Warta PILGUB JATIM

Ketua PWNU: Biarkan Kiai Sesuai Ijtihad Masing-Masing

Sen, 13 Oktober 2008 | 09:32 WIB

Nganjuk, NU Online
Proses pemilihan gubernur (Pilgub) Jawa Timur sudah terlalu jauh menyeret para kiai NU masuk ke dalam pusaran politik. Tidak hanya terjun, mereka malah sudah terkotak-kotak dalam dua gerbong besar. Sebagian mendukung pasangan Karsa (Sukarwo-Saiful) dan yang lain mendukung pasangan Kaji (Khofifah-Mujiono) Manteb.

Namun Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, KH Hasan Mutawakkil Alallah, menilai hal itu sebagai suatu hal yang biasa. Ia yakin, para kiai itu terlibat dalam urusan politik praktis dalam dukung-mendukung Pilgub berdasarkan ijtihad masing-masing. Tidak hanya asal mendukung.<>

Oleh karena itu ia meminta kepada masyarakat untuk tetap menghormati pilihan itu. “Biarkan para kiai itu berjalan sesuai dengan ijtihadnya masing-masing,” kata Kiai Mutawakkil saat ditemui NU Online di Nganjuk, Senin (13/10).

Ia yakin semua itu akan bisa membawa manfaat kepada umat. Paling tidak, mereka akan bisa menjadi kelompok penyadar bagi kelompok masing-masing andaikan jago mereka kalah dalam Pilgub.

Contoh paling nyata adalah para kiai pendukung Achsan (Achmady-Santoso, kandidat yang diusung PKB) dan SR (Sucipto-Ridwan, calon yang digadang PDIP). Setelah mereka kalah dalam babak pertama, tidak ada konflik yang berarti dalam diri mereka karena para kiai pendukung bisa berperan sebagai peredam yang baik.

Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo itu mengaku perlu menyampaikan hal itu, karena saat ini sudah ada gejala kuat para kiai sedang diadu oleh pihak lain. Mereka yang berada dalam jajaran struktur sedang dibenturkan dengan para kiai kultur. Ujungnya adalah carracter assasination (pembunuhan karakter) seseorang melalui media massa.

Oleh karena itu ia meminta agar warga NU tetap meletakkan posisi kiai dalam posisi yang tinggi dan tetap menghargai pilihan mereka. Bagaimanapun, kewajiban untuk selalu ikramul ulama (memulyakan para ulama) tetap melekat kepada setiap muslim. “Bukan harus mengikuti pilihan mereka, tapi jangan sampai menyudutkan mereka, apalagi di media massa,” tutur kiai yang juga seorang pengusaha itu.

Dalam pandangan kiai alumni Al-Azhar Cairo itu, sebenarnya tidaklah tabu apabila ada seorang ulama yang terjun ke gelanggang politik, sebagaimana mereka yang terjun di pertanian, perdagangan, dan profesi lain. Karena bila melihat diri Rasulullah, beliau adalah seorang kepala negara yang juga seorang pemimpin agama dan panglima perang. “Jadi, seorang ulama tidaklah tabu kalau ia menjadi umara’ karena kemampuannya memang mumpuni,” tandas putra KH Hasan Saifourrizal itu.

Kepada para pengurus PWNU Jawa Timur yang terlibat dalam politik praktis, ia mengharap agar tidak membawa-bawa nama institusi NU, dengan begitu NU-nya akan tetap utuh. "Karena politik yang dikembangkan NU adalah 'politik mujahid', bukan 'politik punokawan'," katanya. (sbh)