Warta PENENTUAN AWAL SYAWAL (7)

LAPAN: 22 Oktober Terlalu Rendah Dirukyat

NU Online  ·  Jumat, 20 Oktober 2006 | 06:38 WIB

Jakarta, NU Online
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyatakan, berdasarkan kriteria astronomi, hilal (bulan) tak akan mungkin bisa dilihat (dirukyat) pada Minggu 22 Oktober 2006 ketika pemerintah dan ormas Islam melaksanakan rukyatul hilal.

Peneliti bidang Astronomi dan Astrofisika LAPAN yang turut dalam Tim Hisab Rukyat Depag Dr Thomas Jamaluddin mengatakan, ketinggian hilal yang dapat diamati tergantung beda azimut bulan dan matahari sehingga berdasarkan kriteria itu pada 22 Oktober magrib, hilal terlalu rendah untuk dirukyat.

<>

"Kalau ada yang melaporkan hilal bisa dilihat itu mungkin salah lihat, bisa awan terang yang tipis, cahaya dari pesawat terbang yang memantul, lampu nelayan di kejauhan atau sumber cahaya lainnya," katanya.

Berbeda dengan Muhammadiyah yang menggunakan sistem hisab (perhitungan) wujudul hilal tanpa perlu rukyat, menurut dia, adalah wajar jika telah menetapkan Idul Fitri 1427 Hijriyah pada Senin, 23 Oktober.

"Menurut perhitungan hisab, hilal itu sudah di atas ufuk meski hanya setengah derajat, wajarlah Muhammadiyah telah menetapkan jauh-jauh hari, bahwa Senin 23 sudah masuk 1 Syawal," katanya.

Hal ini berbeda dengan ormas yang mensyaratkan perlunya rukyat atau hilal harus bisa dilihat, sementara itu hilal tak akan bisa dilihat jika di bawah satu derajat, katanya.

Ketika ditanya soal PWNU Jawa Timur yang juga memperkirakan Idul Fitri 1427 H jatuh pada Senin, 23 Oktober, atas dasar perhitungan bahwa hilal mungkin bisa dilihat karena telah berada di atas dua derajat, ia menjawab, hal itu karena PW NU Jatim masih menggunakan metode hisab taqribi (approximity/pendekatan).

"Metode ini termasuk hisab klasik yang sederhana dan tidak akurat, tetapi masih banyak digunakan di pesantren di Indonesia. Dengan hasil hisab di atas dua derajat, orang lantas bisa yakin bahwa hilal akan terlihat," katanya.

Sebelumnya diperkirakan, Nahdlatul Ulama (NU) akan merayakan Idul Fitri pada Senin 23 Oktober seperti halnya Muhammadiyah. NU Jatim ini menggunakan sistem Ittifaq Dzatil Bainy yang mencantumkan ketinggian hilal dua derajat lebih selama 11 menit 14 detik pada 22 Oktober pukul 12.09 WIB, sehingga rukyatul hilal kemungkinan besar akan sukses. "Apalagi saat ini masih musim kemarau," kata Wakil Ketua PWNU Jatim H Sholeh Hayat.  

Namun peristiwa itu menurut Thomas, mengingatkan kasus Idul Fitri 1998, ketika PWNU Jatim dan PWNU Jateng berlebaran pada 29 Januari seperti Muhammadiyah.   "Namun PWNU daerah lainnya menolak kesaksian terlihatnya hilal di Cakung dan Bawean itu, karena menganggap itu sebagai salah lihat, sehingga NU daerah lainnya ini bersama pemerintah saat itu merayakan idul fitri pada 30 Januari," katanya.

Namun, Thomas menekankan, LAPAN tidak menganggap salah yang ber-Idul Fitri pada Senin, 23 Oktober seperti juga tak menganggap salah yang ber-Idul Fitri pada Selasa 24 Oktober.

"Keduanya sama-sama memiliki hukum-hukum tersendiri yang sama-sama benar. LAPAN bisa mengakomodasi keduanya, sistem hisab maupun sistem rukyat atau yang menggunakan sistem keduanya," katanya.

Menteri Agama Maftuh Basyuni juga menegaskan, perbedaan waktu penetapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1427 Hijriah merupakan hal yang wajar dan bukan berarti ada percekcokan.

"Kalau ada perbedaan itu wajar dan kita kan sudah biasa ada perbedaan. Jadi kalau ada perbedaan itu bukan berarti ada percekcokan," katanya.

Menag mengungkapkan, meski Muhammadiyah sudah menentukan Idul Fitri itu jatuh pada Senin 23 Oktober 2006, namun pemerintah baru akan menentukan waktu lebaran pada saat sidang itsbat yang akan dilakukan pada hari Minggu, 22 Oktober 2006, karena pemerintah juga menggunakan sistem rukyat. 

Sementara itu, Dirjen Bimas Islam Depag Nasaruddin Umar mengatakan, Pemerintah menetapkan 1 Syawal hanya dalam posisi mengakomodasi kebutuhan masyarakat umum, namun tetap menyikapinya dengan arif, tidak memaksakan kehendak, penuh toleransi dan saling menghormati jika ada perbedaan.

"Sama atau beda kapan idul fitrinya, lihatlah dengan suasana Ukhuwah Islamiyah, kebersamaan, kedamaian, kebahagiaan dan kemenangan dalam menyambut Hari Suci Idul Fitri. Umat Islam walau berbeda-beda, tetapi tetap satu dan bersaudara," katanya. (ant/mad)