dana ke SBI yang berakibat keringnya sektor riil masyarakat. Sebagai salah satu cermin kasus adalah penghukuman berat 7 tahun penjara untuk Rokhmin Dahuri," pungkasya. (rif)