Warta

Kitab Baru Karya Ulama Besar Indonesia Dikaji di PBNU

Rab, 27 September 2006 | 03:14 WIB

Jakarta, NU Online
Selama Ramadhan, Lajnah Ta’lief wan Nasyr (LTN-NU) bersama NU Online akan mengkaji kitab “Manahijul Imdad” karya Kiai Ihsan Jampes Kediri (alm.) yang baru diterbitkan tahun lalu dan belum popular dikalangan pesantren. Pembukaan pengajian akan diadakan Kamis (28/9) besok oleh Ketua PBNU KH. Said Aqil Siradj di ruang rapat NU Online, Lt. V. Gd. PBNU, Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Kitab Manahijul Imdad (pencapaian yang terus-menerus: red) merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba: red) karya Syekh Zainuddin Malibari. Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Kiai Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah.

<>

Manahijul Imdad merupakan karya besar keempat yang ditulis oleh kiai Ihsan sebelum meninggal tahun 1952 pada usia 52 tahun. Karya ini sempat mengeram di perpustakaan Kairo selama bertahun-tahun hanya dalam bentuk manuskrip. Fihak keluarga Kiai Ihsan yang menerbitkan karya itu memperolehnya dari salah seorang murid Kiai Ihsan yang tinggal di Semarang. 

Pada 1936 karya Kiai Ihsan di bidang tasawuf dengan judul Sirajut Thalibin (lentera umat: red) diterbitkan oleh penerbit Musthafa Babi Al Halaby Cairo dan sempat menggemparkan dunia intelektual di sana. Kiai Ihsan sendiri langsung diminta oleh Raja Faruk untuk menjadi warga kehormatan Mesir sebagai syeikh pengajar di Universitas Al Azhar, tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan, ia lebih senang mengajar di Pesantren Jampes di luar kota Kediri yang sepi.

Hingga kini kitab Sirajut Thalibin digunakan sebagai rujukan wajib di beberapa universitas di Mesir dan berbagai universitas di Barat seperti Eropa, Amerika dan Canada pada jurusan teologi dan teosofi.

Kitab kiai ihsan yang lain adalah Tashrihul Ibarat dalam bidang ilmu falak (astronomi) yang ditulisnya ketika masih berusia 30 tahun. Lalau Irsyadul Ikhwan (nasihat untuk para kawan) tentang hal-hal yang remeh seperti minum kopi dan merekok yang hingga saat ini belum diterbitkan secara luas namun sangat dikenal oleh para santri salaf.

Kiai Ihsan tidak pernah belajar ke Mekah tetapi kemampuan berbahasa-Arabnya sangat sempurna, sehingga bisa menulis kitab sangat mengagumkan, dengan bahasa yang indah dan padat sekaligus mendalam. Pemimpin utama Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Asy’ari waktu itu sangat mengaguminya dan menempatkannya sejajar dengan ulama mujtahid yang lain, sehingga menyarankan santrinya untuk mengkaji kitab-kitabnya. (nam)