Warta

Kontrak Jamiyyah Perlu Ditradisikan dalam Konferwil dan Konfercab

Rab, 7 November 2007 | 13:25 WIB

Jakarta, NU Online
Kontrak Jamiyyah yang menegaskan para calon rais syuriyah dan ketua tanfidziyah untuk tidak menggunakan NU bagi kepentingan politik praktisnya perlu menjadi tradisi dalam setiap konferwil atau konfercab maupun pemilihan pengurus ditingkat lainnya.

Kontrak jamiyyah pertama kali dilakukan dalam muktamar NU ke 31 di Asrama Haji Solo bagi calon rais aam dan ketua umum PBNU. Selanjutnya model ini ditiru dalam konferensi wilayah PWNU Jawa Timur di Ponpes Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo 3-5 November lalu.

<>

Wasekjen PBNU Syaiful Bahri Anshori mengemukakan bahwa keberadaan kontrak tersebut merupakan penegasan aturan yang ada dalam AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO) yang melarang adanya rangkap jabatan dengan jabatan politik baik di legislatif maupun di eksekutif bagi rais dan ketua terpilih.

“Ini menjadi penting terkait dengan banyaknya pengurus NU yang ditarik tarik untuk menjadi calon dalam pilkada,” katanya.

Menurut pengamatannya, fenomena ditariknya para pengurus NU ini tak hanya di daerah yang memiliki basis massa NU kuat, tetapi juga di daerah yang massa NU nya kurang banyak seperti di Sulawesi Utara.

“Kita kan tidak tahu, sejauh mana NU sebagai jamiyyah memperoleh manfaat karena sejauh ini seringkali hanya dimanfaatkan untuk kepentingan individu,” tegasnya.

Tak heran, banyaknya tokoh NU yang ditarik ini terjadi karena para pemimpin NU memiliki jaringan dan kedekatan yang sangat kuat dengan masyarakat yang oleh para politisi dimanfaatkan suaranya bagi dukungan yang dibutuhkan dalam Pilkada.

Sejauh ini, dalam kontrak jamiyyah tersebut, belum ada aturan tegas bagi yang melanggarnya karena sifatnya baru berupa sanksi moral. “Memang belum diatur, kalau yang melanggar ya pasti tidak dipercaya lagi oleh umat dan ke depannya tidak akan dipilih kembali,” tuturnya. (mkf)