Warta

Kemiskinan dan Tradisi Penyebab Wabah AIDS di China dan Afrika

Sab, 13 September 2003 | 15:24 WIB

Washington DC, NU Online
Apa yang kita ketahui tentang wabah AIDS di Afrika dan China. Mungkin tidak banyak. Asumsi yang selalu menghubung-hubungan penyakit mematikan ini, dengan cara hidup bebas gaya Barat, tidak seluruhnya benar. Sebab diperkirakan lebih dari 95 persen dari 40 juta orang yang terinfeksi AIDS, berasal dari negara-negara miskin di Asia dan Afrika, selain itu penyakit ini justru mewabah daerah-daerah pedesaan.

Di Afrika, AIDS terkait dengan penerapan budaya purifikasi. Dimana seorang wanita harus melakukan hubungan seks dengan orang tertentu apabila ditinggal mati suaminya. Upacara ini dianggap dapat menghilangkan bala, sehingga sang isteri dapat mengikuti upacara penguburan suaminya, atau menikah lagi.
 
Sementara di China, berdasarkan laporan yang disusun oleh Philip P. Pan dari Washington Post, alasan mewabahnya virus HIV disebabkan oleh kemiskinan. Pada awal tahun 1990-an, ratusan ribu petani miskin di China mempunyai kebiasaan menjual darah di rumah sakit pemerintah maupun di klinik-klinik swasta. Dalam progam penjualan darah ini,  prosesnya seringkali tidak  menggunakan  alat-alat yang steril. Termasuk proses pencampuran darah di dalam sebuah mesin untuk menghilangkan plasmanya, untuk kemudian disuntikkan kembali kepada para pendonor tersebut.

<>

Kebiasaan menjual darah ini sangat populer di daerah pedesaan miskin di China. Beijing ketika meminta bantuan pertama kali ke PBB mengakui sekitar 250.000 orang di beberapa propinsi yang terinveksi AIDS, yang disebabkan karena menjual darah. Meskipun aktivis AIDS mengatakan jumlah sebenarnya, sesungguhnya lebih besar.

Seorang anak laki-laki bernama Xiong Pengcong (4) terbaring di lantai dengan alas sarung, yang diatasnya dilapisi kertas karton dengan infus buatan sang ayah, menancap di pergelangan tangan sebelah kanan. Sang ayah Xiong Zhiping (36)  mengurusi tetesan selang infus ke dalam pembuluh anaknya,  setelah menggunakan korek api untuk mensterilkan jarumnya. Xiong mengatakan, ia merawat anak laki-lakinya ini karena tidak ada dokter di desa tersebut. Selain itu, ia juga tidak mampu mengirim anaknya ke rumah sakit.  Xiongsendiri juga terkena AIDS, tetapi karena harga obat yang terlalu mahal, ia hanya  membeli obat untuk anaknya.

Sementara itu,  Xiong Changshun  (35) mengatakan istrinya yang juga terkena AIDS meninggal bunuh diri 3 tahun yang lalu dengan menceburkan diri ke sumur. Sang isteri melakukan tindakan nekat tersebut dengan harapan, keluarganya dapat menggunakan uang mereka untuk merawat anak perempuannya yang juga terkena AIDS. Namun, setahun kemudian, Xiong harus menyaksikan anak perempuannya pun meninggal dunia karena AIDS. Beberapa tahun kemudian, ia juga kehilangan ayahnya karena penyakit yang sama. 

Xiong Changshun  yang juga mengidap virus HIV mengatakan, “Kita benar-benar memerlukan klinik, tetapi pejabat setempat tidak peduli”. “Mereka ingin menyelamatkan muka mereka di dunia”. “Mereka tidak ingin orang luar tahu, apa yang terjadi di sini”. “Kita ingin pergi ke Beijing untuk meminta bantuan, tetapi kita takut kalau mereka kembali memukuli kita lagi”. 

Beberapa studi menunjukkan AIDS telah benar-benar melukai perekonomian di China. Beijing mengambil sikap dengan mengadakan beberapa proyek percobaan yang menyediakan dan mensubsidi pengobatan di daerah-daerah yang memiliki jumlah penderita AIDS yang tinggi. Desa Xiongqiao termasuk salah satu desa yang mendapat proyek percobaan ini.

Proyek percobaan ini berjanji untuk memberikan pengobatan gratis dengan obat-obatan anti- retroviral yaitu obat-obatan yang hanya berfungsi untuk menekan infeksi penderita AIDS.  Sayangnya, proyek percobaan ini tidak luput dari praktik korupsi para pejabat setempat. Setidaknya, dalam surat resmi di daerah Shangcai dimana terdapat desa Xiongqiao, 2000 orang menerima  kupon bulanan yang bernilai 12 sampai 36 dollar untuk menutupi biaya pengobatan,  juga keluarga miskin semestinya menerima bebas pajak, dan biaya bantuan sekolah.

Tetapi orang-orang di Xiongqiao mengatakan, pejabat setempat mengabaikan jatah bebas pajak. Orang-orang desa tersebut juga mengatakan, pejabat setempat justru meminta biaya 3 dollar per bulan untuk obat-obatan yang seharusnya gratis. Sementara, kupon yang diberikan tidak cukup untuk membeli obat penahan infeksi ini. Sementara, banyak dari penderita AIDS yang menolak menggunakan obat-obat penahan infeksi (anti-retroviral), sebab obat ini menurut mereka mengakibatkan efek-efek samping, seperti sakit kepala, dan muntah-muntah, maupun efek samping lainnya. Rumah sakit terdekat pun, juga mempraktikkan korupsi dengan meminta biaya lebih untuk obat-obatan ini, apabila para penderita tersebut membayar dengan kupon. Beberapa kabar burung menyebutkan, pejabat lokal menerima dana lebih dari 6000 dollar untuk membangun klinik di desa, tetapi hingga kini klinik tersebut pun belum  terwujud.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, beberapa ratus orang turun ke jalan, memprotes pemerintah untuk meminta perbaikan pengobatan kepada penderita AIDS. Tetapi banyak dari mereka telah di tahan, dan dianiaya oleh polisi. Pemerintah China hingga kini, terkesan sangat menutup-nutupi keadaan AIDS yang sebenarnya di negeri ini.

Pemerintah Cina khawatir bila kenyataan ini akan mempengaruhi investasi luar negeri di China. Di mana hal yang sama terjadi dengan viru