Warta

Khazanah Intelektual Ulama Nusantara Belum Banyak Teridentifikasi

Ahad, 16 Desember 2007 | 21:14 WIB

Kairo, NU Online
Khazanah intelektual ulama Nusantara sangat kaya, namun sayangnya identifikasi naskah perpustakaan-perpustakaan yang terkait dengan tradisi keilmuan Islam di dunia Melayu-Indonesia itu belum banyak dilakukan.

Demikian DR Oman Fathurahman, Research Fellow of Alexander von Humboldt Foundation, Jerman, saat menjadi narasumber dalam acara “Sarasehan Sehari Tentang Kajian Naskah Keagamaan Nusantara di Haramain dan Cairo” yang diadakan oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir.

<>

Sarasehan itu diadakan di di Sekretariat Keluarga Paguyuban Masyarakat Jawa Barat (KPMJB), Kairo, Rabu (12/12) lalu, sebagai salah satu bentuk upaya melestarikan dan merekonstruksi khazanah intelektual Islam Nusantara. Acara tersebut di bagi dalam dua sesi, yang masing-masing dimoderatori oleh Ahmad Ginandjar Sya'ban (untuk sesi pertama, "sejarah khazanah manuskrip Islam Nusantara"), dan Irwan Masduki (untuk sesi kedua, filolgi sebagai pisau analisa).

Sarasehan diadakan untuk menambah pengetahuan para peserta tentang  khazanah naskah keagamaan, terutama naskah yang tersimpan di dua perpustakaan (Darul Kutub dan Al-Azhar).

Di perpustakan Darul Kutub, misalnya, tersimpan naskah yang ditulis pada abd ke-17 M, karangan Syeikh Ibrahim al-Kurani. Naskah tersebut mengupas fenomena keberagamaan yang berkemang di Nusantara pada abad tersebut, utamanya konflik antar pengikut tasawuf dan fikih. Sedangkan di perpustakaan al-Azhar, tersimpan salah satu naskah karya Syaikh Ahmad al-Fathani, salah satu murid Syaikh Nawawi Banten.

Geliat ulama Nusantara di Timur Tengah tercatat mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20 M. Sekedar menyebut, Syaikh Nawawi Banten tercatat sebagai ulama kesohor yang mengajar di salah satu pintu Masjid al-Haram, Mekkah, dan pernah diundang untuk memberikan kuliah akbar di Masjid Al-Azhar, Mesir, atas undangn mufti Mesir kala itu.

Satu generasi setelah Syaikh Nawawi, lahir Syaikh Mahfuzh Termas, guru besar hadits di perguruan Darul Ulum, Makkah, dan Syaikh Ihsan Jampes. Syaikh Ihsan menulis kitab Sirajut Thalibin, syarah atas Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali. kitab tersebut konon pernah dijadikan buku pegangan wajib di program S2 fakultas Ushuluddin Universtas al-Azhar pada dekade tahun 60-an.

Generasi yang lahir kemudian adalah Syaikh Yasin Padang. Rupanya, beliau menjadi salah satu guru dari Dr Ali Gum'ah, mufti Mesir sekarang ini.

PCINU Mesir bermaksud menyiapkan langkah-langkah untuk mengkaji dan memanfaatkan naskah-naskah kuno keagamaan dari para ulama Nusantara secara keseluruhan.

Pada kesempatan itu narasumber Oman Fathurahman mengajak para peserta sarasehan untuk mengadakan penggalian dan idebtifikasi karya-karya ulama Nusantara yang tersimpan di beberapa perpustakaan di Haramain dan Kairo.

“Salah satu perpustakaan yang diduga kuat menyimpan khazanah naskah keagamaan yang berkaitan atau bisa dihubungkan dengan tradisi keilmuan di dunia Melayu-Indonesia adalah Perpustakaan Darul Kutub dan Perpustakaan Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir,” kata intelektual muda NU itu.

Kontrobutor NU Online Aang Asy'ari dari Kairo melaporkan, acara sarasehan itu menarik minat banyak mahasiswa Indonesia dan berhasil menginspirasi beberapa peserta untuk terjun serius mengidentifikasi dan mendalami khazanah intelektual Islam Nusantara. (ang/gin)