Warta

Konstitusi Indonesia Tidak Dapat Diuji Secara Akademis

NU Online  ·  Rabu, 24 Desember 2008 | 11:58 WIB

Jakarta, NU Online
Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) menilai konstitusi sebagai aturan main perpolitikan di Indonesia sebagai produk yang sarat nilai politis. Konstitusi di Indonesia merupakan pilihan dan pertarungan antara kebutuhan dan kepentingan.
 
Demikian dinyatakan Ketua FPP Lukman Hakim Syaifuddin di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Jakarta, Rabu (24/12). Menurut Lukman, Konstitusi di Indonesia bukan produk yang dapat diuji secara akademis.<>

"Oleh karena sebuah pilihan, sudah semestinya ada yang merasa cocok atau tidak. Itu lumrah saja, karena konstitusi bukan persoalan benar atau tidak, ini persoalan pilihan," katanya dalam diskusi kenegaraan di Jalan Gatot Subroto tersebut.

Lebih lanjut Lukman mencontohkan proses amandemen terhadap konstitusi. Amandemen terhadap Undang-Undang dasar 1945 yang telah dilakukan pada periode 1999-2002 merupakan hasil maksimal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada masa itu.

Namun Lukman membantah jika amandemen terhadap UUD 1945 merupakan keinginan DPR untuk membelenggu hak dan kewenangan presiden.

"Kinerja DPR lebih difokuskan untuk menciptakan check and balances antarlembaga negara. Jadi DPR berusaha meletakan bandul politik di tengah," tegasnya.

Lukman juga menolak adanya anggapan, amandemen dilakukan untuk memposisikan DPR sebagai lembaga yang lebih kuat dibanding presiden.

"Satu-satunya kekuatan DPR hanya ada di hak budgeting, sisanya sama. Untuk membuat Undang-Undang pun DPR harus bersama-sama dan disahkan oleh pemerintah," jelasnya.

Meskipun DPR berhak memberikan masukan-masukan, namun Lukman memandang sistem presidensial yang dianut Indonesia masih menyediakan banyak hak prerogatif bagi presiden.

"Dalam mengangkap duta besar misalnya, DPR hanya sebagai pertimbangan saja, dan tidak ada konsekwensi apa pun jika diabaikan," tandasnya. (min)