Warta LIPUTAN HAJI

Kisah Sang Haji Batu

Sab, 20 November 2010 | 04:35 WIB

Mina, NU Online
Haji adalah ibadah yang sering dianggap sebagai batas paripurnanya keislaman seseorang. Hal ini didasarkan pada yuresprudensi Islam yang meletakkan Ibadah haji sebagai rukun Islam terakhir. Maka menjadi anggapan umum bahwa setelah seseorang menunaikan ibadah haji, dia akan menjadi orang yang telah paripurna keislamannya.

Secara budaya, asumsi ini didukung oleh adanya pengakuan masyarakat atas seseorang yang telah berhaji dengan ditempatkan pada hierarki yang lebih tinggi. Pandangan ini terutama berlaku di masyarakat pedesaan yang masih menganut budaya paternalistik yang kuat, namun bukan berarti masyarakat perkotaan sudah meninggalkan budaya ini.
>
"Oleh karena itu, seseorang yang sudah berhaji juga hendaknya dapat menjaga diri dan kehormatannya di mata Masyarakat. Jangan sampai pulang dari Makkah malah dia menjadi 'Haji Batu," tutur Wakil Komandan Satuan Operasi Mina bidang keagamaan, Asnawi Muhammadiyah kepada NU Online, Jum'at (19/11).

Menurut Asnawi, ibadah haji yang merupakan ibadah tahunan yang besar mempunyai berbagai manfaat dan tujuan yang besar pula, yakni untuk kebaikan di dunia dan akhirat.

Beribadah semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghadapkan hati kepada-Nya dengan keyakinan bahwa tidak ada yang diibadahi dengan haq, kecuali hanya Allah, sesuai firman Allah, "Dan ingatlah ketika Kami menempatkan tempat Baitullah untuk Ibrahim dengan menyatakan;'Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan apapun dan sucikan rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, beribadah, ruku dan sujud'.” (QS. al-Hajj: 26)

Karena, siapa pun yang mendatangi Ka’bah, kemudian menunaikan haji atau umrah dengan baik serta dengan ikhlas karena Allah SWT, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memastikan surga baginya. Dengan kepastian surga ini, biasanya seseorang yang telah berhaji, akan menjadi lebih baik akhlak dan peringainya.

"Dia akan menjadi lebih santun, lebih taat lebih bertaqwa dan lebih bermanfaat bagi sesamanya. Dia akan memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan lebih baik dan lebih terhormat," tutur Asnawi.

Sedangkan seseorang akan disebut sebagai "Haji Batu" jika sepulangnya dari haji, dia justru menjadi lebih buruk dari sebelum kembalinya. Seseorang yang tidak pernah bisa meninggalkan atau minimal mengurangi perilaku keburukan-keburukannya setelah kembali dari ibadah haji juga biasa disebut sebagai "Haji Batu."

"Misalnya seseorang yang sepulangnya dari ibadah haji malah menjadi rentenir atau semakin pelit kepada tetangganya, maka bisa dikatakan sebagai haji batu. Orang yang berhaji dari uang syubhat kemudian tidak bisa meninggalkan kesyubhatan bahkan malah semakin rakus dengan mengeruk keuntungan-keuntungan haram juga bisa disebut sebagai "Haji Batu."," tandas Asnawi.   

Dalam kitab-kitab sufisme lama, sebutan "Haji batu" dikarenakan seseorang yang berhaji datang dari berbagai negeri ke Kota Makkah yang penuh dengan gunung-gunung batu dan goa-goa batu. Kemudian mereka berjalan mengelilingi batu, setelah itu berlari-lari kecil di antara dua bukit batu.

Terkadang mereka berebut bergontok-gontokan untuk mencium sebuah batu. Lalu mengumpulkan dan menghitung batu-batu untuk dilemparkan kepada batu-batu. Jika salah tafsir, maka dia akan merasa beribadah kepada batu.

Jika salah tafsir, maka di otaknya hanya tersimpan memori tentang batu, dan kepalanya dipenuhi oleh batu. Lengkaplah ia disebut sebagai si kepala batu, dan hajinya pun disebut sebagai "Haji Batu."

"Kalau memang sekembalinya dari haji dia tidak menjadi lebih baik bahkan menjadi lebih buruk, ya sudah sebut saja dia sebagai haji batu," tandas Asnawi terkekeh. (min/Laporan langsung Syaifullah Amin dari Arab Saudi)